Sama-sama Tak Punya Kaki, Harus Cari Duit buat Ngaben Ibunya
Si sulung Nyoman Yasa yang kini berusia 70 tahun hanya berpenghasilan Rp 10.000 sehari, sementara adiknya yang berusia 68 tahun Cuma dapat Rp 2.500 sehari. Mereka harus cari uang Rp 15 juta buat Ngaben Massal almarhum ibunya
Derita Kakak Adik Sepuh Penyandang Disabilitas di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli
BANGLI, NusaBali
Kehidupan kakak adik penyandang disabilitas yang tinggal di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli, I Nyoman Yasa, 70, dan Ni Ketut Tapa, 68, sungguh memprihatinkan. Dua bersaudara berusia sepuh ini sama-sama tidak punya kaki sejak lahir. Kini, mereka harus mencari uang Rp 15 juta untuk membiayai upacara pengabenan almarhum ibunya, Ni Luh Rumasna, yang meninggal dunia setahun lalu.
Ditemui NusaBali di rumahnya kawasan Banjar Peninjoan, Desa Peninjoan, Kamis (8/3) siang, si sulung Nyoman Yasa tengah sibuk menyisit bilah bambu untuk sangkar ayam. Meski tanpa kaki dan jari tangannya tidak normal, penyandang disabilitas yang masih melajang hingga usia 70 tahun ini tampak cekatan melakukan pekerjaannya.
Sedangkan adiknya, Ni Ketut Tapa, yang juga masih melajang di usia 68 tahun, sibuk majejahitan. Kesehariannya, perempuan sepuh yang tidak memiliki kaki ini membuat tangkih (sarana upakara) untuk dijual. Kepada NusaBali, kakak adik penyandang disabilitas ini sempat menceritakan balada hidupnya yang memprihatinkan.
Nyoman Yasa dan Ketut Tapa merupakan anak dari pasangan I Ketut Lila dan Ni Luh Rumasna, yang sudah meninggal dunia. Mereka bersaudara 7 orang, namun sebagian sudah meninggal. Kini, tinggal satu saudaranya yang masih hidup, yakni I Nyoman Kembar, 52. Si bungsu Nyoman Kembar lahir normal dan telah memiliki keluarga sendiri. Mereka tinggal dalam satu pekarangan rumah.
Menurut Nyoman Yasa, pihaknya kini bingung cari uang untuk upacara pengabenan ibunya, Luh Rumasna, yang meninggal setahun lalu. Upacara pitra yadnya ibunya direncanakan akan dilakukan saat Ngaben Massal yang digelar pihak Desa Peninjoan, Agustus 2018 mendatang.
Bila tidak ikut Ngaben Massal kali ini, berarti harus menunggu 5 tahun lagi. Pasalnya, Ngaben Massal dilaksanakan 5 tahun sekali. "Ngaben massal ini jelas biayanya lebih murah. Tapi, semurah-murah Ngaben Massal, bisa habis belasan juta rupiah. Kemarin dibilang biayanya Rp 15 Juta," keluh Nyoman Yasa.
Nyoman Yasa mengatakan, pekerjaannya selama ini hanya membuat sangkar ayam untuk dijual. Penghasilannya tidak seberapa. Satu unit sangkar ayam dijual Rp 40.000, dipotong biaya beli bahan bambu Rp 10.000. jadi, pendapatan bersih untuk satu sangkar ayam hanya Rp 30.000. Dan, satu sangkar dikerjakan dalam waktu 3 hari, itu pun kalau tidak hujan. Jadi, dalam sehari pendapatannya rata-rata hanya Rp 10.000
Kini, dia harus mengumpulkan uang Rp 15 juta untuk pengabenan ibunya. Beruntung, hanya almarhum ibunya yang diabenkan tahun ini. Sedangkan ayah mereka, almarhum Ketut Lila, sudah lebih dulu diupacarai Pitra Yadnya saat Ngaben Massal 5 tahun silam.
Toh, Nyoman Yasa tetap saja kesulitan. “Terus terang, saya kesulitan cari uang sebanyak itu. Untuk makan sehari-hari saja masih pas-pasan,” cerita Nyoman Yasa. Lagipula, menurut Nyoman Yasa, tidak selalu ada yang membeli sangkar ayam. Meski demikian, dalam kondisi fisiknya yang serba terbatas, Nyoman Yasa tetap membuat sangkar ayam untuk di-stok. "Pembeli biasanya langsung ke rumah. Kalau sangkar dijual keluar, ada ongkos lagi," katanya.
Sementara, adiknya yang juga penyandang disabilitas, Ni Ketut Tapa, keseharianya mencari nafkah dengan membuat tangkih untuk dijual. Hasilnya tidak seberapa. Bayangkan, sekarung beras isian 25 kilogram, tangkih buatan Ketut Tapa hanya laku dijual seharga Rp 5.000. Biasanya, sekarung tangkih dibuat selama dua hari. Berarti, pendapatnya hanya Rp 2.500 per hari. Itu pun, masih dipotong biaya beli bahan.
Menurut Ketut Tapa, sebetulnya dia masih memiliki saudara yang lahir normal, yakni Nyoman Kembar, yang tinggal dalam satu pekarangan rumah. Namun, kondisi ekonomi keluarga Nyoman Kembar juga pas-pasan.
Terungkap, semasih hidup, ibu mereka yakni Luh Rumasna ngerob (tinggal bersama dan menjadi tanggung jawab) Nyoman Yasa dan Ketut Tapa. Maka, untuk upacara Ngaben Massal almarhum ibunya juga menjadi tanggungan kakak adik penyandang disabilitas ini. "Tiyang ne ngerobang, jadi tiyang yang membiayai. Sedangkan adik saya Nyoman Kembar, masih ada tanggungan anak istri,” cerita Nyoman Tapa.
Baik Nyoman Yasa maupun Ketut Tapa tidak pernah menikah. Sehari-hari, mereka makan berdua setelah ditinggal mati ibunya. Menurut Nyoman Tapa, biaya Ngaben Massal ibunya sebesar Rp 15 juta yang harus ditanggung itu, belum termasuk untuk upacara di rumah dan keperluan lainya.
Syukurnya, biaya Ngaben massal Rp 15 juta itu bisa dicicil beberapa kali. Meski demikian, mereka tetap saja kesulitan membayar. "Jangankan untuk nabung dan bayar uang Ngaben Massa, untuk biaya makan saja sudah pas-pasan," ujar Ketut Tapa, sembari menyebut pihaknya berencana meminjam uang.
Sementara itu, adik dua penyandang disabilitas, Nyoman Kembar, mengakui kedua kakaknya ini tidak mendapat bantuan beras miskin (raskin). "Bantuan beras miskin belum pernah diterima. Kalau kartu jaminan kesehatan, memang sudah diberikan pemerintah," jelas Nyoman Kembar. *e
Komentar