nusabali

Tyto Alba Menetas 11 Ekor, Masih dalam Pengawasan

  • www.nusabali.com-tyto-alba-menetas-11-ekor-masih-dalam-pengawasan

Konservasi Burung Hantu oleh Umawali di Penebel, Tabanan

TABANAN, NusaBali

Kelompok konservasi burung hantu jenis Tyto Alba bernama Umawali di Banjar Pagi, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan, konsisten mengembangbiakkan ekosistem burung pemakan hama tikus itu. Saat ini sudah ada 11 ekor Tyto Alba yang lahir dari tiga rubuha (rumah burung hantu) yang siap dilepas.

Lewat kelompok TUUT (Tyto Alba Umawali Tani), sebanyak 11 ekor dari 3 rubuha yang berhasil diidentifikasi dalam kondisi baik. Sisanya yang tersebar di 20 rubuha belum teridentifikasi. Sementara jumlah populasi Tyto Alba yang sudah ada dan hidup liar khusus di Desa Senganan sekitar 20 ekor.

Ketua Kelompok TUUT I Made Jonita menerangkan, dari 11 ekor yang sudah menetas ini masih belum bisa terbang. Telur menetas diprediksi seminggu atau tiga hari, karena menetasnya tidak bersamaan. Tumbuhnya juga ada besar dan kecil. “Kalau sekarang mereka dipelihara oleh induknya. Induknya yang ngasih makan,” jelasnya, Jumat (23/3).

Dari 11 ekor Tyto Alba yang baru menetas itu, sementara akan diamati. Jika ada yang tidak bisa terbang atau induknya tidak sanggup memberikan makan, maka akan dikarantina atau diadopsi. Sebab jika dia dilepas begitu saja maka tidak akan bisa bertahan hidup. “Yang saat ini dikarantina ada 5 ekor, mereka cacat tak layak terbang, tapi bisa berkembang biak. Kami yang mencarikan makan tikus,” imbuhnya.

Konservasi yang dimulai dari tahun 2015 ini membawa dampak positif. Ada saja Tyto Alba yang bertelur dan menetas, meskipun dalam jangka waktu lama. Biasanya dari telur hingga layak terbang itu sampai 8 bulan.

Dengan adanya Tyto Alba yang terbang di sekitar Desa Senganan, para petani sangat terbantu. Karena hama tikus hampir tidak ada. Bahkan untuk mencarikan makan 5 ekor Tyto Alba yang saat ini dikarantika, susah. “Dulu kami gagal panen hama tikus banyak, tetapi saat ini hampir tidak ada (hama tikur),” aku Jonita yang kerap dipanggil Dek Enjoy ini.

Diakui Jonita awal mulanya mereka lakukan konservasi ini adalah untuk membantu petani. Kebetulan saat itu dua orang rekannya mengikuti pelatihan terkait Tyto Alba di Denmark selama seminggu. Saat itulah mulai mengkonservasi dengan dana swadaya.

Awalnya Tyto Alba ini didapat di Kantor Camat Kediri 3 ekor, Kantor Camat Tabanan 7 ekor, dan di Desa Pandak Gede 2 ekor. Mereka mendapatkan Tyto Alba di atas atap yang sering digunakan sarang. “Saat itu kami mulai fokus, membuatkan rubuha dan segalanya hingga akhirnya ada populasi yang bertambah,” jelasnya.

Tak hanya di Desa Senganan, perkembangan populasi Tyto Alba juga sudah ada di desa tetangga, seperti Babahan dan Desa Penebel. “Kalau di Banjar Pagi petani Subak Ganggangan hasil panennya berubah 90 persen, yang dulu gagal panen karena tikus, sekarang 90 persen hasilnya sudah didapat,” jelasnya.

Jonita mengakui konservasi ini sudah mendapat dukungan dari Pemkab Tabanan atau Pemprov Bali. Dari awalnya hanya ada 5 rubuha, sekarang sudah ada 20 rubuha semi permanen. Sebab biaya pembuatan 1 rubuha menghabiskan Rp 3 juta. “Pembuatan rubuha memang harus apik. Jika dibuat seadanya rentan ambruk, Tyto Alba tidak akan mau bersarang pasti akan kabur,” ujarnya.

Untuk saat ini pihaknya dibantu 4 orang rekannya. Kendala yang dihadapi adalah mencari makan untuk Tyto Alba yang dikarantika. Sebab saat ini sangat susah mencari tikus. Idealnya di masa perkembangan satu ekor memerlukan makanan dua ekor tikus, sementara saat ini sangat susah mencari tikus. *d

Komentar