Tekan Angka Cacingan di Bali, Dinkes Bali Samakan Persepsi
Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Kecacingan Tingkat Provinsi Bali lintas sektor untuk menyamakan persepsi dalam melakukan pengendalian penyakit cacingan di Pulau Dewata.
DENPASAR, NusaBali
Saat ini, secara nasional angka prevalensi cacingan di Bali masih dalam kelompok sedang yang masuk di kisaran 20-40 persen, tepatnya 24 persen.“Ini yang harus kita turunkan, sekurang-kurangnya bisa di bawah 10 persen. Karena itu, kami adakan sosialisasi dan advokasi untuk menyamakan persepsi dalam melaksanakan program pengendalian penyakit kecacingan. Mulai dari tingkat provinsi, kita harapkan bisa dilanjutkan oleh teman-teman di kabupaten,” ungkap Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Made Suwitra, usai membuka acara tersebut di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Bali, Selasa (10/4).
Dalam paparannya, pada tahun 2017 lebih dari 690 ribu anak menjadi sasaran minum obat cacing di Provinsi Bali, dengan cakupan pemberian obat cacing sebesar 98,74 persen. Sementara tahun 2018, program pengendalian penyakit cacingan akan menyasar sebanyak 854.067 anak usia 1-12 tahun. “Tujuan kita menekan prevalensi dengan pemberian obat secara maksimal menjangkau seluruh sasaran. Strateginya dengan sosialisasi dan koordinasi lintas sektor. Kita juga harapkan terjadi integrasi pelaksanaan program ini dengan program yang lain,” ujarnya.
Dikatakan, jika prevalensi penyakit cacingan (di atas 50 persen), maka obat cacing diberikan dua kali dalam setahun. Namun karena Bali berada pada prevalensi 20-40 persen, yakni kelompok sedang, anak yang disasar akan diberikan obat cacing satu kali dalam setahun, dengan pengecualian di Gianyar karena kasus stunting (gizi kurang)-nya tinggi, maka bisa diberikan dua kali. “Kecacingan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi stunting. 30 persen masalah stunting itu adalah karena kecacingan, dan kasus stunting itu sudah sejak bayi dalam kandungan,” jelasnya.
“Maka dari itu, yang juga jadi sasaran kita adalah ibu hamil yang anemia (kekurangan darah). Kalau ada ibu hamil yang anemia, wajib dilakukan pemeriksaan fesesnya. Salah satu penyebab anemia bisa karena banyak cacing di dalamnya yang bersifat parasit mengambil sari-sari makanan. Kalau ibunya anemia, kebutuhan janin jadi tidak sempurna, sehingga terjadilah kurang gizi itu. Pemberian obat cacing untuk ibu hamil itu ada aturannya nanti,” paparnya.
Lebih jauh diungkapkan, hal yang terpenting dalam menekan prevalensi penyakit cacingan tidak bisa dengan pemberian obat saja. Perlu kesadaran masyarakat untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lingkungannya masing-masing. Sebab menurut Suwitra, tingginya prevalensi penyakit cacingan dipengaruhi faktor tidak berperilaku PHBS, stunting, sulitnya akses air bersih, lingkungan yang tidak sehat, serta tidak minum obat cacing. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan di lima daerah di Provinsi Bali, Karangasem masih tinggi, dan juga Buleleng.
“Kasus tinggi cenderung di daerah yang kondisi lingkungannya buruk, ditunjang dengan tingkat kemauan masyarakat yang masih rendah akan masalah kecacingan. Sehingga nanti selain pemberian obat secara massal ini kita harapkan juga teman-teman di lapangan melakukan intervensi terhadap masalah lingkungan melalui promosi atau penyuluhan kesehatan. Tidak cukup dengan pemberian obat, masyarakat harus budayakan buang kotoran di jamban yang sehat, menggunakan air bersih, PHBS, cuci tangan pakai sabun, dan menjaga kesehatan,” tandasnya. *ind
Saat ini, secara nasional angka prevalensi cacingan di Bali masih dalam kelompok sedang yang masuk di kisaran 20-40 persen, tepatnya 24 persen.“Ini yang harus kita turunkan, sekurang-kurangnya bisa di bawah 10 persen. Karena itu, kami adakan sosialisasi dan advokasi untuk menyamakan persepsi dalam melaksanakan program pengendalian penyakit kecacingan. Mulai dari tingkat provinsi, kita harapkan bisa dilanjutkan oleh teman-teman di kabupaten,” ungkap Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Made Suwitra, usai membuka acara tersebut di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Bali, Selasa (10/4).
Dalam paparannya, pada tahun 2017 lebih dari 690 ribu anak menjadi sasaran minum obat cacing di Provinsi Bali, dengan cakupan pemberian obat cacing sebesar 98,74 persen. Sementara tahun 2018, program pengendalian penyakit cacingan akan menyasar sebanyak 854.067 anak usia 1-12 tahun. “Tujuan kita menekan prevalensi dengan pemberian obat secara maksimal menjangkau seluruh sasaran. Strateginya dengan sosialisasi dan koordinasi lintas sektor. Kita juga harapkan terjadi integrasi pelaksanaan program ini dengan program yang lain,” ujarnya.
Dikatakan, jika prevalensi penyakit cacingan (di atas 50 persen), maka obat cacing diberikan dua kali dalam setahun. Namun karena Bali berada pada prevalensi 20-40 persen, yakni kelompok sedang, anak yang disasar akan diberikan obat cacing satu kali dalam setahun, dengan pengecualian di Gianyar karena kasus stunting (gizi kurang)-nya tinggi, maka bisa diberikan dua kali. “Kecacingan adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi stunting. 30 persen masalah stunting itu adalah karena kecacingan, dan kasus stunting itu sudah sejak bayi dalam kandungan,” jelasnya.
“Maka dari itu, yang juga jadi sasaran kita adalah ibu hamil yang anemia (kekurangan darah). Kalau ada ibu hamil yang anemia, wajib dilakukan pemeriksaan fesesnya. Salah satu penyebab anemia bisa karena banyak cacing di dalamnya yang bersifat parasit mengambil sari-sari makanan. Kalau ibunya anemia, kebutuhan janin jadi tidak sempurna, sehingga terjadilah kurang gizi itu. Pemberian obat cacing untuk ibu hamil itu ada aturannya nanti,” paparnya.
Lebih jauh diungkapkan, hal yang terpenting dalam menekan prevalensi penyakit cacingan tidak bisa dengan pemberian obat saja. Perlu kesadaran masyarakat untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di lingkungannya masing-masing. Sebab menurut Suwitra, tingginya prevalensi penyakit cacingan dipengaruhi faktor tidak berperilaku PHBS, stunting, sulitnya akses air bersih, lingkungan yang tidak sehat, serta tidak minum obat cacing. Berdasarkan survey yang pernah dilakukan di lima daerah di Provinsi Bali, Karangasem masih tinggi, dan juga Buleleng.
“Kasus tinggi cenderung di daerah yang kondisi lingkungannya buruk, ditunjang dengan tingkat kemauan masyarakat yang masih rendah akan masalah kecacingan. Sehingga nanti selain pemberian obat secara massal ini kita harapkan juga teman-teman di lapangan melakukan intervensi terhadap masalah lingkungan melalui promosi atau penyuluhan kesehatan. Tidak cukup dengan pemberian obat, masyarakat harus budayakan buang kotoran di jamban yang sehat, menggunakan air bersih, PHBS, cuci tangan pakai sabun, dan menjaga kesehatan,” tandasnya. *ind
1
Komentar