Ngayah sebagai Wujud Implementasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila
Masyarakat adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum adat yang mayoritasnya menganut agama Hindu.
Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat adat Bali yang berlandaskan pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Sehingga di dalam masyarakat adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkannya antara agama dan adat di dalam masyarakat adat Bali, dikarenakan hukum adat itu bersumber dari ajaran agama. Menurut Wayan Windia dan Ketut Sudantra, masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka, baik berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundang- undangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulisnya (Hukum Adat) yang berlaku dalam masyarakat Bali bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bali yang disebut Dresta.
Unsur pembeda masyarakat pada umumnya dengan masyarakat adat adalah sisi karakteristik yang dimiliki, karena kehidupan masyarakat hukum adat memiliki filosofi, fungsi, dan peran khas dalam kehidupan bersama sebagai persekutuan hukum masyarakat paguyuban.
Menurut Wayan Windia, desa pakraman yang merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Desa pakraman merupakan lembaga adat yang memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak dijumpai dalam lembaga adat lainnya. Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman, sebutan “desa adat” diganti menjadi “desa pakraman”. “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. (pasal 1 nomor urut 4). Selain desa pakramaan, dalam Perda ini juga dijelaskan mengenai banjar pakraman. “Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman”. (pasal 1 nomor urut 4).
Dengan memperhatikan definisi desa pakraman seperti dikemukakan di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman, merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan menurut agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan alam desa, menurut agama Hindu).
Masyarakat adat di desa pakraman di Bali selalu akan melaksanakan “Yadnya”, khususnya “Panca Yadnya”. Yadnya dalam ajaran agama Hindu adalah sebuah korban suci yang tulus ihklas, yang ditujukan kepada; 1) Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Dewa Yadnya; 2) Manusia atau sesama (Manusia Yadnya); 3) Para bhuta/roh-roh halus (Bhuta Yadnya); 4) Para Rsi/Pendeta (Rsi Yadnya), dan; 5) Para Pitra/roh leluhur (Pitra Yadnya). Kelima jenis “yadnya” di atas dikenal dengan istilah “Panca Yadnya”. Umat Hindu akan menjalankan “Panca Yadnya” secara periodik dan berkesinambungan sebagai upaya untuk menyeimbangkan kehidupan di bumi/alam nyata (Buana Alit) dengan kehidupan dunia lain dan akhirat (Buana Agung).
Terkait dengan pelaksanaan yadnya tersebut, biasanya umat Hindu di masing-masing desa pakraman akan melaksanakan kewajiban yang disebut “Ngayah”. Ngayah adalah kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan ajaran karma marga yang dilaksanakan secara gotong royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun di tempat suci. Kata ngayah secara harafiah dapat diartikan melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990). Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feudal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya “Purusaisme” atau Patrilineal/Patrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya.
Maka, kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada :Tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi/dijalani oleh orang bersangkutan (yang mendiami tanah ayahan). Sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Latar belakang sosiologis dan historis tersebut telah menunjukan bahwa semula budaya ngayah itu berakar dari kata ayah , ayahan , pengayah , ngayahang (yang saling kait mengkait dalam satu kesatuan konskuensi logis – eksistensialistis). Eksitensi tanah ayahan desa telah membawa konsekuensi logis bagi pengayah untuk melakukan kewajiban sosio-religiuskultural, yakni ngayahang.
Dalam perkembangannya dewasa ini, “ngayah” bukan lagi monopoli atau menjadi kewajiban bagi para pemilik tanah “ayahan desa” tetapi juga menjadi kewajiban krama yang sudah berkeluarga/menikah dan usianya masih produktif. Karena konsep ngayah adalah melakukan pekerjaan dengan tulus ihklas, maka dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait dengan “Panca Yadnya” apakah pada saat pembangunan fisik maupun persiapan pelaksanaan upakara dan pada saat pelaksanaan upacara yadnya tersebut, masyarakat yang berniat “ngayah” tidaklah dilarang atau dibatasi. Intinya siapapun yang berminat “ngaturang ayah” diperbolehkan oleh para prajuru di desa pakraman tersebut.
“Ngayah” berkaitan erat dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila yang terdiri dari 5 sila, yaitu; 1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2 Kemanusian yang Adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketika masyarakat adat Hindu Bali melakukan kegiatan “ngayah” tersebut berkaitan pelaksanaan yadnya, sesungguhnya nilai-nilai dari kelima sila-sila di atas sudah diterapkan secara terintegrasi oleh masyarakat adat di desa pakraman masing-masing.
Pada saat “ngayah” ada semacam keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan dengan segala ketulusan akan memproleh pahala yang setimpal dari Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai buah dari karma/perbuatan. Masyarakat Hindu menyakini adanya karma pala/buah dari perbuatan yang mungkin segera bisa diterima, mungkin belakangan, atau bahkan di kehidupan yang akan datang sebagai bentuk reinkarnasi. Karena itulah masyarakat Hindu akan berusaha meluangkan waktu untuk “ngayah” walaupun sesungguhnya “dosa” denda yang diterapkan jika tidak hadir sangat kecil, bahkan terkadang tanpa denda. Inilah merupakan wujud pelaksanaan sila pertama dari Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Sila kedua, yaitu “Kemanusian yang Adil dan Beradab” akan tercermin pula di saat kegiatan “ngayah” dilaksanakan. Wujudnya adalah tidak adanya unsur paksaan harus hadir. Jika krama sedang sakit atau suntaka/sebel, mereka diperbolehkan untuk tidak hadir tanpa denda. Krama yang tidak bisa hadir karena ada hal-hal kepentingan yang sangat mendesak atau tidak boleh ditinggalkan juga ditoleransi/dimaklumi jika tidak hadir. Intinya kehadiran saat “ngayah” adalah keihklasan bukan paksaan. Di situlah tercermin sila kedua dari Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradad”.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” juga sangat jelas tercermin dalam pelaksanaan ngayah. Nilai-nilai gotong royong sebagai ciri budaya bangsa Indonesia terimplementasi dalam bentuk kerja bersama tanpa adanya upah, malah terkadang “medana punia” (nyumbang) selain melakukan kegiatan “ngayah”. Tidak adanya paksaan dan kegiatan didasari ketulusan memperkuat rasa persatuan di kalangan krama desa adat tersebut.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan” akan tercermin dari berbagai kesepakatan yang dibuat, baik secara lisan maupun tertulis (awig, pararem, bhisama, atau purana) yang menjadi acuan tatanan bermasyarakat adat bagi krama Hindu di Bali. Semua aturan yang dibuat akan dilengkapi sanksi sesuai kesepakatan bersama atas dasar musyawarah mupakat. Jika ada yang melanggar, maka sanksi yang telah disepakati akan diterapkan. Hukum adat terkadang memiliki kekuatan yang lebih besar di dalam mengikat anggotanya dari pada hukum nasional.
Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” akan tercermin di saat penerapan sanksi-sanksi ataupun kewajiban-kewajiban yang telah disepakati secara adil dan merata, tidak “pandang bulu”, jika krama yang melanggar kesepakatan tidak memiliki alasan yang dapat ditoleransi. Jika bagian dari kegiatan “ngayah” itu ada sesuatu/rezeki yang diperoleh, maka rezeki itupun akan dibagi secara merata kepada krama desa adat tersebut.
Jadi, “ngayah” sesungguhnya adalah wujud riil dari implementasi nilai-nilai Pancasila dari kelima sila yang ada.
Sumber rujukan:
1. Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
2. http://inputbali.com/budaya-bali/ngayah-tradisi-yang-harus-tetap-ada-di-bali
Penulis : I Wayan Kerti
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar