Ida Pedanda Lebar Tertimpa Pohon Pule
Ida Pedanda Gede Oka Sidanta, 60, dari Griya Gede Megati Taman Sari, Banjar Tibu Sambi, Desa Yehembang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, lebar (wafat) tertimpa pohon pule di Banjar Kedisan, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo, Sabtu (7/4) pagi sekitar pukul 10.00 Wita.
NEGARA, NusaBali
Peristiwa naas itu terjadi saat Ida Pedanda Oka Sidanta muput (memimpin) ritual nuhur taru (mengambil kayu) bahan tapel (topeng) Barong dan Rangda, Tapakan Ida Betara Sasuhunan Pura Puseh Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja, Banjar Munduk Anggrek Kaja, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo, Jembrana.
Berdasar informasi, musibah saat ritual nuhur taru dari pohon pule di Banjar Kedisan, tepatnya di areal kebun milik Bendesa Pakraman Kedisan I Made Subagia, itu terjadi sekitar pukul 10.00 Wita. Dalam ritual nuhur taru yang diikuti sekitar 70 krama Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja, itu ada dua bongkahan kayu masing-masing ukuran persegi sekitar 40 centimeter dengan kedalaman sekitar 30 centimeter. Kayu tersebut hendak diambil menggunakan gergaji mesin (senso) dari pohon pule berdiameter sekitar 5 meter. Bongkahan kayu yang akan diambil dari pohon dengan total setinggi sekitar 20 meter itu, sengaja dipilih pada bagian batang tengahnya. Untuk mencapai tengah batang pohon, naik tangga dengan ketinggian sekitar 5 meter dari permukaan tanah.
Menurut salah seorang saksi, I Made Rai, 42, saat mengambil bongkahan kayu pertama, tidak ada masalah. Namun saat melanjutkan untuk mengambil bongkahan kayu kedua di dekat posisi bongkahan kayu pertama itu, sempat terdengar suara pohon akan roboh. Seiring suara itu, bagian atas batang pohon (sisa tinggi sekitar 15 meter) dari titik pembongkahan kayu itu benar-benar roboh, dan tepat menimpa sang Ida Pedanda.
“Waktu pohon roboh itu, Ida Pedanda (Ida Pedanda Oka Sidanta), sedang ada di bawah pohon bersama krama. Ida Pedanda sudah turun dari atas tangga untuk menandai bongkahan mana yang harus diambil. Robohnya itu ke arah timur di posisi orang banyak berkumpul. Tetapi begitu lihat pohon sudah mau roboh, tukang gergaji yang ada di atas, langsung melompat turun, dan yang lain langsung berhamburan menyelamatkan diri. Hanya Ida Pedanda yang tertimpa pohon karena terlambat menghindar,” ungkap Rai, didampingi sejumlah saksi lainnya.
Ketika mengetahui kejadian tersebut, sejumlah krama yang berhamburan menyelamatkan diri, langsung berusaha mengevakuasi Ida Pedanda. Namun, Ida Pedanda yang tertimpa batang pohon pada bagian kepala belakang sehingga berlumuran darah itu, sudah tidak sadarkan diri. Krama kemudian membawa Ida Pedanda ke IGD RSU Negara. Begitu sampai di IGD RSU Negara sekitar pukul 10.45 Wita, Ida Pedanda dipastikan telah lebar. Setelah sempat dibersihkan di Ruang Jenazah RSU Negara, layon (jenazah) Ida Pedanda dibawa ke rumah duka sekitar pukul 12.30 Wita.
Dari pemantauan di rumah duka, Sabtu kemarin, layon Ida Pedanda ditempatkan di Bale Sari Griya setempat. Kepergian Ida Pedanda ini meninggalkan duka mendalam di keluarga maupun braya (pengikut) dari kalangan krama desa sekitar.
Kepergian Ida Pedanda Gede Oka Sidanta meninggalkan sang istri, Ida Pedanda Istri Rai Oka, 55, dan tiga orang anak, Ida Ayu Putu Murtini, 39 (bekerja di salah satu restoran di Denpasar sekaligus ibu rumah tangga), Ida Ayu Kade Murdani, 38 (ibu rumah tangga), dan Ida Ayu Komang Gunarini, 27 (ibu rumah tangga). Hingga sore kemarin, tampak sejumlah Ida Pedanda dari dua Griya di Desa Batuagunga, Jembrana, yakni dari Griya Kusara dan dari Griya Megati juga melayat ke rumah duka.
Putri kedua Ida Pedanda Oka Sidanta, Ida Ayu Kade Murdani, didampingi suaminya Ida Bagus Komang Susrama Megati, ketika ditemui di rumah duka, mengaku tidak ada memiliki firasat apapun terkait musibah tersebut. Sebelum terjadi musibah itu, Ida Pedanda tampak beraktivitas seperti hari biasa. Sekitar pukul 05.00 Wita, Ida Pedanda sudah bangun untuk melakukan ritual nyurya suwana (berdoa pagi hari untuk mendoakan alam semesta), dan kemudian berangkat muput ritual nuhur taru tersebut. “Berangkat dari Griya sekitar pukul 08.00 Wita. Waktu berangkat, beliau hanya mengajak pengiring (pendamping) dan sopir,” katanya.
Namun malam sebelumnya, Dayu Murdani yang tinggal bersama sang suami di Banjar Sekar Kejula Kauh, Desa Yehembang Kauh, dan tinggal paling dekat dari Griya, mengaku bermimpi kehilangan baju anaknya. Dalam mimpi itu, Ida Pedanda ikut berusaha mencarikan baju cucunya, tetapi bajunya tidak ditemukan. Mimpi kehilangan baju tersebut, dirasakan biasa dan tidak ada kaitan akan terjadi musibah tersebut.
“Selain mimpi, sebenarnya tadi sempat ngomong-ngomong dengan salah satu pengiring (pengikut) Ida Pedanda, katanya sekitar dua hari lalu, Ida Pedanda katanya sempat bilang akan ada orang meninggal tertimpa pohon. Tetapi, Ida Pedanda katanya tidak bilang siapa, dan tiba-tiba Ida Pedanda yang tertimpa,” ujarnya.
Dikisahkannya, sang Ida Pedanda Oka Sidanta yang sewaktu walaka bernama Ida Bagus Kade Nuarda, dulunya merupakan pekerja serabutan. Almarhum menjadi walaka sekitar tahun 1980, dan didiksa menjadi Ida Pedanda bersama sang istri melalui nabe (guru) Ida Pedanda dari Griya Gede Sibang, Badung, pada tahun 2002. “Sebenarnya, Ida aslinya dari Griya Megati di Desa Batuagung, Jembrana. Tetapi, Ida malinggih sebagai Pedanda di sini,” tambahnya.
Untuk rangkaian upacara palebon Ida Pedanda Oka Sidanta, belum ditentukan pihak keluarga. Keluarga Griya setempat yang juga sudah rembug dengan keluarga dari Griya Megati, memutuskan untuk rangkaian upacara ataupun hari baiknya, akan diminta petunjuk sang nabe, Ida Pedanda dari Griya Sibang Gede. “Rencananya besok kami ke Griya Sibang. Sementara tadi (kemarin) sudah dilakukan penebusan (semacam ritual memanggil roh) di tempat kejadian sebagai rangkaian awal, sebelum nanti rangkaian upacara palebon,” tuturnya.
Sementara Bendesa Munduk Anggrek Kaja I Made Artana, ketika dikonfirmasi Sabtu kemarin, menyatakan berbela sungkawa dengan musibah yang menimpa Ida Pedanda. Menurutnya, kejadian pohon roboh saat ritual nuhur taru itu sangat tidak terduga. Ritual nuhur taru itu merupakan rangkaian prosesi nedunan Tapakan Ida Betara Sasuhunan Pura Puseh Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja. Ada dua tapakan yang rencana dibuat, yakni Barong dan Rangda. “Sebenarnya, rangkaian prosesi nedunan Tapakan Ida Sasuhunan ini sudah hampir setahun direncanakan, dan kami selalu meminta petunjuk Ida Pedanda (almarhum). Tetapi karena harus menunggu hari baik, dan beberapa kali terjadi halangan karena ada upacara lain, akhirnya nuhur taru itu baru terlaksana kemarin,” katanya.
Menurut Artana, padahal dua bongkahan kayu sebagai bahan tapel (topeng) Rangda dan Barong yang dicari itu, sudah dipilih bagian gempongnya (bagian kayu yang menonjol). Pihaknya pun tidak mengerti, meski sudah dipilih khusus bagian gempong dengan naik hampir setinggi 5 meter, pohon berukuran raksasa itu tiba-tiba roboh. “Rasanya agak aneh. Kami juga sangat menyesal sampai Ida Pedanda yang tertimpa,” ujarnya.
Pasca-musibah tersebut, Artana mengaku sudah meminta petunjuk dari salah satu sulinggih atau Ida Pedanda di Mendoyo, Kecamatan Mendoyo, Jembrana. Dia disarankan agar mapralina (meleburkan) satu bongkahan kayu yang telah didapat dari ritual nuhur taru kemarin, dan mengulang rangkaian ritual nuhur taru.
“Tadi itu, rencana cari dua bongkahan kayu, dan baru dapat satu. Sesuai petunjuk, bongkahan yang satu itu kami pralina, dan tadi sudah kami hanyutkan di Pantai Yehembang. Untuk ritual terkait nedunan Ida Sasuhunan, nanti kami rapatkan di desa, dan diulang kembali. Termasuk nanti kami bicarakan dengan pemilik kebun di tempat kejadian yang juga kebetukan sesama bendesa. Kami akan minta petunjuk sulinggih untuk banten pacaruan di lokasi,” tutur Artana. *ode
Peristiwa naas itu terjadi saat Ida Pedanda Oka Sidanta muput (memimpin) ritual nuhur taru (mengambil kayu) bahan tapel (topeng) Barong dan Rangda, Tapakan Ida Betara Sasuhunan Pura Puseh Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja, Banjar Munduk Anggrek Kaja, Desa Yehembang Kauh, Kecamatan Mendoyo, Jembrana.
Berdasar informasi, musibah saat ritual nuhur taru dari pohon pule di Banjar Kedisan, tepatnya di areal kebun milik Bendesa Pakraman Kedisan I Made Subagia, itu terjadi sekitar pukul 10.00 Wita. Dalam ritual nuhur taru yang diikuti sekitar 70 krama Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja, itu ada dua bongkahan kayu masing-masing ukuran persegi sekitar 40 centimeter dengan kedalaman sekitar 30 centimeter. Kayu tersebut hendak diambil menggunakan gergaji mesin (senso) dari pohon pule berdiameter sekitar 5 meter. Bongkahan kayu yang akan diambil dari pohon dengan total setinggi sekitar 20 meter itu, sengaja dipilih pada bagian batang tengahnya. Untuk mencapai tengah batang pohon, naik tangga dengan ketinggian sekitar 5 meter dari permukaan tanah.
Menurut salah seorang saksi, I Made Rai, 42, saat mengambil bongkahan kayu pertama, tidak ada masalah. Namun saat melanjutkan untuk mengambil bongkahan kayu kedua di dekat posisi bongkahan kayu pertama itu, sempat terdengar suara pohon akan roboh. Seiring suara itu, bagian atas batang pohon (sisa tinggi sekitar 15 meter) dari titik pembongkahan kayu itu benar-benar roboh, dan tepat menimpa sang Ida Pedanda.
“Waktu pohon roboh itu, Ida Pedanda (Ida Pedanda Oka Sidanta), sedang ada di bawah pohon bersama krama. Ida Pedanda sudah turun dari atas tangga untuk menandai bongkahan mana yang harus diambil. Robohnya itu ke arah timur di posisi orang banyak berkumpul. Tetapi begitu lihat pohon sudah mau roboh, tukang gergaji yang ada di atas, langsung melompat turun, dan yang lain langsung berhamburan menyelamatkan diri. Hanya Ida Pedanda yang tertimpa pohon karena terlambat menghindar,” ungkap Rai, didampingi sejumlah saksi lainnya.
Ketika mengetahui kejadian tersebut, sejumlah krama yang berhamburan menyelamatkan diri, langsung berusaha mengevakuasi Ida Pedanda. Namun, Ida Pedanda yang tertimpa batang pohon pada bagian kepala belakang sehingga berlumuran darah itu, sudah tidak sadarkan diri. Krama kemudian membawa Ida Pedanda ke IGD RSU Negara. Begitu sampai di IGD RSU Negara sekitar pukul 10.45 Wita, Ida Pedanda dipastikan telah lebar. Setelah sempat dibersihkan di Ruang Jenazah RSU Negara, layon (jenazah) Ida Pedanda dibawa ke rumah duka sekitar pukul 12.30 Wita.
Dari pemantauan di rumah duka, Sabtu kemarin, layon Ida Pedanda ditempatkan di Bale Sari Griya setempat. Kepergian Ida Pedanda ini meninggalkan duka mendalam di keluarga maupun braya (pengikut) dari kalangan krama desa sekitar.
Kepergian Ida Pedanda Gede Oka Sidanta meninggalkan sang istri, Ida Pedanda Istri Rai Oka, 55, dan tiga orang anak, Ida Ayu Putu Murtini, 39 (bekerja di salah satu restoran di Denpasar sekaligus ibu rumah tangga), Ida Ayu Kade Murdani, 38 (ibu rumah tangga), dan Ida Ayu Komang Gunarini, 27 (ibu rumah tangga). Hingga sore kemarin, tampak sejumlah Ida Pedanda dari dua Griya di Desa Batuagunga, Jembrana, yakni dari Griya Kusara dan dari Griya Megati juga melayat ke rumah duka.
Putri kedua Ida Pedanda Oka Sidanta, Ida Ayu Kade Murdani, didampingi suaminya Ida Bagus Komang Susrama Megati, ketika ditemui di rumah duka, mengaku tidak ada memiliki firasat apapun terkait musibah tersebut. Sebelum terjadi musibah itu, Ida Pedanda tampak beraktivitas seperti hari biasa. Sekitar pukul 05.00 Wita, Ida Pedanda sudah bangun untuk melakukan ritual nyurya suwana (berdoa pagi hari untuk mendoakan alam semesta), dan kemudian berangkat muput ritual nuhur taru tersebut. “Berangkat dari Griya sekitar pukul 08.00 Wita. Waktu berangkat, beliau hanya mengajak pengiring (pendamping) dan sopir,” katanya.
Namun malam sebelumnya, Dayu Murdani yang tinggal bersama sang suami di Banjar Sekar Kejula Kauh, Desa Yehembang Kauh, dan tinggal paling dekat dari Griya, mengaku bermimpi kehilangan baju anaknya. Dalam mimpi itu, Ida Pedanda ikut berusaha mencarikan baju cucunya, tetapi bajunya tidak ditemukan. Mimpi kehilangan baju tersebut, dirasakan biasa dan tidak ada kaitan akan terjadi musibah tersebut.
“Selain mimpi, sebenarnya tadi sempat ngomong-ngomong dengan salah satu pengiring (pengikut) Ida Pedanda, katanya sekitar dua hari lalu, Ida Pedanda katanya sempat bilang akan ada orang meninggal tertimpa pohon. Tetapi, Ida Pedanda katanya tidak bilang siapa, dan tiba-tiba Ida Pedanda yang tertimpa,” ujarnya.
Dikisahkannya, sang Ida Pedanda Oka Sidanta yang sewaktu walaka bernama Ida Bagus Kade Nuarda, dulunya merupakan pekerja serabutan. Almarhum menjadi walaka sekitar tahun 1980, dan didiksa menjadi Ida Pedanda bersama sang istri melalui nabe (guru) Ida Pedanda dari Griya Gede Sibang, Badung, pada tahun 2002. “Sebenarnya, Ida aslinya dari Griya Megati di Desa Batuagung, Jembrana. Tetapi, Ida malinggih sebagai Pedanda di sini,” tambahnya.
Untuk rangkaian upacara palebon Ida Pedanda Oka Sidanta, belum ditentukan pihak keluarga. Keluarga Griya setempat yang juga sudah rembug dengan keluarga dari Griya Megati, memutuskan untuk rangkaian upacara ataupun hari baiknya, akan diminta petunjuk sang nabe, Ida Pedanda dari Griya Sibang Gede. “Rencananya besok kami ke Griya Sibang. Sementara tadi (kemarin) sudah dilakukan penebusan (semacam ritual memanggil roh) di tempat kejadian sebagai rangkaian awal, sebelum nanti rangkaian upacara palebon,” tuturnya.
Sementara Bendesa Munduk Anggrek Kaja I Made Artana, ketika dikonfirmasi Sabtu kemarin, menyatakan berbela sungkawa dengan musibah yang menimpa Ida Pedanda. Menurutnya, kejadian pohon roboh saat ritual nuhur taru itu sangat tidak terduga. Ritual nuhur taru itu merupakan rangkaian prosesi nedunan Tapakan Ida Betara Sasuhunan Pura Puseh Desa Pakraman Munduk Anggrek Kaja. Ada dua tapakan yang rencana dibuat, yakni Barong dan Rangda. “Sebenarnya, rangkaian prosesi nedunan Tapakan Ida Sasuhunan ini sudah hampir setahun direncanakan, dan kami selalu meminta petunjuk Ida Pedanda (almarhum). Tetapi karena harus menunggu hari baik, dan beberapa kali terjadi halangan karena ada upacara lain, akhirnya nuhur taru itu baru terlaksana kemarin,” katanya.
Menurut Artana, padahal dua bongkahan kayu sebagai bahan tapel (topeng) Rangda dan Barong yang dicari itu, sudah dipilih bagian gempongnya (bagian kayu yang menonjol). Pihaknya pun tidak mengerti, meski sudah dipilih khusus bagian gempong dengan naik hampir setinggi 5 meter, pohon berukuran raksasa itu tiba-tiba roboh. “Rasanya agak aneh. Kami juga sangat menyesal sampai Ida Pedanda yang tertimpa,” ujarnya.
Pasca-musibah tersebut, Artana mengaku sudah meminta petunjuk dari salah satu sulinggih atau Ida Pedanda di Mendoyo, Kecamatan Mendoyo, Jembrana. Dia disarankan agar mapralina (meleburkan) satu bongkahan kayu yang telah didapat dari ritual nuhur taru kemarin, dan mengulang rangkaian ritual nuhur taru.
“Tadi itu, rencana cari dua bongkahan kayu, dan baru dapat satu. Sesuai petunjuk, bongkahan yang satu itu kami pralina, dan tadi sudah kami hanyutkan di Pantai Yehembang. Untuk ritual terkait nedunan Ida Sasuhunan, nanti kami rapatkan di desa, dan diulang kembali. Termasuk nanti kami bicarakan dengan pemilik kebun di tempat kejadian yang juga kebetukan sesama bendesa. Kami akan minta petunjuk sulinggih untuk banten pacaruan di lokasi,” tutur Artana. *ode
1
Komentar