Pura Penataran Pande Pun Berubah Nama Jadi Pura Pasupati
Awalnya, Pura Penataran Pande hanya diempon krama soroh Pande. Namun, Desa Pakraman Timbul akhirnya ikut ngempon pura ini setelah pasupati senjata bambu runcing saat G 30 S/PKI. Nama pura pun diganti menjadi Pura Pasupati
Sisi Keunikan Desa Pakraman Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar
GIANYAR, NusaBali
Tidak semua dari 35 pura yang disungsung dan 13 pura yang diempon Desa Pakraman Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar diketahui asal-usulnya. Namun, ada pura yang namanya berganti, seperti Pura Pasupati yang dulunya bernama Pura Penataran Pande.
Pura Pasupati termasuk di antara 13 pura yang diempon krama Desa Pakraman Timbul yang berjumlah 335 kepala keluarga (KK) dengan 1.747 jiwa. Selain Pura Pasupati, 12 pura yang juga diempun Desa Pakraman Timbul adalah Pura Griya Sakti, Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Dalem Kangin, Pura Dalem Kauh, Pura Pingit, Pura Ayu Tukang, Pura Jeroan Agung, Pura Naga Basuki, Pura Carik Junjungan, Pura Prajapati Dalem Kauh, dan Pura Prajapati Dalem Kangin.
Dari 13 pura yang diempon Desa Pakraman Timbul, Pura Pasupati tergolong yang cukup mudah digambarkan kisahnya. Selain unik, kisahnya juga amat menarik perhatian banyak kalangan di tengah krama Bali yang kini sedang fanatik dengan soroh (klan).
Menurut mantan Bendesa Pakraman Timbul, I Made Dena, 57, Pura Pasupati dulunya bernama Pura Penataran Pande. Disebut Pura Penataran Pande, karena pangempon pura ini dari krama soroh Pande. Pura Penataran Pande ini diempon Desa Pakraman Timbul, karena kasidhian (kesaktian) Ida Batara yang berstana di pura tersebut.
Made Dena mengisahkan, ketika peristiwa berdarah G 30 S/PKI berkecamuk, semua krama Desa Pakraman Timbul berjaga-jaga. Tujuannya, menjaga agar krama selamat dari aksi bunuh-membunuh. Masalahnya, saat itu orang terlalu mudah untuk terhasut dan memfitnah dengan menuduh sebagai pengikut PKI.
Nah, menyikapi kondisi carut marut seperti itu, krama Desa Pakraman Timbul sepakat untuk membuat senjata berupa bambu runcing. Sebelum bambu runcing dipakai untuk berjaga-jaga, senjata tajam ini terlebih dulu dipasupati (diupacarai) di Pura Penataran Pande.
Dalam tradisi Hindu di Bali, pasupati merupakan prosesi penyucian dan penguatan tuah (mengisi energi) senjata. Di Pura Penataran Pande inilah krama Desa Pakraman Timbul masesangi (berkaul), jika berhasil selamat dari ancaman peristiwa bunuh-membunuh semasa G 30 S/PKI, maka krama se Desa Pakraman Timbul bersedia untuk ngempon Pura Penataran Pande.
Setelah pasupati senjata di Pura Penataran Pande tersebut, suasana di Desa Pakraman Timbul menjadi damai dan tenteram. Tak ada orang yang berani menyebar fitnah dengan tuduhan PKI. “Kami meyakini kondisi tersebut berkat sih (anugerah) Ida Batara. Saya tahu waktu itu, banyak orang di luar desa dibunuh karena tuduhan ikut partai terlarang (PKI),” kenang Made Dena saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Timbul, Desa Pupuan, Minggu (15/4).
Setelah Desa Pakraman Timbul melakukan pasupasti senjata bambu runcing yang ternyata bertuah kala itu, kemudian semakin banyak krama dari luar soroh Pande yang mapinunas kerahayuan (mohon keselamatan) ke Pura Penataran Pande. Mereka mohon tuah untuk sarwa landep (segala benda tajam).
Made Dena memaparkan, karena terkenang peristiwa G30S/PKI dan banyaknya krama mohon pasupati di Pura Penataran Pande, maka pura tersebut lama-kelamaan berubah nama menjadi Pura Pasupati. Menurut Made Dena, setiap rahina Tumpek Landep yang jatuh 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Landep, pelbagai barang berbahan besi diupacarai di jaba Pura Pasupati. “Termasuk sepeda motor, mobil, truk, dan traktor biasa digeser ke jaba pura untuk diupacarai saat Tumpek Landep,” jelas Bendesa Pakraman Timbul periode Juni 2011 hingga Juni 2017 ini.
Namun, kata Made Dena, prajuru desa yang mengatur persembahyangan Tumpek Landep di Pura Pasupati tidak berani menerima pelbagai jenis senjata untuk diupacarai. Biasanya, barang-barang jenis senjata cukup diperciki tirta (air suci) dari Pura Pasupati di rumahnya masing-masing.
“Kami kalangan prajuru takut senjata atau barang-bantang penting yang diupacarai di Pura Pasupati ini hilang atau tertukar dengan benda yang hampir sama milik krama lainnya,” jelas Made Dena.
Krama Desa Pakraman Timbul sendiri secara keseluruhan nyungsung 35 ora. Dari 35 pura tersebut, sabanyak 13 pura di antaranya diempon oleh krama Desa Pakraman Timbul. Sedangkan 22 pura lainnya di wawidangan Banjar Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang diempon oleh krama yang tergabung dalam kelompok atau sekaa pangempon dan kelompok krama dalam soroh tertentu.
Ke-22 pura tersebut masing-masing Pura Manik Blabur, Pura Gunung Sari, Pura Taman Sari, Pura Manik Sari, Pura Penyungsungan, Pura Kentel Gumi, Pura Merta Sari, Pura Penataran Alit, Pura Merajan Agung, Pura Merajan Alit, Pura Penataran Sukawati, Pura Dadia Pulasari, Pura Dadia Pasek Sanak Sapta Rsi, Pura Panti Perean, Pura Pasimpangan Tirta Empul, Pura Panti Karang, Pura Dalem Pingit, Pura Subak Kupa Jelijih, Pura Taman, Pura Dalem Mengani, Pura Catur (Padma Buwana), dan Pura Naga Basuki.
Bendesa Pakraman Timbul, AA Gede Rai Puja Arsana, 44, menyatakan hingga kini prajuru maupun tetua setempat belum ada yang menemukan bukti otentik berupa purana, prasasti atau babad, terkait sejarah banyaknya pura di desa wayah ini. Yang jelas, menurut Rai Puja Arsana, di Desa Pakraman Timbul terdapat bukti-bukti arkeologis berupa Sarkofagus, yang kini tersimpan di Pura Taman Sari.
Ada juga benda arkeologis Sarkofagus yang tersimpan di Pura Panti Perean dan Pura Dalem Kauh. Sementara di Pura Puseh, tersimpan arca Lingga-Yoni. Berdasarkan penuturan para tetua yang diwariskan secara turun-temurun, benda-benda arkelogis ini membuktikan Desa Pakraman Timbul merupakan salah satu desa wayah (kuno) di Bali. *lsa
GIANYAR, NusaBali
Tidak semua dari 35 pura yang disungsung dan 13 pura yang diempon Desa Pakraman Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar diketahui asal-usulnya. Namun, ada pura yang namanya berganti, seperti Pura Pasupati yang dulunya bernama Pura Penataran Pande.
Pura Pasupati termasuk di antara 13 pura yang diempon krama Desa Pakraman Timbul yang berjumlah 335 kepala keluarga (KK) dengan 1.747 jiwa. Selain Pura Pasupati, 12 pura yang juga diempun Desa Pakraman Timbul adalah Pura Griya Sakti, Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Dalem Kangin, Pura Dalem Kauh, Pura Pingit, Pura Ayu Tukang, Pura Jeroan Agung, Pura Naga Basuki, Pura Carik Junjungan, Pura Prajapati Dalem Kauh, dan Pura Prajapati Dalem Kangin.
Dari 13 pura yang diempon Desa Pakraman Timbul, Pura Pasupati tergolong yang cukup mudah digambarkan kisahnya. Selain unik, kisahnya juga amat menarik perhatian banyak kalangan di tengah krama Bali yang kini sedang fanatik dengan soroh (klan).
Menurut mantan Bendesa Pakraman Timbul, I Made Dena, 57, Pura Pasupati dulunya bernama Pura Penataran Pande. Disebut Pura Penataran Pande, karena pangempon pura ini dari krama soroh Pande. Pura Penataran Pande ini diempon Desa Pakraman Timbul, karena kasidhian (kesaktian) Ida Batara yang berstana di pura tersebut.
Made Dena mengisahkan, ketika peristiwa berdarah G 30 S/PKI berkecamuk, semua krama Desa Pakraman Timbul berjaga-jaga. Tujuannya, menjaga agar krama selamat dari aksi bunuh-membunuh. Masalahnya, saat itu orang terlalu mudah untuk terhasut dan memfitnah dengan menuduh sebagai pengikut PKI.
Nah, menyikapi kondisi carut marut seperti itu, krama Desa Pakraman Timbul sepakat untuk membuat senjata berupa bambu runcing. Sebelum bambu runcing dipakai untuk berjaga-jaga, senjata tajam ini terlebih dulu dipasupati (diupacarai) di Pura Penataran Pande.
Dalam tradisi Hindu di Bali, pasupati merupakan prosesi penyucian dan penguatan tuah (mengisi energi) senjata. Di Pura Penataran Pande inilah krama Desa Pakraman Timbul masesangi (berkaul), jika berhasil selamat dari ancaman peristiwa bunuh-membunuh semasa G 30 S/PKI, maka krama se Desa Pakraman Timbul bersedia untuk ngempon Pura Penataran Pande.
Setelah pasupati senjata di Pura Penataran Pande tersebut, suasana di Desa Pakraman Timbul menjadi damai dan tenteram. Tak ada orang yang berani menyebar fitnah dengan tuduhan PKI. “Kami meyakini kondisi tersebut berkat sih (anugerah) Ida Batara. Saya tahu waktu itu, banyak orang di luar desa dibunuh karena tuduhan ikut partai terlarang (PKI),” kenang Made Dena saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Timbul, Desa Pupuan, Minggu (15/4).
Setelah Desa Pakraman Timbul melakukan pasupasti senjata bambu runcing yang ternyata bertuah kala itu, kemudian semakin banyak krama dari luar soroh Pande yang mapinunas kerahayuan (mohon keselamatan) ke Pura Penataran Pande. Mereka mohon tuah untuk sarwa landep (segala benda tajam).
Made Dena memaparkan, karena terkenang peristiwa G30S/PKI dan banyaknya krama mohon pasupati di Pura Penataran Pande, maka pura tersebut lama-kelamaan berubah nama menjadi Pura Pasupati. Menurut Made Dena, setiap rahina Tumpek Landep yang jatuh 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Landep, pelbagai barang berbahan besi diupacarai di jaba Pura Pasupati. “Termasuk sepeda motor, mobil, truk, dan traktor biasa digeser ke jaba pura untuk diupacarai saat Tumpek Landep,” jelas Bendesa Pakraman Timbul periode Juni 2011 hingga Juni 2017 ini.
Namun, kata Made Dena, prajuru desa yang mengatur persembahyangan Tumpek Landep di Pura Pasupati tidak berani menerima pelbagai jenis senjata untuk diupacarai. Biasanya, barang-barang jenis senjata cukup diperciki tirta (air suci) dari Pura Pasupati di rumahnya masing-masing.
“Kami kalangan prajuru takut senjata atau barang-bantang penting yang diupacarai di Pura Pasupati ini hilang atau tertukar dengan benda yang hampir sama milik krama lainnya,” jelas Made Dena.
Krama Desa Pakraman Timbul sendiri secara keseluruhan nyungsung 35 ora. Dari 35 pura tersebut, sabanyak 13 pura di antaranya diempon oleh krama Desa Pakraman Timbul. Sedangkan 22 pura lainnya di wawidangan Banjar Timbul, Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang diempon oleh krama yang tergabung dalam kelompok atau sekaa pangempon dan kelompok krama dalam soroh tertentu.
Ke-22 pura tersebut masing-masing Pura Manik Blabur, Pura Gunung Sari, Pura Taman Sari, Pura Manik Sari, Pura Penyungsungan, Pura Kentel Gumi, Pura Merta Sari, Pura Penataran Alit, Pura Merajan Agung, Pura Merajan Alit, Pura Penataran Sukawati, Pura Dadia Pulasari, Pura Dadia Pasek Sanak Sapta Rsi, Pura Panti Perean, Pura Pasimpangan Tirta Empul, Pura Panti Karang, Pura Dalem Pingit, Pura Subak Kupa Jelijih, Pura Taman, Pura Dalem Mengani, Pura Catur (Padma Buwana), dan Pura Naga Basuki.
Bendesa Pakraman Timbul, AA Gede Rai Puja Arsana, 44, menyatakan hingga kini prajuru maupun tetua setempat belum ada yang menemukan bukti otentik berupa purana, prasasti atau babad, terkait sejarah banyaknya pura di desa wayah ini. Yang jelas, menurut Rai Puja Arsana, di Desa Pakraman Timbul terdapat bukti-bukti arkeologis berupa Sarkofagus, yang kini tersimpan di Pura Taman Sari.
Ada juga benda arkeologis Sarkofagus yang tersimpan di Pura Panti Perean dan Pura Dalem Kauh. Sementara di Pura Puseh, tersimpan arca Lingga-Yoni. Berdasarkan penuturan para tetua yang diwariskan secara turun-temurun, benda-benda arkelogis ini membuktikan Desa Pakraman Timbul merupakan salah satu desa wayah (kuno) di Bali. *lsa
Komentar