nusabali

Penanganan Kasus Pemerkosaan Janggal

  • www.nusabali.com-penanganan-kasus-pemerkosaan-janggal

Pelaku MH baru diamankan pada Oktober, padahal kasus itu dilaporkan resmi Juli 2017.

Komnas Anak Fokus Penanganan Kasus Anak di Buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Komisi Nasional (Komnas) Anak Pokja Bali kini semakin serius melakukan pendampingan dan pengawasan kasus pencabulan dan pemerkosaan anak di bawah umur di Buleleng. Pasca terungkapnya kasus pemerkosaan bocah,  asal Desa/Kecamatan Banjar, Buleleng oleh Pamannya, Komnas Anak Bali juga menemukan kejanggalan penanganan hukum kasus pemerkosaan anak di bawah umur lainnya.

Hal tersebut ditemukan belum lama setelah Komnas Anak Bali mengawal kasus pemerkosaan Melati, bocah asal Desa/Kecamatan Banjar, Buleleng, yang dilakukan pamannya sendiri, IG, 54 pertengahan Februari lalu. Kejanggalan penanganan kasus tersebut terjadi pada kasus serupa yang menimpa AY, 15, yang diperkosa langsung oleh ayah angkatnya MH,54, warga Jalan Surapati, Kelurahan Banyuning, Buleleng sejak berumur 7 tahun.

Selama bertahun-tahun AY mendapat perlakuan keji oleh ayah angkatnya. Selain diperkosa dan dicabuli berulang kali, dia juga diancam untuk tidak mengadukan kasus tersebut kepada ibu angkatnya sendiri. Hingga akhirnya kedua orangtua angkatnya bercerai yang membuat MH lebih leluasa melakukan aksi bejatnya. Baru terungkap Juli 2017 lalu saat AY dibantu keluarga temannya melaporkan kejadian yang dialaminya.

Kasus yang sudah terjadi terungkap dan dilaporkan secara resmi kepada pihak kepolisian pada Juli 2017 lalu, hingga kini belum rampung. Bahkan menurut Ketua Komnas Anak Pokja Bali, Ida Ayu Alit Rahmadewi yang dihubungi Jumat (23/3), mengaku menemukan sejumlah kejanggalan.

“Saya memang kapasitasnya hanya melakukan pendampingan, karena ibu angkat korban sudah menujuk lawyer. Saya masuk di persidangan kedua, menurut pengamatan saya, memang ada kejanggalan dalam penanganan kasus hukum anak ini,” kata dia.

Kejanggalan yang ditemukannya, antara lain proses hukum dinilai lambat. Bahkan pelaku MH baru diamankan pada Oktober, padahal kasus itu dilaporkan resmi Juli 2017. Padahal MH disebut sangat membahayakan karena ada indikasi melakukan hal serupa tidak hanya pada AY, anak angkatnya sendiri.

Penanganan hukum hampir setahun persidangan baru dilakukan tiga kali dengan dua kali penundaan. Kejanggalan yang kedua, menurut Rahmawati,  yakni sikap dan keterangan yang menyudutkan korban dalam persidangan. Bahkan sikap itu dilakukan oleh salah satu pendamping dan pengasuh korban. “Seharusnya selaku pendamping selaku saksi di persidangan kemarin, tidak memberikan keterangan yang menyudutkan dan membuly korban sehingga si anak ini merasa tertekan. Apalagi dari pengakuan korban, ada tekanan,” imbuhnya. Kata dia, sejak kasus ini mencuat, korban yang masih di bawah umur ini, belum pernah mendapatkan pendampingan psikolog. Biasanya difasilitasi oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pelayanan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Dinas Sosial. Dia pun menyayangkan hal tersebut.

Padahal kondisi AY, pasca kasusnya mencuat mengalami trauma keras. Bahkan hal tersebut dikatakan Rahmawati, sangat terlihat jelas ketika AY bertemu dengan pelaku MH yang tidak lain bapak angkatnya di persidangan. “Dia menangis, ketakutan dan tidak mau masuk ke dalam ruangan, secara psikologis dia trauma,” imbuhnya.

Rahmawati mengaku akan terus mengawal kasus hukum AY untuk mendapatkan keadilan. Saat ini dia tengah fokus mengupayakan pemulihan trauma AY dengan support via telepon dan WA, karena terkendala jarak. Selain kasus AY, dia juga akan menggiring terus kasus Melati yang kini harus menjalani masa remajanya di RSJ Bangli akibat diperkosa pamannya sendiri. Pihaknya pun mengaku akan berkoordinasi dengan P2TP2A Buleleng untuk keseriusan penanganan pelecehaan seksual hingga pemerkosaan terhadap anak ini. *k23

Komentar