Tantangan Media Massa di Masa Pilkada
Program Magister Ilmu Komunikasi IHDN Denpasar bekerjasama dengan Paiketan Krama Bali menggelar dialog publik tentang Pilkada dan Media Massa dalam mendorong pilkada yang bermartabat melalui pemberitaan media massa yang cerdas dan berimbang.
DENPASAR, NusaBali
Dialog tersebut mempertemukan penyelenggara pilkada, praktisi media massa, serta akademisi dan mahasiswa di Aula IHDN Denpasar, Jumat (13/4).Wakil Direktur Pascasarjana IHDN Denpasar, I Nyoman Yoga Segara mengatakan, dialog semacam ini sangat penting dilakukan di perguruan tinggi dan masyarakat untuk memahami informasi yang dipublikasikan ke masyarakat luas tentang pilkada. Sebab dalam pilkada, media massa memegang peran penting.
Dalam hal inilah media massa diingatkan kembali tentang independensi dan keberimbangannya. “Semacam pendidikan politik, di mana informasi yang akan dipublikasikan harus berimbang untuk mencerdaskan calon-calon pemilih,” ungkapnya.
Apalagi seluruh elemen kini menyuarakan pilkada yang damai tanpa hoaks, money politik, dan politisasi SARA. Media massa benar-benar mendapat porsi penting untuk ikut menyukseskan damainya jalan pilkada. Sekedar diketahui, Provinsi Bali kini sedang merayakan tiga perhelatan demokrasi, yakni Pilgub Bali, Pilkada Gianyar dan Pilkada Klungkung. “Kita berharap media bisa berimbang, dalam arti tidak memihak, porsinya jelas, dan lebih memperbanyak sisi informasinya sehingga menjadi informatif,” terangnya. Dalam diskusi yang berlangsung selama dua jam itu, berbagai elemen mendapatkan kesempatan bicara.
Ketut Sunadra dari Bawaslu Provinsi Bali mengamati, selama pilkada 2018 yang tengah berlangsung, pemberitaan di media relatif seimbang, dibandingkan dengan Pilgub Bali 2013. Namun, dia memberi saran agar media tetap harus objektif, dan menggali lebih jauh mengenai visi misi masing-masing pasalang calon (paslon).
“Saya kira peranan media massa memang sangat penting untuk memberikan informasi kegiatan penyelenggaraan pilkada,” kataya. Sementara itu komisioner KPU Bali, I Wayan Jondra menerangkan, beberapa permasalahan yang mungkin terjadi atau rawan dalam pemberitaan media, diantaranya perselingkuhan antara media, jurnalis, dengan partisipasi partai yang melibatkan uang dan independensi media. Di sisi lain, media massa menggunakan akal-akalan mengemas kampanye dalam bentuk news. “Peluang seperti ini mungkin besar sekali terjadi. Berimbang itu belum tentu kesamaan kolom dalam porsi pemberitaan. Tergantung bobotnya, cover both side. Jangan pemberitaan itu satu sumber saja, tapi bagaimana konfirmasinya,” kata Jondra.
Sementara itu dari praktisi media massa, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali, IGMB Dwikora Putra mengatakan, karya jurnalistik tetap berpegang pada kode etik jurnalistik sebagai acuan untuk melakukan pemberitaan. Sehingga pihaknya berharap tidak ada pemberitaan-pemberitaan yang ngawur.
Ditambahkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Hari Puspita, pemberitaan yang objektif, sebenarnya sudah jauh-jauh hari sebelum memasuki tahun politik. Sudah ada warning dari dewan pers untuk jurnalis untuk mawas diri dan berposisi independen. “Bahkan imbauan keras dari dewan pers, agar mengundurkan diri bagi wartawan atau jurnalis yang terlibat dalam pilkada. AJI juga menyepakati bahwa yang terlibat pilkada sebaiknya mundur dari wartawan,” ucapnya. *ind
Dalam hal inilah media massa diingatkan kembali tentang independensi dan keberimbangannya. “Semacam pendidikan politik, di mana informasi yang akan dipublikasikan harus berimbang untuk mencerdaskan calon-calon pemilih,” ungkapnya.
Apalagi seluruh elemen kini menyuarakan pilkada yang damai tanpa hoaks, money politik, dan politisasi SARA. Media massa benar-benar mendapat porsi penting untuk ikut menyukseskan damainya jalan pilkada. Sekedar diketahui, Provinsi Bali kini sedang merayakan tiga perhelatan demokrasi, yakni Pilgub Bali, Pilkada Gianyar dan Pilkada Klungkung. “Kita berharap media bisa berimbang, dalam arti tidak memihak, porsinya jelas, dan lebih memperbanyak sisi informasinya sehingga menjadi informatif,” terangnya. Dalam diskusi yang berlangsung selama dua jam itu, berbagai elemen mendapatkan kesempatan bicara.
Ketut Sunadra dari Bawaslu Provinsi Bali mengamati, selama pilkada 2018 yang tengah berlangsung, pemberitaan di media relatif seimbang, dibandingkan dengan Pilgub Bali 2013. Namun, dia memberi saran agar media tetap harus objektif, dan menggali lebih jauh mengenai visi misi masing-masing pasalang calon (paslon).
“Saya kira peranan media massa memang sangat penting untuk memberikan informasi kegiatan penyelenggaraan pilkada,” kataya. Sementara itu komisioner KPU Bali, I Wayan Jondra menerangkan, beberapa permasalahan yang mungkin terjadi atau rawan dalam pemberitaan media, diantaranya perselingkuhan antara media, jurnalis, dengan partisipasi partai yang melibatkan uang dan independensi media. Di sisi lain, media massa menggunakan akal-akalan mengemas kampanye dalam bentuk news. “Peluang seperti ini mungkin besar sekali terjadi. Berimbang itu belum tentu kesamaan kolom dalam porsi pemberitaan. Tergantung bobotnya, cover both side. Jangan pemberitaan itu satu sumber saja, tapi bagaimana konfirmasinya,” kata Jondra.
Sementara itu dari praktisi media massa, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali, IGMB Dwikora Putra mengatakan, karya jurnalistik tetap berpegang pada kode etik jurnalistik sebagai acuan untuk melakukan pemberitaan. Sehingga pihaknya berharap tidak ada pemberitaan-pemberitaan yang ngawur.
Ditambahkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Hari Puspita, pemberitaan yang objektif, sebenarnya sudah jauh-jauh hari sebelum memasuki tahun politik. Sudah ada warning dari dewan pers untuk jurnalis untuk mawas diri dan berposisi independen. “Bahkan imbauan keras dari dewan pers, agar mengundurkan diri bagi wartawan atau jurnalis yang terlibat dalam pilkada. AJI juga menyepakati bahwa yang terlibat pilkada sebaiknya mundur dari wartawan,” ucapnya. *ind
1
Komentar