Masih Banyak Kasus KDRT di Bali
Peringatan Hari Perempuan Internasional
DENPASAR, NusaBali
Bicara tentang kasus kekerasan terhadap perempuan memang tidak ada habisnya. Setiap tahun masih saja ada laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi di semua daerah tidak terkecuali Bali yang katanya Pulau Sorga. Bahkan Sekretaris Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Provinsi Bali, Luh Putu Anggreni menyebut, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Bali masih tinggi.
“Sepanjang tahun 2017 saja kami mempunyai 142 kasus dan 90 persennya adalah kasus KDRT. Paling banyak menyebabkan kekerasan psikis pada seorang istri yang dilakukan oleh suaminya,” ujar Anggreni, usai peringatan Hari Perempuan Internasional bertema Perempuan Berkualitas, Berguna bagi Keluarga, Masyarakat dan Keluarga, di Wantilan DPRD Bali, Kamis (8/3).
Diantara kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali, memang diakui kasus KDRT lebih tinggi dibanding kasus kekerasan terhadap anak, baik itu kekerasan seksual maupun kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum. “Sebagian besar KDRT dilatarbelakangi karena ekonomi, penelantaran, begitu juga perselingkuhan,” ungkapnya.
Selain KDRT, kasus-kasus yang ditemui di desa-desa di Bali adalah banyaknya perempuan yang dicerai, namun status perceraiannya tidak jelas. Perceraian mereka hanya secara adat tanpa melalui proses perceraian secara formal. Ketidakjelasan ini membuat nasib para perempuan tersebut terkatung-katung. “Mereka sudah dicerai tapi tanpa statusnya ngambang. Nasib mereka terkatung-katung. Karena mereka hanya cerai adat atau cerai dikembalikan begitu saja. Tidak punya apapun atas hak anak. Bahkan saat ini sudah ada 25 kasus yang menunggu dan memohon dicarikan solusi agar bisa cerai secara formal. Dan hanya pengadilan yang bisa menyeraikannya,” bebernya.
Ironisnya, perceraian secara adat dianggap sudah menyelesaikan segalanya. Sang suami malah menikah lagi dan tidak peduli dengan si perempuan. Akibatnya, para perempuan yang diceraikan tersebut pun kebingungan ketika harus mengurus Kartu Keluarga (KK). “Mereka bingung ketika harus mengurus KK, karena KK-nya masih berhubungan dengan suaminya. Perceraian yang seenaknya. Poligami seenaknya. Padahal, poligami itu melanggar hukum jika tidak disetujui oleh istri pertama,” imbuhnya.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah mengatakan, sejak tahun 2001 Komnas Perempuan memiliki catatan tahunan terkait kekerasan perempuan. Sepanjang tahun 2017, ungkapnya, terlaporkan sebanyak 348.466 kasus perempuan di seluruh Indonesia, yag sebagian besar kasus KDRT.
Masruchah mengingatkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik diprediksi akan meningkat dibanding pilkada tahun 2017 karena dianggap berpeluang mendulang suara dan memenangkan pilkada. “Kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik sangat mungkin terjadi kembali dalam Pilkada 2018,” katanya.
Menurutnya, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik bisa saja berupa ancaman pemerkosaan jika tidak memilih calon tertentu dan ancaman jenazah perempuan tidak dishalatkan jika tidak memilih calon tertentu. Hal ini terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Masruchah mengatakan, semua daerah di Indonesia saat ini mungkin dan rawan terjadi kekerasan perempuan dalam politik. “Sarana yang digunakan adalah cybercrime atau kejahatan dunia maya. Temuan kasus seperti ini bisa saja diadopsi di daerah lain karena dinilai sukses mendulang suara,” katanya.
Sedangkan Ketua Bali Sruti, Ni Luh Riniti Rahayu menambahan, pihaknya mengajak perempuan-perempuan Bali menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tahun 2018 tanpa perlu mengikuti pilihan dan arahan keluarga. “Jangan tanya siapa yang harus Anda pilih kepada suami, ayah, kakek, atau saudara. Perempuan maju mempunyai pilihan sendiri dan prinsip sendiri. Beda dari suami tak apa,” katanya.*ind
“Sepanjang tahun 2017 saja kami mempunyai 142 kasus dan 90 persennya adalah kasus KDRT. Paling banyak menyebabkan kekerasan psikis pada seorang istri yang dilakukan oleh suaminya,” ujar Anggreni, usai peringatan Hari Perempuan Internasional bertema Perempuan Berkualitas, Berguna bagi Keluarga, Masyarakat dan Keluarga, di Wantilan DPRD Bali, Kamis (8/3).
Diantara kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali, memang diakui kasus KDRT lebih tinggi dibanding kasus kekerasan terhadap anak, baik itu kekerasan seksual maupun kasus anak-anak yang berhadapan dengan hukum. “Sebagian besar KDRT dilatarbelakangi karena ekonomi, penelantaran, begitu juga perselingkuhan,” ungkapnya.
Selain KDRT, kasus-kasus yang ditemui di desa-desa di Bali adalah banyaknya perempuan yang dicerai, namun status perceraiannya tidak jelas. Perceraian mereka hanya secara adat tanpa melalui proses perceraian secara formal. Ketidakjelasan ini membuat nasib para perempuan tersebut terkatung-katung. “Mereka sudah dicerai tapi tanpa statusnya ngambang. Nasib mereka terkatung-katung. Karena mereka hanya cerai adat atau cerai dikembalikan begitu saja. Tidak punya apapun atas hak anak. Bahkan saat ini sudah ada 25 kasus yang menunggu dan memohon dicarikan solusi agar bisa cerai secara formal. Dan hanya pengadilan yang bisa menyeraikannya,” bebernya.
Ironisnya, perceraian secara adat dianggap sudah menyelesaikan segalanya. Sang suami malah menikah lagi dan tidak peduli dengan si perempuan. Akibatnya, para perempuan yang diceraikan tersebut pun kebingungan ketika harus mengurus Kartu Keluarga (KK). “Mereka bingung ketika harus mengurus KK, karena KK-nya masih berhubungan dengan suaminya. Perceraian yang seenaknya. Poligami seenaknya. Padahal, poligami itu melanggar hukum jika tidak disetujui oleh istri pertama,” imbuhnya.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Masruchah mengatakan, sejak tahun 2001 Komnas Perempuan memiliki catatan tahunan terkait kekerasan perempuan. Sepanjang tahun 2017, ungkapnya, terlaporkan sebanyak 348.466 kasus perempuan di seluruh Indonesia, yag sebagian besar kasus KDRT.
Masruchah mengingatkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik diprediksi akan meningkat dibanding pilkada tahun 2017 karena dianggap berpeluang mendulang suara dan memenangkan pilkada. “Kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik sangat mungkin terjadi kembali dalam Pilkada 2018,” katanya.
Menurutnya, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik bisa saja berupa ancaman pemerkosaan jika tidak memilih calon tertentu dan ancaman jenazah perempuan tidak dishalatkan jika tidak memilih calon tertentu. Hal ini terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Masruchah mengatakan, semua daerah di Indonesia saat ini mungkin dan rawan terjadi kekerasan perempuan dalam politik. “Sarana yang digunakan adalah cybercrime atau kejahatan dunia maya. Temuan kasus seperti ini bisa saja diadopsi di daerah lain karena dinilai sukses mendulang suara,” katanya.
Sedangkan Ketua Bali Sruti, Ni Luh Riniti Rahayu menambahan, pihaknya mengajak perempuan-perempuan Bali menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tahun 2018 tanpa perlu mengikuti pilihan dan arahan keluarga. “Jangan tanya siapa yang harus Anda pilih kepada suami, ayah, kakek, atau saudara. Perempuan maju mempunyai pilihan sendiri dan prinsip sendiri. Beda dari suami tak apa,” katanya.*ind
1
Komentar