nusabali

Nyidakarya Saat Puncak Karya Ida Batara Turun Kabeh di Besakih

  • www.nusabali.com-nyidakarya-saat-puncak-karya-ida-batara-turun-kabeh-di-besakih

Belajar tari Gambuh dan Topeng dari dua kakeknya sejak duduk di bangku SMP, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana Msi mulai diberi kepercayaan Nopeng Sidakarya tahun 1987

Sisi Lain Ketua PHDI Bali-Rektor IHDN Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana Msi

DENPASAR, NusaBali
Tak banyak orang tahu, Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana Msi, 51, ternyata seorang pragina (penari) topeng. Bahkan, di tengah kesibukannya sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Rektor IHDN Denpasar, Prof IGN Sudiana masih sempat ngayah ngigel (menari) Topeng Sidajarya saat puncak Karya Ida Batara Turun Kabeh di Pura Besakih, Desa Pakraman Besakih, Kecamatan Re-ndang, Karangasem saat Purnamaning Kadasa yang bertepatan dengan Tumpek Landep pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (31/3).

Kepada NusaBali, Prof IGN Sudiana menceritakan dirinya sudah sejak lama jadi pragina topeng. Tokoh asal Banjar Santi, Desa/Kecamatan Selat, Karangasem ini mulai diperkenalkan tari Gambuh dan Topeng oleh dua kakeknya saat masih duduk di bangku SMP tahun 1980-an. Untuk tari Gambuh diajarkan oleh pekak (kakek) I Gusti Made Lipur, sementara tari Topeng diajarkan pekak I Gusti Ketut Putu. Menurut Prof Sudiana, kedua kakeknya itu merupakan penari Gambuh dan Topeng yang dulu pernah melanglangbuana hampir ke seluruh pelosok Bali.

“Waktu itu, saya tertarik dengan dunia menari khususnya tari Bali. Sejak SMP saya diajari oleh kedua kakek saya secara bergantian. Awalnya, saya hanya ikut bawa katung, membawakan pakaian kakek saat pentas, ngepah tapel (mengatur tapel yang akan dipakai, Red),” kenang Prof Sudiana kepada NusaBali, Minggu (1/4).

Setelah diajari tari dan ucapan-ucapan Topeng, lambat laun mulai tahun 1987 Prof Sudiana mulai diberikan kepercayaan ‘Nyidakarya’ atau Nopeng Sidakarya pertama kali di sebuah Pura Dadia di Banjar Plemadon, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem. Dari pentas pertamanya itulah, tokoh lembaga umat dan akademisi kelahiran 31 Desember 1967 ini kemudian mulai pentas keliling di desa-desa tetangga.

“Dulu, setiap tradisi ngoncang di rumah saat mau Ngusaba Dodol, saya selalu keliling menari bersama-sama teman di rumah. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMA,” jelas alumnus SMAN 1 Amlapura yang kini menyandang gelar Profesor Bidang Sosiologi Agama dari IHDN Denpasar ini.

“Selama masih sekolah, saya aktif menari. Begitu juga saat tamat kuliah di IHD Denpasar (sekarang Unhi Denpasar, Red) saya menari bersama teman-teman. Setelah menjadi dosen di APGAH (sekarang IHDN Denpasar, Red), saya bersama Pak Sugita mulai membuat Sanggar Gitanjali. Karena sempat kuliah di UGM dari 1997, maka saya rehat menari selama 4 tahun. Barulah pada 2001, saya kembali menari lagi bersama Sanggar Gitanjali, bersama Ngurah Bangli, Sengap, Alit, Ngurah Suana, dan banyak lagi,” ungkap Prof Sudiana.

Selama puluhan tahun menggeluti dunia tari, selalu menyisakan suka duka yang menarik bagi Prof Sudiana. Dia mengaku punya pengalaman unik saat menghadapi kalangan (arena) panggung sempit ukuran 1 meter x 1 meter. Dia pun terpaksa menari sambil duduk. “Saat kalangannya kecil, memang agak susah menari. Justru itu menari paling terkesan, karena saya menarinya sambal duduk. Lagi pakai tapel, lagi ngomong, lagi pakai tapel,” katanya sembari tertawa.

Namun, kata Prof Sudiana, kesulitan juga tidak bisa dihindari. Ada banyak ujian yang dihadapi selama menari Topeng, apalagi Topeng Sidakarya. “Ujiannya, ya kalau menari malam-malam. Ada godaan-godaan berat itu, ya ada orang-orang yang ingin menguji kekuatan penarinya. Apalagi, Nopeng Sidakarya, banyak sekali yang ingin menguji,” cerita ayah empat anak dari pernikahannya dengan Dr Dra Relin DE Mag ini.

Namun, seiring kesibukannya memimpin PHDI Bali dan menjadi Rektor IHDN Denpasar, Prof Sudiana tidak bisa ngayah Nopeng Sidakarya di semua upacara. Akhirnya, dia memilih Nopeng Sidakarya bila ada upacara-upacara besar, seperti Karya Ida Batara Turun Kabeh di Pura Besakih.

“Biar sama-sama jalan, saya menari pas upacara besar saja. Yang lain, saya serahkan ke teman-teman penari lainnya. Sebab, di PHDI saya juga mengisi dharma wacana, sementara di kampus memimpin pendidikan tinggi,” papar tokoh yang sudah tiga kali periode menjadi Ketua PHDI Bali ini.

Prof Sudiana meyakini seni menari Topeng ini adalah warisan dari sang kakek, yang seterusnya akan diwariskan kepada anak cucunya. Selain Prof Sudiana, keluarganya yang juga Nopeng Sidakarya saat ini adalah sang adik kandung, I Gusti Komang Ananjaya. Kini sudah ada bibit yang akan meneruskan seni tari tersebut, yakni anak bungsu Prof Sudiana, IGA Catur Erlinda Diana Putri. Bahkan, anaknya ini ikut ngayah membawakan Tari Topeng Dalem Arsa Wijaya saat Puncak Karya Ida Batara Turun Kabeh di Pura Besakih, Sabtu lalu. *ind

Komentar