Tradisi Mamunjung Tak Kalah Meriah dengan Galungan
Hari raya Pagerwesi yang jatuh pada Buda Kliwon Sinta, Rabu (21/3) merupakan salah satu hari raya besar Umat Hindu.
SINGARAJA, NusaBali
Di Buleleng, Pagerwesi dirayakan sama meriahnya dengan hari raya Galungan, Kuningan dan Nyepi. Bahkan di hari suci ini, sejumlah umat yang masih memiliki keluarga yang belum diaben juga mengantarkan punjung ke setra.
Tradisi mamunjung saat Hari Pagerwesi dilakoni krama di Buleleng sudah merupakan kebiasan. Dalam pelaksanaan tradisi ini warga yang masih memiliki leluhur yang belum diaben namun hanya dikubur saja, akan membawakan sesaji berupa banten punjung ke setra masing-masing. Mamunjung pun dilakukan setiap hari raya besar seperti Galungan, Kuningan dan Pagerwesi.
Dalam kegiatan mamunjung seluruh anggota keluarga akan hadir di setra. Biasanya mereka akan menjenguk leluhur mereka setelah usai melaksanakan persembahyangan bersama di masing-masing dadya dan pura panti. Barulah setelah itu akan dilanjutkan dengan tradisi mamunjung.
Sebelum menghaturkan banten punjung, akan dimulai dengan membersihkan pusara leluhur yang dikubur di setra itu. Mulai dari mencabuti rumput, hingga menyirami kuburnya dengan air kembang. Selanjutnya barulah diletakkan banten punjung yang menyerupai banten sesaji, berisikan pisang, buah-buahan, aneka jajanan, hingga ajengan tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, seperti telur, daging ayam, saur, kacang hingga tum ayam. Satu persembahan itu biasanya ditempati sebuah nampan berbentuk lingkaran besar. Di atasnya juga terdapat sejumlah jejaitan seperti plaus dari janur yang dihiasi dengan berbagai macam bunga.
Seluruh anggota keluarga inti, satu KK akan membawa satu banten punjung. Sehingga untuk satu pusara bisa berisi lebih dari satu banten punjung. Biasanya pusara leluhur yang belum diabenkan akan mendapatkan jotan punjung dari sanak saudara, ipar, keponakan hingga cucu mereka.
Usai menghaturkan banten punjung, sembari menunggu, anggota keluarga lainnya terkadang menyantap makanan di sekitar pusara leluhurnya. Mereka akan bersantap ebrsama seperti sebuah pertemuan keluarga besar yang merayakan hari besar bersama, termasuk dengan laluhur mereka yang telah berpulang.
Kelian Desa Pakraman Buleleng, Nyoman Sutrisna mengatakan bahwa mamunjung yang dilaksanakan di Buleleng memang sudah menjadi tradisi. “Tradisi mamunjung itu merupakan salah satu wujud hormat keluarga yang memiliki leluhur yang belum diabenkan, setiap hari raya mereka akan dibawakan suguhan berupa banten punjung ke setra,” ujar Sutrisna.
Tradisi mamunjung di Buleleng dikatakan olehnya tidak hanya dilakukan di setra saja, namun hampir di setiap rumah krama Buleleng menyediakan punjung di rumahnya. Biasanya banten punjung diletakkan di tempat tidur atau di meja tamu. Punjung yang dihaturkan di rumah biasanya dilakukan oleh krama yang sudah tidak memiliki leluhur yang belum maaben.
Sementara itu dengan berkembangnya tradisi ngaben massal saat ini, Sutrisna pun mengaku tidak merasa terancam dengan kepunahan tradisi mamunjung di Buleleng. Meski saat ini masyarakat yang melakukan tradisi mamunjung sudah semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan masih ada banjar adat yang mengharuskan kramanya, untuk dikubur terlebih dahulu sebelum akhirnya diabenkan. Begitu pula tradisi mamunjung tetap akan ada karena tradisi itu masih dilakukan di masing-masing rumah meski leluhurnya sudah semuanya diabenkan.*k23
Tradisi mamunjung saat Hari Pagerwesi dilakoni krama di Buleleng sudah merupakan kebiasan. Dalam pelaksanaan tradisi ini warga yang masih memiliki leluhur yang belum diaben namun hanya dikubur saja, akan membawakan sesaji berupa banten punjung ke setra masing-masing. Mamunjung pun dilakukan setiap hari raya besar seperti Galungan, Kuningan dan Pagerwesi.
Dalam kegiatan mamunjung seluruh anggota keluarga akan hadir di setra. Biasanya mereka akan menjenguk leluhur mereka setelah usai melaksanakan persembahyangan bersama di masing-masing dadya dan pura panti. Barulah setelah itu akan dilanjutkan dengan tradisi mamunjung.
Sebelum menghaturkan banten punjung, akan dimulai dengan membersihkan pusara leluhur yang dikubur di setra itu. Mulai dari mencabuti rumput, hingga menyirami kuburnya dengan air kembang. Selanjutnya barulah diletakkan banten punjung yang menyerupai banten sesaji, berisikan pisang, buah-buahan, aneka jajanan, hingga ajengan tumpeng lengkap dengan lauk pauknya, seperti telur, daging ayam, saur, kacang hingga tum ayam. Satu persembahan itu biasanya ditempati sebuah nampan berbentuk lingkaran besar. Di atasnya juga terdapat sejumlah jejaitan seperti plaus dari janur yang dihiasi dengan berbagai macam bunga.
Seluruh anggota keluarga inti, satu KK akan membawa satu banten punjung. Sehingga untuk satu pusara bisa berisi lebih dari satu banten punjung. Biasanya pusara leluhur yang belum diabenkan akan mendapatkan jotan punjung dari sanak saudara, ipar, keponakan hingga cucu mereka.
Usai menghaturkan banten punjung, sembari menunggu, anggota keluarga lainnya terkadang menyantap makanan di sekitar pusara leluhurnya. Mereka akan bersantap ebrsama seperti sebuah pertemuan keluarga besar yang merayakan hari besar bersama, termasuk dengan laluhur mereka yang telah berpulang.
Kelian Desa Pakraman Buleleng, Nyoman Sutrisna mengatakan bahwa mamunjung yang dilaksanakan di Buleleng memang sudah menjadi tradisi. “Tradisi mamunjung itu merupakan salah satu wujud hormat keluarga yang memiliki leluhur yang belum diabenkan, setiap hari raya mereka akan dibawakan suguhan berupa banten punjung ke setra,” ujar Sutrisna.
Tradisi mamunjung di Buleleng dikatakan olehnya tidak hanya dilakukan di setra saja, namun hampir di setiap rumah krama Buleleng menyediakan punjung di rumahnya. Biasanya banten punjung diletakkan di tempat tidur atau di meja tamu. Punjung yang dihaturkan di rumah biasanya dilakukan oleh krama yang sudah tidak memiliki leluhur yang belum maaben.
Sementara itu dengan berkembangnya tradisi ngaben massal saat ini, Sutrisna pun mengaku tidak merasa terancam dengan kepunahan tradisi mamunjung di Buleleng. Meski saat ini masyarakat yang melakukan tradisi mamunjung sudah semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan masih ada banjar adat yang mengharuskan kramanya, untuk dikubur terlebih dahulu sebelum akhirnya diabenkan. Begitu pula tradisi mamunjung tetap akan ada karena tradisi itu masih dilakukan di masing-masing rumah meski leluhurnya sudah semuanya diabenkan.*k23
1
Komentar