'Nyungsang' Warnai Perfilman Bali
Banyak Kejadian Niskala Saat Syuting
DENPASAR, NusaBali
Sebuah film berjudul ‘Nyungsang’ bakal mewarnai perfilman Pulau Dewata. Film yang digagas oleh Kampus IKIP PGRI Bali dan disutradarai oleh I Komang Indra Wirawan (Gases Bali) akan ditayangkan akhir Maret ini. Dalam proses pembuatan film ini, tak ayal banyak yang unik dan menegangkan. Pasalnya, kerap diwarnai gangguan niskala.
Sutradara film Nyungsang, Dr I Komang Indrawirawan SSn MFilH menjelaskan, film Nyungsang diambil dari kisah nyata dari kehidupan keluarga yang ada di Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Menurutnya, kisah tersebut sangat menarik dalam menjaga sebuah ilmu-ilmu tradisional Bali. “Ini akan memunculkan kembali kepercayaan terkait tradisi dan kebudayaan pangiwa (pangleakan) yang dikarenakan pewarisan ilmu,” ujarnya di Ruang Paseban IKIP PGRI Bali, Kamis (8/3).
Film ini telah dikaji sesuai kebutuhan pada penonton saat ini, dikarenakan para penonton lebih suka film yang seram, namun di dalamnya ada hal yang mistis, lucu dan roman. Karena hal itu menyebabkan penonton tidak menjadi bosan dan ngantuk menyaksikannya.
Lebih lanjut dikatakan Komang Gases, alasannya untuk menjadikan sebuah film tersebut supaya bisa melestarikan budaya. Terlebih lagi inspirasi dari pementasan calonarang yang menghormati sasuhunan barong dan rangda sudah minim. Hal ini disebabkan karena penonton terfokus pada cerita saja. Sedangkan barong dan rangda dicuekkan begitu saja. “Saat ini kita bangkitkan ngiwa tengen dan saat ini ditonjolkan pada gambaran pendidikan,” katanya.
“Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya dalam proses pembuatan film ini, karena ini kan berbasis kepada budaya daerah yang diharapkan akan berkancah nasional maupaun internasional. Jadi spirit budayanya di sini tertanam sangat dalam,” imbuhnya.
Dalam proses pembuatan film itu diakui sempat terkendala beberapa hal, baik peralatan maupun gangguan yang timbul dari niskala. Namun hal itu dihadapi dengan berdoa setiap mengawali proses shooting pada tempat yang angker.
Rektor IKIP PGRI Bali, Dr I Made Suarta SH MHum yang juga terlibat dalam film Nyungsang menceritakan, ketika melakukan syuting di tempat yang angker seperti hutan dan kuburan ia merasakan ada orang yang lewat. Namun hanya dilihatnya sebagai bayangan. Selain itu ada juga sosok yang menyerupai salah satu crew saat itu. Meski demikian dirinya mengaku hanya mengawali segalanya bersama Tuhan, sehingga sampai saat ini film yang menekankan budaya itu siap ditayangkan.
Terlepas dari kejadian mistis yang dialaminya, Suarta sangat mendukung bentuk seni yang menjaga budaya Bali. “Memang ketika kita melaukan sesuatu yang baru pasti akan banyak datangnya permasahan, baik itu kritikan dan saran. Dari sana kita akan belajar menjadi lebih dewasa dan jadikan hal tersebut motivasi berkarya lebih lagi,” tandasnya. *ind
Sebuah film berjudul ‘Nyungsang’ bakal mewarnai perfilman Pulau Dewata. Film yang digagas oleh Kampus IKIP PGRI Bali dan disutradarai oleh I Komang Indra Wirawan (Gases Bali) akan ditayangkan akhir Maret ini. Dalam proses pembuatan film ini, tak ayal banyak yang unik dan menegangkan. Pasalnya, kerap diwarnai gangguan niskala.
Sutradara film Nyungsang, Dr I Komang Indrawirawan SSn MFilH menjelaskan, film Nyungsang diambil dari kisah nyata dari kehidupan keluarga yang ada di Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Menurutnya, kisah tersebut sangat menarik dalam menjaga sebuah ilmu-ilmu tradisional Bali. “Ini akan memunculkan kembali kepercayaan terkait tradisi dan kebudayaan pangiwa (pangleakan) yang dikarenakan pewarisan ilmu,” ujarnya di Ruang Paseban IKIP PGRI Bali, Kamis (8/3).
Film ini telah dikaji sesuai kebutuhan pada penonton saat ini, dikarenakan para penonton lebih suka film yang seram, namun di dalamnya ada hal yang mistis, lucu dan roman. Karena hal itu menyebabkan penonton tidak menjadi bosan dan ngantuk menyaksikannya.
Lebih lanjut dikatakan Komang Gases, alasannya untuk menjadikan sebuah film tersebut supaya bisa melestarikan budaya. Terlebih lagi inspirasi dari pementasan calonarang yang menghormati sasuhunan barong dan rangda sudah minim. Hal ini disebabkan karena penonton terfokus pada cerita saja. Sedangkan barong dan rangda dicuekkan begitu saja. “Saat ini kita bangkitkan ngiwa tengen dan saat ini ditonjolkan pada gambaran pendidikan,” katanya.
“Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya dalam proses pembuatan film ini, karena ini kan berbasis kepada budaya daerah yang diharapkan akan berkancah nasional maupaun internasional. Jadi spirit budayanya di sini tertanam sangat dalam,” imbuhnya.
Dalam proses pembuatan film itu diakui sempat terkendala beberapa hal, baik peralatan maupun gangguan yang timbul dari niskala. Namun hal itu dihadapi dengan berdoa setiap mengawali proses shooting pada tempat yang angker.
Rektor IKIP PGRI Bali, Dr I Made Suarta SH MHum yang juga terlibat dalam film Nyungsang menceritakan, ketika melakukan syuting di tempat yang angker seperti hutan dan kuburan ia merasakan ada orang yang lewat. Namun hanya dilihatnya sebagai bayangan. Selain itu ada juga sosok yang menyerupai salah satu crew saat itu. Meski demikian dirinya mengaku hanya mengawali segalanya bersama Tuhan, sehingga sampai saat ini film yang menekankan budaya itu siap ditayangkan.
Terlepas dari kejadian mistis yang dialaminya, Suarta sangat mendukung bentuk seni yang menjaga budaya Bali. “Memang ketika kita melaukan sesuatu yang baru pasti akan banyak datangnya permasahan, baik itu kritikan dan saran. Dari sana kita akan belajar menjadi lebih dewasa dan jadikan hal tersebut motivasi berkarya lebih lagi,” tandasnya. *ind
1
Komentar