Pemilu Serentak Perlu Dipikir Ulang
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo atau biasa disapa Bamsoet menilai pemilu serentak baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres) yang berlangsung tahun 2019 mendatang perlu dipikir ulang.
JAKARTA, NusaBali
Lantaran ini baru pertama kali berlangsung sehingga memiliki resiko tinggi. Terlebih para pemilih harus memilih lima jenis pilihan dalam waktu sekitar tiga menit di bilik suara."Perlu evaluasi, apakah pilkada langsung yang kita lakukan ini banyak manfaat atau mudaratnya," ujar Bamsoet, Sabtu (17/3). Berdasarkan pengalaman ketika pemilihan terpisah, masih ada yang bingung. Apalagi saat pemilihan dilakukan serentak nanti, karena tidak semua masyarakat Indonesia memiliki pendidikan sama.
Masih ada yang berpendidikan di bawah SMA. "Kalau mereka bisa baca tidak masalah, tapi bagi yang tidak bisa tentu membingungkan karena ada berlembar-lembar kertas mereka buka untuk memilih DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, DPR RI, DPD RI dan presiden/wakil presiden. Sementara gambar terpampang di luar," jelas Bamsoet.
Akibatnya ada dampak psikologis pula bagi mereka. Dia menganggap Pileg dan Pilpres yang dilaksanakan tahun depan ibarat kelinci percobaan, karena kita berani menggelar pemilu serentak yang tidak banyak dilakukan oleh negara lain. "Semoga lancar, karena ini pilihan kita untuk melakukan pemilihan langsung," katanya.
Menurut Bamsoet, tidak hanya Pileg dan Pilpres yang perlu dipikir ulang. Melainkan pilkada langsung perlu pula dikaji lagi. Dalam pilkada langsung tidak menutup kemungkinan akan terjadi transaksional. Di mana untuk mendapatkan tiket maju sebagai calon kepala daerah membutuhkan dana besar yang dipergunakan sebagai biaya kampanye dan saksi. "Fenomena ini perlu dipikirkan kembali. Apakah demokrasi langsung dipertahankan atau pemilihan melalui DPRD yang murah dan efektif. Jika dibiarkan tidak menutup kemungkinan suatu ketika kita dikuasai pemilik modal sehingga banyak terjadi kompromi," imbuhnya. *k22
Lantaran ini baru pertama kali berlangsung sehingga memiliki resiko tinggi. Terlebih para pemilih harus memilih lima jenis pilihan dalam waktu sekitar tiga menit di bilik suara."Perlu evaluasi, apakah pilkada langsung yang kita lakukan ini banyak manfaat atau mudaratnya," ujar Bamsoet, Sabtu (17/3). Berdasarkan pengalaman ketika pemilihan terpisah, masih ada yang bingung. Apalagi saat pemilihan dilakukan serentak nanti, karena tidak semua masyarakat Indonesia memiliki pendidikan sama.
Masih ada yang berpendidikan di bawah SMA. "Kalau mereka bisa baca tidak masalah, tapi bagi yang tidak bisa tentu membingungkan karena ada berlembar-lembar kertas mereka buka untuk memilih DPRD tingkat I, DPRD tingkat II, DPR RI, DPD RI dan presiden/wakil presiden. Sementara gambar terpampang di luar," jelas Bamsoet.
Akibatnya ada dampak psikologis pula bagi mereka. Dia menganggap Pileg dan Pilpres yang dilaksanakan tahun depan ibarat kelinci percobaan, karena kita berani menggelar pemilu serentak yang tidak banyak dilakukan oleh negara lain. "Semoga lancar, karena ini pilihan kita untuk melakukan pemilihan langsung," katanya.
Menurut Bamsoet, tidak hanya Pileg dan Pilpres yang perlu dipikir ulang. Melainkan pilkada langsung perlu pula dikaji lagi. Dalam pilkada langsung tidak menutup kemungkinan akan terjadi transaksional. Di mana untuk mendapatkan tiket maju sebagai calon kepala daerah membutuhkan dana besar yang dipergunakan sebagai biaya kampanye dan saksi. "Fenomena ini perlu dipikirkan kembali. Apakah demokrasi langsung dipertahankan atau pemilihan melalui DPRD yang murah dan efektif. Jika dibiarkan tidak menutup kemungkinan suatu ketika kita dikuasai pemilik modal sehingga banyak terjadi kompromi," imbuhnya. *k22
Komentar