nusabali

Perwakilan Desa Adat Banyuning Datangi DPRD Bali

  • www.nusabali.com-perwakilan-desa-adat-banyuning-datangi-dprd-bali

Sejumlah tokoh perwakilan Desa Adat Banyuning, Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng menemui Komisi IV DPRD Bali, di Gedung DPRD Bali, Kamis  (8/3) siang.

Tuntut Penyelesaian Dualisme Kepemimpinan Desa Adat


DENPASAR,NusaBali
Mereka meminta Komisi IV DPRD Bali membidangi adat turun tangan menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan di Desa Adat Banyuning. Rombongan tokoh Desa Adat Banyuning diterima Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta, anggota Komisi IV DPRD Bali asal Buleleng Kadek Setiawan. Menurut perwakilan Desa Adat Banyuning Ketut Wenten sejak 10 tahun terakhir Desa Adat Banyuning dipimpin dua nahkoda yakni Bendesa Adat (menjabat berdasarkan garis keturunan) dan Kelian Desa Pakraman (dipilih dalam pemilihan krama). Persoalan dualisme ini dikhawatirkan akan memicu konflik di Desa Adat Banyuning. “Kepemimpinan Bendesa Adat dan Kelian Desa Pakraman ini kami khawatirkan bisa memunculkan konflik,” ujar Wenten dihadpaan Komisi IV DPRD Bali.

Wenten melanjutkan dualisme kepemimpinan ini menyebabkan adanya kebijakan tumpang tindih dan bisa menciptakan gesekan sosial yang berkepanjangan. Sebab sejak dualisme ini hubungan warga antar banjar kurang akur. “Kondisi ini menyebabkan tidak kondusif dalam berinteraksi sosial antara sesama warga di desa,” ujar Wenten.

Kemarin para tokoh menyampaikan kepada Komisi IV DPRD Bali supaya bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Salah satunya kembali kepada awig-awig tradisi adat yang lama sesuai tradisi. “Dengan menggunakan tradisi adat desa kami aman-aman saja sejak dulu, semua berjalan dengan teratur, kegiatan keagamaan berjalan dengan lancar,” tegasnya.

Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Arta mengakui struktur kepemimpinan di Desa Banyuning memang sedikit rancu. Karena masyarakat bingung siapa sesungguhnya pemimpin mereka. Akibatnya ada aturan yang tumpang tindih dan masyarakat menjadi terbelah. Antara mengikuti Kepemimpinan Bendesa Adat atau Kelian Desa Pakraman. “Jadi rancu dan masyarakat bingung,” tegasnya.

Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan kalau awig-awig menyatakan pengisian jabatan bendesa dilakukan dengan mekanisme garis keturunan biasanya kaitannya dengan niskala dan kepercayaan turun temurun.”Kami mendorong Pemkab Buleleng untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini, kami akan koordinasi dengan Pemkab Buleleng,” ujar mantan Sekretaris DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini.

Sementara Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali Jro Gede Wayan Suwena Putus Upadesa dikonfirmasi NusaBali mengatakan mengetahui informasi pengaduan para tokoh adat Banyuning ke DPRD Bali. Jro Suwena menyarankan supaya persoalan tersebut diselesaikan secara adat. “Kalau MUDP sendiri belum sempat turun ke Banyuning walaupun kita juga ikuti informasi tersebut (mengadu ke dewan). Karena persoalan seperti ini (Adat) diselesaikan secara berjenjang. Ada Majelis Alit (Kecamatan), Ada Majelis Madya (Kabupaten) dan MUDP (Provinsi). Kami sarankan persoalan adat diselesaikan secara adat. Nanti ke Majelis Alit dulu, kalau tidak selesai ke Majelis Madya. Tidak selesai baru ke MUDP ,” ujar pensiunan polisi berpangkat Kombes ini.

Jro Suwena mengakui kalau jabatan di Desa Adat  ada dua jenis. Ada yang dijabat karena garis keturunan, ada yang dipilih krama secara demokrasi. “Kalau yang berdasarkan garis keturunan biasanya itu terkait niskala. Sekarang awig (aturan adat) atau Desa Kalapatra atau Desa Mewacara di Banyuning itu seperti apa? Itu perlu dicek dulu. Kami akan koordinasi dengan Majelis Alit dulu. Levelnya di kecamatan. Kami sih sarankan selesaikan secara adat. Karena ada salurannya. Hukum adat dengan hukum positif itu berbeda. Jadi harus secara adat,” ujar Jro Suwena.*nat

Komentar