Pulau Surga Kaum Peminum
Mungkin tidak keliru jika ada komentar, semua orang Bali adalah peminum. Tentu banyak orang setuju dengan pendapat ini, boleh jadi juga banyak yang tidak.
Pendapat ini ibarat hendak menandingi pendapat Miguel Covarubias yang menyatakan semua orang Bali adalah seniman.
Di zaman orang Bali sebagian besar petani, memang nyaris semua adalah seniman. Begitu pula hampir semuanya juga peminum. Para petani itu minum tuak atau arak di warung-warung, diterangi lampu telepok. Saban senja, ketika pulang dari sawah, sesudah mandi, tubuh bersih, makan malam, mereka minum satu-dua sloki arak atau sebotol tuak. Badan pun hangat, segar, capek hilang, bisa tidur nyenyak, besok bergiat lagi di sawah.
Karena minum alkohol sedikit, mereka tak pernah mabuk. Jika kelebihan, paling-paling mereka terhuyung-huyung di lorong jalan pulang. Kadang ngoceh sendiri, menyemburkan bau arak dari mulut. Terhuyung mabuk jalan kaki tidak membahayakan orang lain. Kalau toh ada pejalan kaki yang diseruduk, tak sampai masuk UGD. Beda dengan kini, pemabuk naik motor menabrak pengendara lain sampai sekarat, tewas bahkan.
Sejak zaman dulu di Bali bisa dijumpai pedagang arak atau tuak di rumah-rumah. Para peminum datang ke rumah itu. Belakangan, anak-anak muda juga hadir di situ. Banyak yang menjual ramuan arak dengan rempah-rempah. Seorang kakek menjadi pelanggan minum arak ramuan di rumah itu. Sekonyong-konyong datang cucunya, juga ikut minum. Ketika si cucu hendak bayar minuman, si kakek menghalangi, dan menawarkan diri. “Biar kakek yang bayar, kamu pulang saja,” pinta si kakek kalem. Si cucu tersenyum.
Di desa-desa sudah lazim bapak-anak-kakek-cucu minum-minum. Mereka keluarga peminum, banyak yang tidak sampai mabuk. Memang cuma untuk minum. Ini mirip dengan kehidupan sebuah keluarga besar, yang tiga generasi menjadi tokoh-tokoh bebotoh ceki.
Jika dulu petani Bali terbiasa minum satu-dua sloki arak saban senja, tentu tidak aneh jika kebiasaan itu berlanjut hingga kini. Populasi peminum itu jelas semakin banyak dan kian luas ragamnya. Yang minum-minum tidak cuma petani, juga anak sekolah, mahasiswa, guru, pegawai kantoran, pedagang, sampai kaum panganggur. Karena itu lazim terlontar guyonan, jika ada yang tidak punya pekerjaan disebut peminum anggur beralkohol alias penganggur.
Mungkin karena semua orang Bali peminum, bir laris di pulau ini. Pedagang nasi jinggo di pinggir jalan banyak yang menjual bir. Anak-anak muda menenggak bir duduk-duduk di trotoar. Tapi, kini, sejak penjualan bir dan mikol (minum beralkohol) ditertibkan, sulit mencari bir di Bali. Mini market tidak menjual bir, atau menjualnya sembunyi-sembunyi. Seorang bapak masuk mini markert, mengenakan jaket kulit, mau beli bir. Si penjual menggelengkan kepala. Tapi, si bapak yakin ada bir di tempat itu. Ia balik pulang dan meminta istrinya beli bir di mini markert itu. Ada, si istri bawa bir pulang. Si penjual tadi menduga bapak itu intel yang mematai-matai penjualan bir.
Bir dan mikol kini jadi ‘barang gelap’ di Bali, karena pemerintah mengeluarkan peraturan penjual an mikol hanya boleh di super market. Tapi, Bali dapat perkecualian dengan memperkenankan menjual mikol di tempat-tempat wisata. Di Pantai Kuta, misalnya, orang-orang masih bisa menenggak bir sembari memandang bule berbikini berbaring atau melenggang di pasir dengan betis dijilat ombak.
Para pengelola restoran dan hotel yang tentu paling lantang menentang larangan minum mikol dan miras. Mereka berpendapat mustahil wisatawan asing tidak minum mikol jika piknik ke Bali. Banyak yang berkomentar, Bali itu pulau surga bagi kaum peminum. Para penggiat industri pariwisata juga mempersoalkan, mengapa orang dilarang minum alkohol di penginapan. Menurut mereka, peminum itu tak merepotkan, mereka mendatangkan rezeki. Yang membahayakan adalah kaum pemabuk. Itu pun jika mabuk di tempat umum. Jika mereka mabuk di rumah atau di kamar hotel, silakan teler sampai mampus.
Karena ada keistimewaan kebebasan menenggak mikol, maka Bali tetap menjadi surga bagi kaum peminum. Tidak cuma wisatawan yang menikmati surga itu, juga orang Bali, yang masih bisa memperoleh mikol di super market atau restoran. Kalau hendak minum bir, mereka pergi ke Pantai Sanur, Kuta, Jimbaran atau Nusa Dua.
Anak-anak muda di pedesaan juga menikmati surga minum-minum ini dengan membuat minuman ramuan dari arak dan rempah-rempah. Lazimnya mereka menikmatinya jika ada kegiatan adat atau janjian di rumah teman. Memang, gerakan minum ini tidak seleluasa dan seliar dulu. Tapi, tetap menjadi semacam ritual. Mereka menenggak arak ramuan, usai itu langsung minum es teh, atau air putih, bisa juga minuman ringan, dilakukan berulang, setiap satu sloki didorong ke mulut. “Biar tidak terasa pahit,” alasan mereka. Selain itu, agar bisa minum tambahan lagi bersloki-sloki.
Sampai kapanpun Bali tetap menjadi surga bagi kaum peminum.
Komentar