Tidak Perawan, Busana Bisa Melorot
Kesenian sakral Tari Lente dipentaskan di jaba Pura Panti Timbrah, Banjar Timbrah, Desa Pakraman Sampalan, Kecamatan Dawan, Klungkung saat rahina Anggara Pon Langkir, Selasa (23/2) malam.
Pentas Tari Lente di Pura Panti Timbrah, Sampalan
SEMARAPURA, NusaBali
Tarian sakral ini melibatkan 20 penari yang semuanya berstatus daha (gadis perawan). Jika penarinya sudah tidak perawan, busana yang dikenakannya akan melorot dengan sendirinya.
Pentas Tari Lente di jaba Pura Panti Timbrah, Desa Pakraman Sampalan, Selasa malam pukul 21.00-22.00 Wita, dilaksanakan tiga hari setelah ritual Dewa Masraman pada Saniscara Kliwon Kuningan. Tari Lente dipentaskan sebagai simbolik memohon kesuburan tanah.
Ciri khas tarian sakral ini, para penarinya yang berjumlah 20 orang mengenakan Kembang Plendo, yakni rangkain bunga buatan dari hati ketela pohon, yang digelungkan di kepala. Kembang Plendo tersebut sebagai perlambang kehidupan.
Menurut pamangku Pura Panti Timbrah, Jro Mangku Made Mustika, Tari Lente dipentaskan serangkaian digelarnya karya pujawali di pura dadia tersebut. Pujawali kali ini berlangsung selama 11 hari, sejak Hari Raya Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (20/2) lalu. Nah, sesuai tradisi, pada hari ketiga pelaksanaan pujawali, dipentaskanlah Tari Lente.
Lente itu sendiri berasal dari kata Nyelente, yang berarti pelan, lembut, dan sebagainya. Sesuai namanya, maka gerakan Tari Lente ini pun sangat pelan dan sederhana, yakni maju tiga langkah serong kiri, serong kanan, diikuti gerakan tangan yang gemulai. Para penari daha bergerak memutar sesuai arah jarum jam sebanyak tiga kali, dengan durasi waktu selama 1 jam, dengan diiringi penabuh gong yang juga semua kaum istri (wanita).
"Putaran tiga kali bermakna tiga siklus perputaran alam: Utpeti (penciptaan), Stithi (pemeliharaan), dan Pralina (peleburan)," terang Jro Mangku Mustika saat ditemui NusaBali di sela pementasan Tari Lente di jaba Pura Panti Timbrah, tadi malam.
Saking sederhananya gerakan Tari Lente, sehingga para penari yang mengenakan atribut berwarna putih-kuning tidak pernah melakukan latihan khusus, belajar kelompok, maupun gladi bersih. Bahkan, mereka tidak mengetahui satu sama lain bahwa akan tampil dan berapa pula jumlah penarinya. Begitu yang bersangkutan siap ngayah, tinggal mengambil Kembang Plendo dan atribut di tempat yang sudah disediakan.
“Mereka (yang telah ambil Kembang Plendo dan atribut lainnya) kemudian mapayas (berias) di rumah masing-masing. Begitu acara pementasan tari dimulai, mereka langsung pentas. Krama dari luar dadia juga boleh ikut ngayah menarikan Tari Lente," jelas Jro Mangku Mustika.
Jro Mangku Mustika memaparkan, jumlah penari dalam Tari Lente tidak dibatasi. Biasanya, berkisar 15-20 penari, bahkan ada kalanya mencapai 30 orang. Jumlah penari ditentukan sesuai dengan jumlah Kembang Plendo yang disediakan. Kembang Plendo itu sendiri dibuat oleh ahlinya. Sebab, untuk merangkai hati ketela pohon (pangkal isinya) agar menyerupai bunga, tidaklah gampang. “Untuk pentas Tari Lente malam ini (tadi malam) hanya tersedia 20 Kembang Plendo,” ungkap Jro Mangku Mustika.
Bagi krama pangempon Pura Panti Timbrah yang berjumlah 100 kepala keluarga (KK) dari Banjar Timbrah, Desa Pakraman Sampalan, Tari Lente ini terbialng sakral, meskipun gerakannya sederhana dan tanpa latihan terlebih dulu. Krama setempat percaya, jika ada penari yang ternyata sudah tidak perawan, maka busananya akan melorot dengan sendirinya.
Jro Mangku Mustika mencontohkan peristiwa setahun lalu. Ketika itu, busana salah seorang penari Lente tiba-tiba melorot dan disaksikan ratusan krama pangempon pura. “Berdasarkan keyakinan yang kami warisi turun temurun, jika penarinya tidak perawan lagi, busananya bakal melorot,” katanya.
Menurut Jro Mangku Mustika, mungkin saja penari yang busananya mendadak melorot setahun lalu itu sengaja mentas untuk menepis anggapan orang yang kerap mencemoohnya sudah tidak perawan lagi. “Yang bersangkutan ingin membuktikan diri masih perawan. Eh, ternyata pakaiannya melorot,” kenasng Jro Mangku Mustika. 7 w
Komentar