Nelayan Ingin Bandara Buleleng di Laut
Sebanyak 26 Kelompok Nelayan dari Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng bikin pernyataan sikap yang intinya menginginkan Bandara Internasional Bali Utara dibangun di tengah laut.
SINGARAJA, NusaBali
Alasannya, bandara di tengah laut minim dampak sosial, ketimbang membangun bandara di darat yang pasti akan menggusur pemukiman penduduk dan banyak pura.Pernyataan sikap tersebut disampaikan saat perwakilan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan menggelar aksi damai di Pantai Kubutambahan, Minggu (15/4) sore sekitar pukul 17.00 Wita. Dalam aksi damai sore itu, mereka hanya berkumpul dan duduk di antas pasir pantai, didampingi LSM Komunitas Masyarakat untuk Peneggakan Hukum dan Keadilan (Kompak).
Perwakilan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan ini menolak jika lokasi pembangunan bandara berada di darat. Alasan, jika lokasi bandara di darat, akan memerlukan lahan yang cukup luas, sehingga banyak pura dan tempat pingit (sakral) akan tergusur. Selain itu, pastinya akan ada pemukiman penduduk yang tergusur.
Menurut salah seorang perwakilan Kelompok Nelayan Kubutambahan, Komang Sumandi, jika bandara dibangun di darat, diprediksi ada sekitar 30 pura yang akan tergusur. “Selain pura dan tempat pngit, akan terjadi alih fungsi lahan jika bandara dibangun di darat. Belujm lagi pemukiman penduduk. Kami tidak ingin itu terjadi. Kalau pura dan tempat pingit digusur, kita berurusan dengan yang di Atas. Kalau nggak, terjadi bencana nanti, itu kan kepercayaan kita. Makanya kami mendukung bandara di tengah laut,” papar Komang Sumandi.
Sumandi menyebutkan, ada ratusan nelayan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan yang tinggal di pesisir pantai dan sepakat menginginkan pembangunan bandara di laut. Hanya saja, jika memang nantinya bandara benar-benar dibangun di laut, pihak investor diharapkan tidak menggusur pemukiman nelayan yang tinggal di pesisir pantai.
“Dulu ada perjanjian perusahaan, kalau bandara di laut agar tidak menggusur pemukiman nelayan di pinggir pantai. Pasalnya, kami semua selama ini tinggal di pesisir pantai. Itu harus dipenuhi. Kemudian, kesejahteraan masyarakat, kalau ada lapangan kerja, agar warga dilibatkan,” ujar perwakilan kelompok nelayan lainnya, Kadek Setiaman.
Sedangkan Wakil Ketua LSM Kompak, Ketut Sumertana, menegaskan pihaknya hanya ingin mendampingi sekaligus juga menyerap keinginan masyarakat, khususnya perwakilan nelayan, yang menyatakan dukungan terhadap rencana pembangunan bandara di laut, bukan di darat. “Sikap masyarakat nelayan terhadap bandara, jelas mereka cenderung bandara dibangun di laut. Karena pertimbangan mereka, masalah alih fungsi lahan jika tetap dipaksakan bandara dibangun di darat,” tandas Sumertana.
Sumertana mengakui warga nelayan memang menginginkan bandara di laut tanpa disertai kajian. Tapi, alasan yang mereka lontarkan sangat masuk akal. Sebab, selain persoalan alih fungsi lahan, keberadaan prahyangan di wilayah Kubutambahan akan terganggu jika bandara dibangun di darat.
“Seluruh warga Buleleng setuju dengan bandara. Hanya, pilihan bandara di laut atau di darat menjadi persoalan. Tapi, berdasarkan logika, kita sebagai umat Hindu, jelas fungsi prahyangan akan terganggu jika bandara dibangun di darat. Sebab, banyak akan digusur. Mudah-mudahan aspirasi warga khususnya nelayan, bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk memutuskan penetapan lokasi banda-ra,” jelas Sumertana.
Bandara Buleleng sendiri sudah direncanakan akan dibangun di Kubutambahan (Buleleng Timur). Ada dua perusahaan yang melakukan kajian lokasi, masing-masing PT Bandara Internasional Bali Utara (BIBU) dan PT Pembangunan Bali Mandiri (Pembari). Jika PT BIBU wacanakan membangun bandara di tengah laut, sementara PT Pembari akan membangun bandara di darat dengan pembebasan lahan. Namun, rencana ini masih menunggu keputusan resmi dari Kemenhub terkait izin penetapan lokasi.
Sementara itu, Kepela Desa (Perbekel) Kubutambahan, Gede Pariadnyana, mengatakan sejauh ini pihaknya belum mendapat informasi apa pun terkait perkembangan rencana pembangunan bandara di wilayahnya. Hingga kini juga belum ada aspirasi yang disampaikan warganya. "Kalau bandara ini kan isu lama. Sampai sekarang belum ada perkembangan apa pun, karena izin Penloknya belum ada, " jelas Perbe-kel Priadnyana saat dikonfirmasi NusaBali, tadi malam.
Disinggung soal aksi damai perwakilan kelompok nelayan yang menginginkan bandara di laut, menurut Pariadnyana, pihaknya mengaku belum mengetahui hal itu. Baginya, keputusan masalah lokasi bandara sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat. Warga setempat juga tidak akan memasalahkan siapa investor bandara.
"Kalau warga saya rasa menyerahkan sepenuhnya ke pusat. Di mana pun lokasi bandaranya nanti, tidak masalah. Karena pusat yang paling tahu lokasi terbaik dengan kajian yang matang. Kami tetap berharap pembangunan bandara segera bisa terwujud," tegas Priadnyana. *k19
Alasannya, bandara di tengah laut minim dampak sosial, ketimbang membangun bandara di darat yang pasti akan menggusur pemukiman penduduk dan banyak pura.Pernyataan sikap tersebut disampaikan saat perwakilan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan menggelar aksi damai di Pantai Kubutambahan, Minggu (15/4) sore sekitar pukul 17.00 Wita. Dalam aksi damai sore itu, mereka hanya berkumpul dan duduk di antas pasir pantai, didampingi LSM Komunitas Masyarakat untuk Peneggakan Hukum dan Keadilan (Kompak).
Perwakilan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan ini menolak jika lokasi pembangunan bandara berada di darat. Alasan, jika lokasi bandara di darat, akan memerlukan lahan yang cukup luas, sehingga banyak pura dan tempat pingit (sakral) akan tergusur. Selain itu, pastinya akan ada pemukiman penduduk yang tergusur.
Menurut salah seorang perwakilan Kelompok Nelayan Kubutambahan, Komang Sumandi, jika bandara dibangun di darat, diprediksi ada sekitar 30 pura yang akan tergusur. “Selain pura dan tempat pngit, akan terjadi alih fungsi lahan jika bandara dibangun di darat. Belujm lagi pemukiman penduduk. Kami tidak ingin itu terjadi. Kalau pura dan tempat pingit digusur, kita berurusan dengan yang di Atas. Kalau nggak, terjadi bencana nanti, itu kan kepercayaan kita. Makanya kami mendukung bandara di tengah laut,” papar Komang Sumandi.
Sumandi menyebutkan, ada ratusan nelayan dari 26 Kelompok Nelayan Kubutambahan yang tinggal di pesisir pantai dan sepakat menginginkan pembangunan bandara di laut. Hanya saja, jika memang nantinya bandara benar-benar dibangun di laut, pihak investor diharapkan tidak menggusur pemukiman nelayan yang tinggal di pesisir pantai.
“Dulu ada perjanjian perusahaan, kalau bandara di laut agar tidak menggusur pemukiman nelayan di pinggir pantai. Pasalnya, kami semua selama ini tinggal di pesisir pantai. Itu harus dipenuhi. Kemudian, kesejahteraan masyarakat, kalau ada lapangan kerja, agar warga dilibatkan,” ujar perwakilan kelompok nelayan lainnya, Kadek Setiaman.
Sedangkan Wakil Ketua LSM Kompak, Ketut Sumertana, menegaskan pihaknya hanya ingin mendampingi sekaligus juga menyerap keinginan masyarakat, khususnya perwakilan nelayan, yang menyatakan dukungan terhadap rencana pembangunan bandara di laut, bukan di darat. “Sikap masyarakat nelayan terhadap bandara, jelas mereka cenderung bandara dibangun di laut. Karena pertimbangan mereka, masalah alih fungsi lahan jika tetap dipaksakan bandara dibangun di darat,” tandas Sumertana.
Sumertana mengakui warga nelayan memang menginginkan bandara di laut tanpa disertai kajian. Tapi, alasan yang mereka lontarkan sangat masuk akal. Sebab, selain persoalan alih fungsi lahan, keberadaan prahyangan di wilayah Kubutambahan akan terganggu jika bandara dibangun di darat.
“Seluruh warga Buleleng setuju dengan bandara. Hanya, pilihan bandara di laut atau di darat menjadi persoalan. Tapi, berdasarkan logika, kita sebagai umat Hindu, jelas fungsi prahyangan akan terganggu jika bandara dibangun di darat. Sebab, banyak akan digusur. Mudah-mudahan aspirasi warga khususnya nelayan, bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk memutuskan penetapan lokasi banda-ra,” jelas Sumertana.
Bandara Buleleng sendiri sudah direncanakan akan dibangun di Kubutambahan (Buleleng Timur). Ada dua perusahaan yang melakukan kajian lokasi, masing-masing PT Bandara Internasional Bali Utara (BIBU) dan PT Pembangunan Bali Mandiri (Pembari). Jika PT BIBU wacanakan membangun bandara di tengah laut, sementara PT Pembari akan membangun bandara di darat dengan pembebasan lahan. Namun, rencana ini masih menunggu keputusan resmi dari Kemenhub terkait izin penetapan lokasi.
Sementara itu, Kepela Desa (Perbekel) Kubutambahan, Gede Pariadnyana, mengatakan sejauh ini pihaknya belum mendapat informasi apa pun terkait perkembangan rencana pembangunan bandara di wilayahnya. Hingga kini juga belum ada aspirasi yang disampaikan warganya. "Kalau bandara ini kan isu lama. Sampai sekarang belum ada perkembangan apa pun, karena izin Penloknya belum ada, " jelas Perbe-kel Priadnyana saat dikonfirmasi NusaBali, tadi malam.
Disinggung soal aksi damai perwakilan kelompok nelayan yang menginginkan bandara di laut, menurut Pariadnyana, pihaknya mengaku belum mengetahui hal itu. Baginya, keputusan masalah lokasi bandara sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat. Warga setempat juga tidak akan memasalahkan siapa investor bandara.
"Kalau warga saya rasa menyerahkan sepenuhnya ke pusat. Di mana pun lokasi bandaranya nanti, tidak masalah. Karena pusat yang paling tahu lokasi terbaik dengan kajian yang matang. Kami tetap berharap pembangunan bandara segera bisa terwujud," tegas Priadnyana. *k19
Komentar