Joged dan Jejak Keberagaman di Tanjung Benoa
Mengawali parade Janger di Bulan April 2018, ada dua sekolah menengah pertama (SMP) yang beradu gerak tari janger.
Janger SMPN 1 Sukawati dan SMPN 3 Kuta Selatan
DENPASAR, NusaBali
Dua sekolah itu, yakni SMP Negeri 1 Sukawati dan SMP Negeri 3 Kuta Selatan. Dari imbauan tentang bahaya joged jaruh hingga keberagaman etnis Tanjung Benoa menjadi pesan dalam pertunjukan keduanya di panggung Natya Mandala, Taman Budaya (Art Center) Denpasar, Jumat (6/4) malam.
Sebagai penampil pertama, SMPN 1 Sukawati mempersembahkan Janger yang dikreasikan dengan Dolanan dengan tajuk ‘Dalem Sangut Adu Ide’. Dalam janger kreasi tersebut, mengangkat kisah Dalem dan Sangut yang sama-sama memiliki sanggar joged. Saat adu tarian, ada tarian joged yang dinilai tak senonoh dan menyimpang dari pakem joged yang sejatinya. Joged itulah yang kini kian meresahkan, yakni joged jaruh.
“Kisah ini kami jadikan sebagai alur penampilan kami sebab bermula dari kekhawatiran kami teradap merebaknya joged jaruh yang kian meresahkan masyarakat,”ujar I Wayan Wiryawan, pembina tabuh SMPN 1 Sukawati. Dia mengaku, mengkreasikan janger dengan dolanan adalah sah-sah saja. Benar saja, persembahan yang dibawakan Suspensa (SMP Negeri 1 Sukawati, red) mengundang gelak tawa penonton berkat guyonan yang dilontarkan Dalem dan kawan-kawan.
“Seni itu tidak kaku, jadi kami kreasikan dengan dolanan agar persembahan kami dapat menyatu dengan penonton,” terangnya yakin. Pada bagian lain, SMP Negeri 3 Kuta Selatan kolaborasi dengan Sanggar Segara Madu mempersembahkan kreasi yang sarat akan sejarah. Mereka membawakan asal mula wilayah Tanjung Benoa yang merupakan akulturasi antara Bali, etnis Tionghoa dan Jawa. Bermula dari perebutan wilayah, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja sama guna melawan penjajah Belanda sekitar tahun 1750.
“Kami ingin masyarakat tahu terkait asal mula wilayah Tanjung Benoa melalui penampilan yang kami persembahkan. Ini persembahan kolaborasi yang kami siapkan selama satu bulan namun intensifnya itu pada 2 minggu terakhir ini,” terang I Nyoman Nircaya, salah seorang seniman di Sanggar Segara Madu.
Meski waktu latihan tergolong singkat, SMPN 3 Kuta Selatan pun sukses memukau penonton dengan persembahannya yang kaya akan akulturasi budaya. Tentunya, inilah yang menjadi harapan NIrcaya dan masyarakat lainnya, bahwa perbedaan bukanlah sekat pemisah melainkan sarana untuk mempersatu bangsa. “Kita ingin menyadarkan masyarakat yang masih berpikir rasis atau radikal, bahwa perbedaan yang diciptakan Sang Pencipta bukanlah pemecah belah bangsa, namun inilah yang menyatukan Indonesia hingga detik ini,” tandasnya. *ind
DENPASAR, NusaBali
Dua sekolah itu, yakni SMP Negeri 1 Sukawati dan SMP Negeri 3 Kuta Selatan. Dari imbauan tentang bahaya joged jaruh hingga keberagaman etnis Tanjung Benoa menjadi pesan dalam pertunjukan keduanya di panggung Natya Mandala, Taman Budaya (Art Center) Denpasar, Jumat (6/4) malam.
Sebagai penampil pertama, SMPN 1 Sukawati mempersembahkan Janger yang dikreasikan dengan Dolanan dengan tajuk ‘Dalem Sangut Adu Ide’. Dalam janger kreasi tersebut, mengangkat kisah Dalem dan Sangut yang sama-sama memiliki sanggar joged. Saat adu tarian, ada tarian joged yang dinilai tak senonoh dan menyimpang dari pakem joged yang sejatinya. Joged itulah yang kini kian meresahkan, yakni joged jaruh.
“Kisah ini kami jadikan sebagai alur penampilan kami sebab bermula dari kekhawatiran kami teradap merebaknya joged jaruh yang kian meresahkan masyarakat,”ujar I Wayan Wiryawan, pembina tabuh SMPN 1 Sukawati. Dia mengaku, mengkreasikan janger dengan dolanan adalah sah-sah saja. Benar saja, persembahan yang dibawakan Suspensa (SMP Negeri 1 Sukawati, red) mengundang gelak tawa penonton berkat guyonan yang dilontarkan Dalem dan kawan-kawan.
“Seni itu tidak kaku, jadi kami kreasikan dengan dolanan agar persembahan kami dapat menyatu dengan penonton,” terangnya yakin. Pada bagian lain, SMP Negeri 3 Kuta Selatan kolaborasi dengan Sanggar Segara Madu mempersembahkan kreasi yang sarat akan sejarah. Mereka membawakan asal mula wilayah Tanjung Benoa yang merupakan akulturasi antara Bali, etnis Tionghoa dan Jawa. Bermula dari perebutan wilayah, hingga akhirnya memutuskan untuk bekerja sama guna melawan penjajah Belanda sekitar tahun 1750.
“Kami ingin masyarakat tahu terkait asal mula wilayah Tanjung Benoa melalui penampilan yang kami persembahkan. Ini persembahan kolaborasi yang kami siapkan selama satu bulan namun intensifnya itu pada 2 minggu terakhir ini,” terang I Nyoman Nircaya, salah seorang seniman di Sanggar Segara Madu.
Meski waktu latihan tergolong singkat, SMPN 3 Kuta Selatan pun sukses memukau penonton dengan persembahannya yang kaya akan akulturasi budaya. Tentunya, inilah yang menjadi harapan NIrcaya dan masyarakat lainnya, bahwa perbedaan bukanlah sekat pemisah melainkan sarana untuk mempersatu bangsa. “Kita ingin menyadarkan masyarakat yang masih berpikir rasis atau radikal, bahwa perbedaan yang diciptakan Sang Pencipta bukanlah pemecah belah bangsa, namun inilah yang menyatukan Indonesia hingga detik ini,” tandasnya. *ind
Komentar