Dinas LHK Tutup TPS Liar Seluas 2,5 Ha
Sampah yang menumpuk di TPS liar Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, Kuta Selatan, itu berasal dari 3.000 pelanggan di 10 kompleks perumahan.
MANGUPURA, NusaBali
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Badung menutup tempat pembuangan sampah (TPS) liar di atas lahan milik I Wayan Nukartha, di Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Minggu (8/4). Penutupan TPS liar seluas sekitar 2,5 hektare ini berawal dari aduan yang dilakukan oleh ekspatriat asal Prancis kepada Dinas LHK Badung, karena lingkungan sekitar TPS liar itu tercium bau busuk menyengat. Selain itu sering terjadi kepulan asap pekat karena pembakaran sampah.
Dalam upaya penutupan TPS tak berizin itu, Kepala Dinas LHK Badung I Putu Eka Merthawan langsung ke lokasi didampingi oleh Camat Kuta Selatan I Made Widia, Perbekel Ungasan, dan kelian dinas banjar setempat. Tim dari Dinas LHK tiba di lokasi sekitar pukul 10.00 Wita dan langsung melakukan pengecekan lokasi.
Merthawan mengemukakan dahulunya tempat tersebut merupakan tempat uji coba pengolahan sampah untuk pakan ternak sapi. Namun belakangan beralih fungsi menjadi tempat pemilahan dan pembuangan residu sampah. Lahan yang digunakan untuk penumpukan ribuan ton residu sampah itu seluas 2,5 ha dari total luas lahan 7 ha.
Ribuan ton sampah yang terkumpul itu merupakan sampah dari 10 perumahan di Kecamatan Kuta Selatan yang menjadi langganan I Wayan Nukartha. Dari 10 kompleks perumahan itu tercatat sebanyak 3.000 pelanggan. Setiap bulan satu pelanggan membayar bervariasi kisaran Rp 15.000 – Rp 20.000. Meski demikian saat ditanyai oleh Merthawan, Nukartha mengaku hasil retribusi itu tak bisa menutupi biaya untuk pengangkutan ke TPA Suwung, Denpasar Selatan.
Meski mendapat penjelasan dari Nukartha, Dinas LHK Badung tak memberikan toleransi. Merthawan hanya memberikan tenggang waktu sepekan (hinggal 15 April) untuk penutupan sementara. Setelah itu langsung ditutup total.
Diakuinya, pemberian tenggang waktu itu agar Nukartha berkomunikasi dengan warga di 10 perumahan yang jadi pelanggannya. Merthawan meminta yang bersangkutan mencatat semua nama pelanggannya untuk disetor ke Kantor Camat Kuta Selatan selambat-lambatnya hari Rabu lusa.
“Usaha ini tak berizin. Selain itu dampak dari usaha ini menimbulkan bau dan asap yang mencemari lingkungan sekitar. Usaha ini melanggar UU Lingkungan Nomor 32 Tahun 2009. Perdanya juga jelas diatur Perda Nomor 7 Tahun 2013. Mulai hari ini Dinas LHK Badung menutup sementara. Untuk sampah dari langganan selama ini supaya langsung dibawa ke Suwung. Di sana baru dipilah,” tandas Merthawan.
Pihaknya menginstruksikan agar sampah yang menggunung itu ditimbun tanah agar tak menebarkan bau. Sementara untuk sampah plastik yang bisa dijual pihaknya mengizinkan. Pihaknya mengizinkan tempat itu digunakan sebagai gudang sampah. Karena tak menimbulkan bau dan bisa dijadikan bahan bernilai ekonomis. Tetapi kalau membuang sampah yang menimbulkan bau pihaknya dengan tegas akan memproses secara hukum jika membandel.
“Setelah nanti menghadap di Kantor Camat Kutsel, saya akan memanggil lagi untuk menghadap ke kantor LHK Badung. Untuk penandatanganan pernyataan bahwa kami sudah melaksanakan tugas secara formal. Saya tak melarang kalau tempat ini dijadikan gudang, bukan TPA atau sebagai tempat pemilahan sampah. Kalau mau memilah sampahnya saya sarankan untuk dilakukan di Suwung. Jadi yang kami tindak adalah TPA karena terdapat timbunan residu sampah di lokasi ini. Gudang dan TPA itu beda,” kata Merthawan.
Pemilik lahan I Wayan Nukartha, warga asli Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, saat ditemui di lokasi mengaku kegiatan di lahan miliknya itu sudah berlangsung sejak 2003. Awalnya inisiatif dari Desa Ungasan bersama LPD. Dirinya mengaku saat itu dahulu semua desa di Kuta Selatan buang sampahnya pada lahan miliknya. Karena jumlah sampahnya terlalu tinggi akhirnya pada 2009 dirinya meminta ke desa supaya dirinya sendiri yang menanganinya. Tujuan pengambilalihan itu agar sampah dapat tertangani dengan baik dengan cara mengurangi jumlah pelanggan. Saat dirinya mengambil alih, desa dan LPD sudah tak ikut lagi.
“Pembayarannya kepada kami. Jumlah pelanggan sekitar 3.000 rumah dari 10 perumahan di Kuta Selatan yakni Perumahan Taman Sari Jimbaran, Perumahan Penta, Puri Gading, Taman Sakura, Intan Permata, Akasia, Bali Kencana Resort I - III, Ungasan Permai, Nuansa Kori, dan Perum Raya Kampial. Pembayaran yang diterima setip rumah dalam sebulan rata-rata Rp 15.000 – Rp 20.000. Selain itu kami juga membeli barang rongsokan dari pemulung,” tuturnya.
Dirinya mengaku sebenarnya pihaknya berkeinginan untuk membuang residu sampah ke TPA Suwung. Namun karena kekurangan tenaga dan biaya yang digunakan besar untuk pengiriman, terpaksa niat itu urung dilakukan. Dirinya berharap agar dinas mengizinkan agar pemilahan tetap dilakukan di lahan miliknya tersebut. Hasil residunya, dirinya yang langsung mengangkutnya ke Suwung. Dirinya mengaku tarif Rp 15.000 per bulan itu tak menutupi semua biaya.
Dalam sehari sampah yang terkumpul sebanyak 25 ton. Untuk menangani puluhan ton sampah tiap hari itu dirinya mempekerjakan 30 orang. Puluhan orang pekerja itu diberi upah dengan cara bagi hasil. Diakuinya, sebenarnya dirinya ingin membuat izin. Tetapi menurutnya urusannya rumit.
“Saya tak mengurus izin karena susah tembusnya. Dahulunya tempat ini adalah tempat uji coba pengolahan sampah untuk pakan ternak sapi. Saat itu didukung oleh Desa Ungasan dan LPD. Tetapi karena tak sanggup dengan biaya akhirnya saya membuatnya jadi tempat pemilahan sampah. Saya berharap agar dinas memberikan saya untuk melakukan pemilahan di sini, biar residunya saya sendiri yang buang ke TPA Suwung,” tuturnya. *p
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Badung menutup tempat pembuangan sampah (TPS) liar di atas lahan milik I Wayan Nukartha, di Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Minggu (8/4). Penutupan TPS liar seluas sekitar 2,5 hektare ini berawal dari aduan yang dilakukan oleh ekspatriat asal Prancis kepada Dinas LHK Badung, karena lingkungan sekitar TPS liar itu tercium bau busuk menyengat. Selain itu sering terjadi kepulan asap pekat karena pembakaran sampah.
Dalam upaya penutupan TPS tak berizin itu, Kepala Dinas LHK Badung I Putu Eka Merthawan langsung ke lokasi didampingi oleh Camat Kuta Selatan I Made Widia, Perbekel Ungasan, dan kelian dinas banjar setempat. Tim dari Dinas LHK tiba di lokasi sekitar pukul 10.00 Wita dan langsung melakukan pengecekan lokasi.
Merthawan mengemukakan dahulunya tempat tersebut merupakan tempat uji coba pengolahan sampah untuk pakan ternak sapi. Namun belakangan beralih fungsi menjadi tempat pemilahan dan pembuangan residu sampah. Lahan yang digunakan untuk penumpukan ribuan ton residu sampah itu seluas 2,5 ha dari total luas lahan 7 ha.
Ribuan ton sampah yang terkumpul itu merupakan sampah dari 10 perumahan di Kecamatan Kuta Selatan yang menjadi langganan I Wayan Nukartha. Dari 10 kompleks perumahan itu tercatat sebanyak 3.000 pelanggan. Setiap bulan satu pelanggan membayar bervariasi kisaran Rp 15.000 – Rp 20.000. Meski demikian saat ditanyai oleh Merthawan, Nukartha mengaku hasil retribusi itu tak bisa menutupi biaya untuk pengangkutan ke TPA Suwung, Denpasar Selatan.
Meski mendapat penjelasan dari Nukartha, Dinas LHK Badung tak memberikan toleransi. Merthawan hanya memberikan tenggang waktu sepekan (hinggal 15 April) untuk penutupan sementara. Setelah itu langsung ditutup total.
Diakuinya, pemberian tenggang waktu itu agar Nukartha berkomunikasi dengan warga di 10 perumahan yang jadi pelanggannya. Merthawan meminta yang bersangkutan mencatat semua nama pelanggannya untuk disetor ke Kantor Camat Kuta Selatan selambat-lambatnya hari Rabu lusa.
“Usaha ini tak berizin. Selain itu dampak dari usaha ini menimbulkan bau dan asap yang mencemari lingkungan sekitar. Usaha ini melanggar UU Lingkungan Nomor 32 Tahun 2009. Perdanya juga jelas diatur Perda Nomor 7 Tahun 2013. Mulai hari ini Dinas LHK Badung menutup sementara. Untuk sampah dari langganan selama ini supaya langsung dibawa ke Suwung. Di sana baru dipilah,” tandas Merthawan.
Pihaknya menginstruksikan agar sampah yang menggunung itu ditimbun tanah agar tak menebarkan bau. Sementara untuk sampah plastik yang bisa dijual pihaknya mengizinkan. Pihaknya mengizinkan tempat itu digunakan sebagai gudang sampah. Karena tak menimbulkan bau dan bisa dijadikan bahan bernilai ekonomis. Tetapi kalau membuang sampah yang menimbulkan bau pihaknya dengan tegas akan memproses secara hukum jika membandel.
“Setelah nanti menghadap di Kantor Camat Kutsel, saya akan memanggil lagi untuk menghadap ke kantor LHK Badung. Untuk penandatanganan pernyataan bahwa kami sudah melaksanakan tugas secara formal. Saya tak melarang kalau tempat ini dijadikan gudang, bukan TPA atau sebagai tempat pemilahan sampah. Kalau mau memilah sampahnya saya sarankan untuk dilakukan di Suwung. Jadi yang kami tindak adalah TPA karena terdapat timbunan residu sampah di lokasi ini. Gudang dan TPA itu beda,” kata Merthawan.
Pemilik lahan I Wayan Nukartha, warga asli Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, saat ditemui di lokasi mengaku kegiatan di lahan miliknya itu sudah berlangsung sejak 2003. Awalnya inisiatif dari Desa Ungasan bersama LPD. Dirinya mengaku saat itu dahulu semua desa di Kuta Selatan buang sampahnya pada lahan miliknya. Karena jumlah sampahnya terlalu tinggi akhirnya pada 2009 dirinya meminta ke desa supaya dirinya sendiri yang menanganinya. Tujuan pengambilalihan itu agar sampah dapat tertangani dengan baik dengan cara mengurangi jumlah pelanggan. Saat dirinya mengambil alih, desa dan LPD sudah tak ikut lagi.
“Pembayarannya kepada kami. Jumlah pelanggan sekitar 3.000 rumah dari 10 perumahan di Kuta Selatan yakni Perumahan Taman Sari Jimbaran, Perumahan Penta, Puri Gading, Taman Sakura, Intan Permata, Akasia, Bali Kencana Resort I - III, Ungasan Permai, Nuansa Kori, dan Perum Raya Kampial. Pembayaran yang diterima setip rumah dalam sebulan rata-rata Rp 15.000 – Rp 20.000. Selain itu kami juga membeli barang rongsokan dari pemulung,” tuturnya.
Dirinya mengaku sebenarnya pihaknya berkeinginan untuk membuang residu sampah ke TPA Suwung. Namun karena kekurangan tenaga dan biaya yang digunakan besar untuk pengiriman, terpaksa niat itu urung dilakukan. Dirinya berharap agar dinas mengizinkan agar pemilahan tetap dilakukan di lahan miliknya tersebut. Hasil residunya, dirinya yang langsung mengangkutnya ke Suwung. Dirinya mengaku tarif Rp 15.000 per bulan itu tak menutupi semua biaya.
Dalam sehari sampah yang terkumpul sebanyak 25 ton. Untuk menangani puluhan ton sampah tiap hari itu dirinya mempekerjakan 30 orang. Puluhan orang pekerja itu diberi upah dengan cara bagi hasil. Diakuinya, sebenarnya dirinya ingin membuat izin. Tetapi menurutnya urusannya rumit.
“Saya tak mengurus izin karena susah tembusnya. Dahulunya tempat ini adalah tempat uji coba pengolahan sampah untuk pakan ternak sapi. Saat itu didukung oleh Desa Ungasan dan LPD. Tetapi karena tak sanggup dengan biaya akhirnya saya membuatnya jadi tempat pemilahan sampah. Saya berharap agar dinas memberikan saya untuk melakukan pemilahan di sini, biar residunya saya sendiri yang buang ke TPA Suwung,” tuturnya. *p
Komentar