Lumpur Merah Istimewa Mabuug-buugan di Kedonganan
Ratusan wisatawan manca negara (wisman) di Pantai Kedonganan, Kecamatan Kuta, terkesima melihat hampir seribuan krama Desa Kedonganan berlumur lumpur berjalan di pantai pada Minggu (18/3).
MANGUPURA, NusaBali
Tak sedikit wisman yang didominasi dari China tersebut bergantian minta foto pada krama Kedonganan yang baru menjalani prosesi pembersihan diri di hutan mangrove, Pantai Timur Kedonganan, setelah mengikuti tradisi mabuug-buugan. Tradisi ini digelar sehari usai Nyepi, atau saat Ngembak Geni.
“Kegiatan mabuug-buugan ini diikuti seluruh banjar di Desa Kedonganan sebagai upaya pembersihan setelah Nyepi,” kata I Gede Sudiana, Prajuru Pawongan Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, yang juga koordinator acara ditemui di lokasi hutan mangrove Pantai Timur.
Tapi bukan hanya warga setempat saja yang mandi lumpur. Terlihat beberapa wisman ikut menjalani ritual tersebut. Sementara wisman lainnya menonton dan memotret bersama komunitas fotografer yang harus menyusuri hutan bakau sejauh sekitar 200 meter.
“Lumpurnya bukan sembarang lumpur. Itu lumpur merah yang tahun lalu sudah diteliti oleh tim ahli dari Universitas Udayana,” kata Sudiana. “Kalau sembarang lumpur, tentu tidak perlu masuk (kawasan hutan mangrove) sejauh itu,” lanjutnya.
Dikisahkan bahwa lumpur ini adalah lumpur merah yang pada masa lalu juga dipakai oleh para leluhur. “Dulu, 100 tahun lalu, kan tidak ada shampo, jadi membersihkannya pakai lumpur untuk menghilangkan ketombe. Tapi kalau sembarang lumpur, ya bisa gatal-gatal,” tutur Sudiana.
Maka tak heran, krama yang menjalani prosesi tak mengambil lumpur yang ada di permukaan, melainkan memasukkan tangan ke bawah untuk mendapatkan lumpur merah. Setelah itu mayoritas melumuri wajah dengan ‘masker’ lumpur, termasuk melumuri kepala dengan lumpur.
Setelah menjalani prosesi di Pantai Timur, krama desa pun bergerak ke Pantai Barat. “Di sini kembali dilakukan pembersihan,” kata Sudiana yang menyertai hampir seribu krama yang membersihkan lumpur-lumpur di badan hingga menjelang matahari terbenam tersebut. *mao
Tak sedikit wisman yang didominasi dari China tersebut bergantian minta foto pada krama Kedonganan yang baru menjalani prosesi pembersihan diri di hutan mangrove, Pantai Timur Kedonganan, setelah mengikuti tradisi mabuug-buugan. Tradisi ini digelar sehari usai Nyepi, atau saat Ngembak Geni.
“Kegiatan mabuug-buugan ini diikuti seluruh banjar di Desa Kedonganan sebagai upaya pembersihan setelah Nyepi,” kata I Gede Sudiana, Prajuru Pawongan Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, yang juga koordinator acara ditemui di lokasi hutan mangrove Pantai Timur.
Tapi bukan hanya warga setempat saja yang mandi lumpur. Terlihat beberapa wisman ikut menjalani ritual tersebut. Sementara wisman lainnya menonton dan memotret bersama komunitas fotografer yang harus menyusuri hutan bakau sejauh sekitar 200 meter.
“Lumpurnya bukan sembarang lumpur. Itu lumpur merah yang tahun lalu sudah diteliti oleh tim ahli dari Universitas Udayana,” kata Sudiana. “Kalau sembarang lumpur, tentu tidak perlu masuk (kawasan hutan mangrove) sejauh itu,” lanjutnya.
Dikisahkan bahwa lumpur ini adalah lumpur merah yang pada masa lalu juga dipakai oleh para leluhur. “Dulu, 100 tahun lalu, kan tidak ada shampo, jadi membersihkannya pakai lumpur untuk menghilangkan ketombe. Tapi kalau sembarang lumpur, ya bisa gatal-gatal,” tutur Sudiana.
Maka tak heran, krama yang menjalani prosesi tak mengambil lumpur yang ada di permukaan, melainkan memasukkan tangan ke bawah untuk mendapatkan lumpur merah. Setelah itu mayoritas melumuri wajah dengan ‘masker’ lumpur, termasuk melumuri kepala dengan lumpur.
Setelah menjalani prosesi di Pantai Timur, krama desa pun bergerak ke Pantai Barat. “Di sini kembali dilakukan pembersihan,” kata Sudiana yang menyertai hampir seribu krama yang membersihkan lumpur-lumpur di badan hingga menjelang matahari terbenam tersebut. *mao
Komentar