'Omed-omedan Bukan Tradisi Ciuman Massal'
Tradisi Omed-omedan yang dilakukan setiap Ngembak Geni di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Denpasar Selatan, merupakan pelestarian budaya di Kota Denpasar.
DENPASAR, NusaBali
Tokoh masyarakat setempat menegaskan Omed-omedan bukan merupakan tradisi ciuman massal.Pangelingsir Puri Sesetan, I Gusti Ngurah Oka Putra,74, mengatakan tradisi Omed-omedan bagi masyarakat awam memang terlihat seperti ciuman massal, namun pada kenyataannya tidak seperti itu. “Namanya juga Omed-omedan berarti saling tarik-menarik. Di sana memang adanya sebuah pertemuan, namun bukan bibir sama bibir melainkan antara pipi pemuda dan pipi pemudi. Tidak ada sama sekali bibir-ketemu bibir karena semua itu sudah ada pakem,” jelas Ngurah Oka yang sering disebut maestro tradisi Omed-omedan ini ditemui disela-sela palaksanaan Omed-omedan, Minggu (18/3) kemarin.
Lanjut Ngurah Bima panggilan akrabnya, pakem yang ada sejak dulu, peserta Omed-omedan dilakukan oleh pemuda dan pemudi, sedangkan tangan pemuda harus berada di lengan dan pinggul pemudi, sehingga pipi sama pipi akan bertemu.
"Pada saat itu juga anggota STT yang menjadi peserta dibagi menjadi dua kelompok tanpa ada batasan untuk mengangkat salah satu pemuda dan pemudinya yang akan melakukan tarik-menarik sambil disiram air," jelasnya lagi.
Dikatakannya, tradisi ini dilaksanakan untuk memperingati pergantian Tahun Baru Saka yang diperkirakan sudah ada pada abad ke-18 Masehi. Dia pun meluruskan ada yang mengatakan Omed-omedan merupakan tradisi ciuman massal seperti yang ramai di media sosial. “Itu tidaklah benar, karena Omed-omedan di Banjar Kaja, Sesetan ini memiliki pakem sendiri,” imbuhnya.
“Ini sama kayak kita bersilahturahmi, dilakukan bersenang-senang dan penuh kegembiraan. Sejarahnya juga sangat panjang, sampai saat ini dilakukan setiap tahun, kami tidak menyangka akan menjadi tradisi yang unik bahkan sampai ke luar negeri,” lanjut Ngurah Bima.
Ngurah Bima menceritakan sejarah singkat tradisi Omed-omedan yang sempat ingin ditiadakan. Penyebabnya pangelingsir yang ada di puri tepat berada di depan balai banjar sempat mengalami sakit keras dan tidak diketahui apa penyebabnya. “Karena tidak ingin ada keramaian saat itu, maka disarankan jangan melakukan Omed-omedan,” ujarnya.
Meski demikian karena datangnya masyarakat dan penonton yang membludak maka tetap dilakukan dan menentang perintah dari pangelingsir puri saat itu. “Karena raja tetap mendengar keramaian mintalah ia keluar puri dengan digotong oleh pendampingnya yang akan memarahi masyarakat yang tetap membuat keramaian di bencingah (depan puri). Sampai di depan puri seketika pangelingsir menjadi sembuh kembali secara misterius. Ia tidak jadi marah malah menyuruh melanjutkan (Omed-omedan) kembali,” terangnya lagi.
Ditempat yang sama, Ketua Sekaa Teruna Dharma Kerti, I Made Widya Sura Putra,23, mengatakan, tradisi Omed-omedan ini sudah digelar turun-temurun. Tradisi ini dilakukan oleh kalangan muda. Sebelum digelar, teruna-teruni yang menjadi peserta melakukan persembahyangan bersama terlebih dahulu dan menerima arahan dari tokoh masyarakat setempat.
“Tradisi ini bukan sebagai ajang pelukan atau ciuman massal seperti informasi yang ada. Karena Omed-omedan itu kan berarti saling tarik-menarik bahkan itu ada pakem yang jelas. Mereka yang melakukan juga anggota STT yang diangkat oleh temannya secara spontanitas tanpa mengurangi tradisi dan pakem yang ada,” jelasnya.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh anggota STT dan yang belum kawin. Sedangkan bagi yang mengalami kecuntakan (kotor/datang bulan) tidak diperkenankan ikut melakukan tradisi Omed-omedan, karena prosesi awalnya dilakukan di pura banjar setempat.“Kita mulai dari pukul 16.00 Wita sampai selesai, sedangkan teruna teruni yang melakukan Omed-omedan sekitar 350 orang,” imbuh mahasiswa Jurusan Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana ini. *m
Lanjut Ngurah Bima panggilan akrabnya, pakem yang ada sejak dulu, peserta Omed-omedan dilakukan oleh pemuda dan pemudi, sedangkan tangan pemuda harus berada di lengan dan pinggul pemudi, sehingga pipi sama pipi akan bertemu.
"Pada saat itu juga anggota STT yang menjadi peserta dibagi menjadi dua kelompok tanpa ada batasan untuk mengangkat salah satu pemuda dan pemudinya yang akan melakukan tarik-menarik sambil disiram air," jelasnya lagi.
Dikatakannya, tradisi ini dilaksanakan untuk memperingati pergantian Tahun Baru Saka yang diperkirakan sudah ada pada abad ke-18 Masehi. Dia pun meluruskan ada yang mengatakan Omed-omedan merupakan tradisi ciuman massal seperti yang ramai di media sosial. “Itu tidaklah benar, karena Omed-omedan di Banjar Kaja, Sesetan ini memiliki pakem sendiri,” imbuhnya.
“Ini sama kayak kita bersilahturahmi, dilakukan bersenang-senang dan penuh kegembiraan. Sejarahnya juga sangat panjang, sampai saat ini dilakukan setiap tahun, kami tidak menyangka akan menjadi tradisi yang unik bahkan sampai ke luar negeri,” lanjut Ngurah Bima.
Ngurah Bima menceritakan sejarah singkat tradisi Omed-omedan yang sempat ingin ditiadakan. Penyebabnya pangelingsir yang ada di puri tepat berada di depan balai banjar sempat mengalami sakit keras dan tidak diketahui apa penyebabnya. “Karena tidak ingin ada keramaian saat itu, maka disarankan jangan melakukan Omed-omedan,” ujarnya.
Meski demikian karena datangnya masyarakat dan penonton yang membludak maka tetap dilakukan dan menentang perintah dari pangelingsir puri saat itu. “Karena raja tetap mendengar keramaian mintalah ia keluar puri dengan digotong oleh pendampingnya yang akan memarahi masyarakat yang tetap membuat keramaian di bencingah (depan puri). Sampai di depan puri seketika pangelingsir menjadi sembuh kembali secara misterius. Ia tidak jadi marah malah menyuruh melanjutkan (Omed-omedan) kembali,” terangnya lagi.
Ditempat yang sama, Ketua Sekaa Teruna Dharma Kerti, I Made Widya Sura Putra,23, mengatakan, tradisi Omed-omedan ini sudah digelar turun-temurun. Tradisi ini dilakukan oleh kalangan muda. Sebelum digelar, teruna-teruni yang menjadi peserta melakukan persembahyangan bersama terlebih dahulu dan menerima arahan dari tokoh masyarakat setempat.
“Tradisi ini bukan sebagai ajang pelukan atau ciuman massal seperti informasi yang ada. Karena Omed-omedan itu kan berarti saling tarik-menarik bahkan itu ada pakem yang jelas. Mereka yang melakukan juga anggota STT yang diangkat oleh temannya secara spontanitas tanpa mengurangi tradisi dan pakem yang ada,” jelasnya.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ini hanya boleh dilakukan oleh anggota STT dan yang belum kawin. Sedangkan bagi yang mengalami kecuntakan (kotor/datang bulan) tidak diperkenankan ikut melakukan tradisi Omed-omedan, karena prosesi awalnya dilakukan di pura banjar setempat.“Kita mulai dari pukul 16.00 Wita sampai selesai, sedangkan teruna teruni yang melakukan Omed-omedan sekitar 350 orang,” imbuh mahasiswa Jurusan Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana ini. *m
Komentar