Kupas Nilai Catur Marga Terhadap Hukum Kemasyarakat dan Tata Negara
Dharma Santhi KBMHD-BKOW Provinsi Bali
DENPASAR, NusaBali
Keluarga Besar Mahasiswa Hindu Dharma (KBMHD) Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) bekerjasama dengan Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Provinsi Bali menggelar Dharma Santhi serangkaian Nyepi Tahun Caka 1940, dalam format seminar nasional, Jumat (13/4). Acara yang dihelat di Auditorium Perdiknas Denpasar ini mengangkat tema ‘Implementasi Konsep Catur Marga sebagai Landasan Pembangunan Hukum Kemasyarakatan dan Tata Negara’.
Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber diantaranya keynote speaker Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI Prof Drs I Ketut Widnya MA MPhil PhD, Wakil Ketua DPRD Bali Dr I Nyoman Sugawa Korry SE Ak MM, Wakil Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan SE MM, dan Dosen Fakultas Hukum Undiknas Prof Dr I Nyoman Budiana SH MSi.
Sebagaimana diketahui, Catur Marga merupakan ajaran Agama Hindu. Catur Marga yakni empat jalan menuju Tuhan. Empat jalan itu, diantaranya Bakti Marga (dengan jalan cinta kasih dan pengabdian), Karma Marga (dengan jalan perbuatan tanpa mengharapkan hasil), Jnana Marga (dengan jalan pengetahuan), dan Raja Marga (dengan jalan tapa, brata, yoga, semadhi).
Dikaitkan dengan peranannya terhadap hukum kemasyarakatan dan tata negara, menurut keynote speaker, Prof Widnya, ada dua konsep hukum dalam Agama Hindu yakni Rta dan Dharma. Rta adalah hukum alam semesta. Pada umumnya, berkaitan dengan struktur bumi, matahari bumi dan bulan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sedangkan Dharma merupakan hukum yang mengatur kehidupan manusia dan mengatur kehidupan masyarakat.
Khusus Dharma, Prof Widnya menjelaskan, pada awalnya di zaman Weda, Dharma adalah perintah Weda untuk melaksanakan ritual-ritual di dalam Weda. Sehingga dulunya, orang-orang banyak melakukan upacara-upacara, sedangkan filsafat dan etikan tidak banyak yang menekuni. Dharma lambat laun mengalami perkembangan dari nilai ritual menjadi nilai spiritual. Setelah menjadi nilai spiritual, ada banyak nilai-nilai agama dalam Dharma termasuk Catur Marga. “Catur Marga itu adalah produk dari Dharma yang tujuannya hanya mencapai kebebasan. Secara teologi, Catur Marga ini dijadikan dasar untuk mencapai Tuhan. Sehingga, agama menjadi sumber hukum. Sebagai sumber hukum, kemudian banyak sekali ajaran-ajaran agama yang dijadikan pasal-pasal hukum, atau delik-delik hukum,” jelasnya.
Dia mencontohkan, kitab undang-undang di zaman Majapahit, sebagian besar ajaran-ajaran agama yang dijadikan delik hukum. Dalam hukum yang diberikan oleh ajaran Catur Marga, tidak hanya bersifat bersifat duniawi, tetapi juga kesurgaan. “Catur Marga itu jadi landasan hukum kemasyarakatan, karena tidak hanya bersifat duniawi. Agama Hindu menjadi landasan yang fundamental, baik hukum kemasyarakatan maupun tata negara. Dimana keempat bagian Catur Marga saling keterkaitan, dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat,” ungkapnya.
Sementara dari segi manajemen atau budaya organisasi, Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry menjelaskan, Catur Marga merupakan produk dari budaya lokal yang mempengaruhi budaya nasional. Budaya nasional ini kemudian mempengaruhi budaya organisasi yang akhirnya mempengaruhi perilaku masyarakat. Perilaku ini di dalam masyarakat di samping dipengaruhi oleh budaya, juga dipengaruhi hukum positif. “Ada kaitan antara budaya dengan perilaku, kemudian perilaku dengan hukum positif. Saling mempengaruhi. Perilaku mempengaruhi tujuan, perilaku positif akan mendekatkan pada tujuan, sebaliknya perilaku negatif akan menjauhkan dari tujuan,” jelasnya.
Dijelaskan, ada tiga unsur dalam elemen budaya, diantaranya subsistem idiil yaitu ada sesuatau yang ingin dicapai secara ideal, subsitem sosial yakni berpengaruh kepada tata nilai sosial di masyarakat, dan subsistem artefak yakni ada wujud nyatanya. Jika tiga unsur ini masuk, maka konsep ajaran agama di Bali masuk elemen budaya. “Dalam Catur Marga subsistem idiil, Bakti Marga dan Raja Marga masuk disana, subsistem nilai sosial masuk Jnana Marga, sedangkan Karma Marga subsistem artefak. Dengan Catur Marga ini memenuhi unsur-unsur budaya, nantinya akan mempengaruhi budaya nasinal, organisasi, serta membentuk perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat sudah tentu akan saling mempengaruhi hukum positif,” paparnya.
Narasumber lainnya, Wabup Kembang Hartawan menjelaskan, ajaran Catur Marga sesungguhnya sudah dilakukan bersama-sama, tergantung profesi, kondisi, dan kedudukan. Sebagai pejabat di tingkat eksekutif, yang harus dilakukan pemimpin adalah mengabdikan diri kepada semua masyarakat dengan cara melakukan karya-karya nyata dengan penuh dedikasi keikhlasan. “Secara individu bagaimana seorang pemimpin itu harus punya moralitas. Catur Marga ini untuk meningkatkan moralitas. Kalau di struktur tatanan masyarakat, itu menyangkut komitmen moralitas. Kalau tidak punya komitmen moralitas yang kuat, negara kita tidak akan maju-maju, sehingga tatanan masyarakat perlu komitmen moral,” katanya.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Undiknas, Prof Dr I Nyoman Budiana SH MSi, dalam paparan materinya berjudul ‘Pembangunan Pluralisme Hukum di Indonesia dalam Pendekatan Ajaran Catur Marga’, mengatakan, bila ingin mengedepankan supremasi hukum, salah satu cara pandang yang dapat digunakan adalah pendekatan Catur Marga dalam Agama Hindu. Sebab ajaran Catur Marga universal. Dia memaparkan, Bhakti Marga kaitannya dalam pembangunan hukum dapat dimaknai sebagai cara mencapai tujuan dalam pembangunan hukum dengan penuh disiplin, satyam, solidaritas tinggi, taat asas. Sedangkan Karma Marga kaitannya dengan kerja keras, kerja cerdas, penuh inovasi dan motivasi. Kemudian Jnana Marga fokus dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta idealism yang tinggi untuk mengembangkan pluralism hukum baik hukum nasional, hukum adat dan hukum agama. “Raja Marga kaitannya dengan perenungan yang mendalam. Pembangunan hukum dapat menghasilkan hukum yang mencerminkan keadilan substantif, tidak diskriminatif, dan sebaliknya berlaku efektif sesuai kebutuhan masyarakat. Raja Marga berisikan pendekatan filsafat dalam pembangunan hukum yang mencerminkan nilai kefilsafatan suatu produk hukum,” jelasnya. *ind
Seminar ini menghadirkan beberapa narasumber diantaranya keynote speaker Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI Prof Drs I Ketut Widnya MA MPhil PhD, Wakil Ketua DPRD Bali Dr I Nyoman Sugawa Korry SE Ak MM, Wakil Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan SE MM, dan Dosen Fakultas Hukum Undiknas Prof Dr I Nyoman Budiana SH MSi.
Sebagaimana diketahui, Catur Marga merupakan ajaran Agama Hindu. Catur Marga yakni empat jalan menuju Tuhan. Empat jalan itu, diantaranya Bakti Marga (dengan jalan cinta kasih dan pengabdian), Karma Marga (dengan jalan perbuatan tanpa mengharapkan hasil), Jnana Marga (dengan jalan pengetahuan), dan Raja Marga (dengan jalan tapa, brata, yoga, semadhi).
Dikaitkan dengan peranannya terhadap hukum kemasyarakatan dan tata negara, menurut keynote speaker, Prof Widnya, ada dua konsep hukum dalam Agama Hindu yakni Rta dan Dharma. Rta adalah hukum alam semesta. Pada umumnya, berkaitan dengan struktur bumi, matahari bumi dan bulan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sedangkan Dharma merupakan hukum yang mengatur kehidupan manusia dan mengatur kehidupan masyarakat.
Khusus Dharma, Prof Widnya menjelaskan, pada awalnya di zaman Weda, Dharma adalah perintah Weda untuk melaksanakan ritual-ritual di dalam Weda. Sehingga dulunya, orang-orang banyak melakukan upacara-upacara, sedangkan filsafat dan etikan tidak banyak yang menekuni. Dharma lambat laun mengalami perkembangan dari nilai ritual menjadi nilai spiritual. Setelah menjadi nilai spiritual, ada banyak nilai-nilai agama dalam Dharma termasuk Catur Marga. “Catur Marga itu adalah produk dari Dharma yang tujuannya hanya mencapai kebebasan. Secara teologi, Catur Marga ini dijadikan dasar untuk mencapai Tuhan. Sehingga, agama menjadi sumber hukum. Sebagai sumber hukum, kemudian banyak sekali ajaran-ajaran agama yang dijadikan pasal-pasal hukum, atau delik-delik hukum,” jelasnya.
Dia mencontohkan, kitab undang-undang di zaman Majapahit, sebagian besar ajaran-ajaran agama yang dijadikan delik hukum. Dalam hukum yang diberikan oleh ajaran Catur Marga, tidak hanya bersifat bersifat duniawi, tetapi juga kesurgaan. “Catur Marga itu jadi landasan hukum kemasyarakatan, karena tidak hanya bersifat duniawi. Agama Hindu menjadi landasan yang fundamental, baik hukum kemasyarakatan maupun tata negara. Dimana keempat bagian Catur Marga saling keterkaitan, dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat,” ungkapnya.
Sementara dari segi manajemen atau budaya organisasi, Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry menjelaskan, Catur Marga merupakan produk dari budaya lokal yang mempengaruhi budaya nasional. Budaya nasional ini kemudian mempengaruhi budaya organisasi yang akhirnya mempengaruhi perilaku masyarakat. Perilaku ini di dalam masyarakat di samping dipengaruhi oleh budaya, juga dipengaruhi hukum positif. “Ada kaitan antara budaya dengan perilaku, kemudian perilaku dengan hukum positif. Saling mempengaruhi. Perilaku mempengaruhi tujuan, perilaku positif akan mendekatkan pada tujuan, sebaliknya perilaku negatif akan menjauhkan dari tujuan,” jelasnya.
Dijelaskan, ada tiga unsur dalam elemen budaya, diantaranya subsistem idiil yaitu ada sesuatau yang ingin dicapai secara ideal, subsitem sosial yakni berpengaruh kepada tata nilai sosial di masyarakat, dan subsistem artefak yakni ada wujud nyatanya. Jika tiga unsur ini masuk, maka konsep ajaran agama di Bali masuk elemen budaya. “Dalam Catur Marga subsistem idiil, Bakti Marga dan Raja Marga masuk disana, subsistem nilai sosial masuk Jnana Marga, sedangkan Karma Marga subsistem artefak. Dengan Catur Marga ini memenuhi unsur-unsur budaya, nantinya akan mempengaruhi budaya nasinal, organisasi, serta membentuk perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat sudah tentu akan saling mempengaruhi hukum positif,” paparnya.
Narasumber lainnya, Wabup Kembang Hartawan menjelaskan, ajaran Catur Marga sesungguhnya sudah dilakukan bersama-sama, tergantung profesi, kondisi, dan kedudukan. Sebagai pejabat di tingkat eksekutif, yang harus dilakukan pemimpin adalah mengabdikan diri kepada semua masyarakat dengan cara melakukan karya-karya nyata dengan penuh dedikasi keikhlasan. “Secara individu bagaimana seorang pemimpin itu harus punya moralitas. Catur Marga ini untuk meningkatkan moralitas. Kalau di struktur tatanan masyarakat, itu menyangkut komitmen moralitas. Kalau tidak punya komitmen moralitas yang kuat, negara kita tidak akan maju-maju, sehingga tatanan masyarakat perlu komitmen moral,” katanya.
Sedangkan Dosen Fakultas Hukum Undiknas, Prof Dr I Nyoman Budiana SH MSi, dalam paparan materinya berjudul ‘Pembangunan Pluralisme Hukum di Indonesia dalam Pendekatan Ajaran Catur Marga’, mengatakan, bila ingin mengedepankan supremasi hukum, salah satu cara pandang yang dapat digunakan adalah pendekatan Catur Marga dalam Agama Hindu. Sebab ajaran Catur Marga universal. Dia memaparkan, Bhakti Marga kaitannya dalam pembangunan hukum dapat dimaknai sebagai cara mencapai tujuan dalam pembangunan hukum dengan penuh disiplin, satyam, solidaritas tinggi, taat asas. Sedangkan Karma Marga kaitannya dengan kerja keras, kerja cerdas, penuh inovasi dan motivasi. Kemudian Jnana Marga fokus dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta idealism yang tinggi untuk mengembangkan pluralism hukum baik hukum nasional, hukum adat dan hukum agama. “Raja Marga kaitannya dengan perenungan yang mendalam. Pembangunan hukum dapat menghasilkan hukum yang mencerminkan keadilan substantif, tidak diskriminatif, dan sebaliknya berlaku efektif sesuai kebutuhan masyarakat. Raja Marga berisikan pendekatan filsafat dalam pembangunan hukum yang mencerminkan nilai kefilsafatan suatu produk hukum,” jelasnya. *ind
1
Komentar