Jadi Pelita untuk Generasi Bangsa
Dra Ni Wayan Ratih Tritamanti MPd, Pengajar di SLBN 1 Denpasar
DENPASAR, NusaBali
Raden Ajeng Kartini menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia meraih kesetaraannya dengan kaum laki-laki. Namun, Kartini masa kini tidak harus dengan menjadi aktivis yang bersuara lantang untuk menunjukkan betapa kuatnya sosok yang dinamakan wanita. Menjadi berguna untuk generasi emas bangsa adalah satu cara memancarkan pelita seperti Kartini.
Seperti itulah yang digeluti oleh Dra Ni Wayan Ratih Tritamanti MPd, 58. Wanita asal Banjar Taman, Ubud, Gianyar ini sejak tahun 1985 hingga sekarang telah mengabdikan diri mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Denpasar yang berada di Jalan Serma Gede Nomor 11, Sanglah. Dia menjadi pelita bagi pelajar tunanetra dan siswa berkebutuhan khusus lainnya.
Bagi Ratih, mengajar siswa berkebutuhan khusus adalan panggilan hati. Dari mereka, ia mempelajari tentang kehidupan. “Saya punya harapan besar bagaimana anak-anak ini (berkebutuhan khusus, red) bisa berkontribusi ke masyarakat. Ada panggilan dari hati saya, agar mereka bisa diterima seperti kita yang normal,” cerita Ratih saat ditemui di SLB setempat, Jumat (20/4).
Ratih melihat anak berkebutuhan khusus juga memiliki potensi. Dia terus mempelajari anak berkebutuhan khusus hingga akhirnya dia mendapat kesempatan pelatihan tentang bagaimana menghadapi dan memotivasi anak berkebutuhan khusus untuk belajar. Dia mendapat pelatihan Special Teacher di Jakarta yang diselenggarakan oleh Universitas Oslo, Norwegia.
“Pelatihan ini merupakan pelajaran yang langka. Saat itu pemerintah berkomitmen agar di seluruh anak-anak di Indonesia menpadat pendidikan yang layak dan bermutu. Tanpa terkecuali berkebutuhan khusus,” jelasnya.
Meski diakui memang tidak mudah, namun Ratih sangat cinta mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapapun sulitnya, dia tetap berusaha agar anak-anak tetap senang belajar. “Sebelum mengajar, kita memang harus membuka hati. Kalau ada perasaan kesal dan marah harus dikelola dengan baik. Kesiapan mengajar sangat diperlukan,” kata putri dari pasangan (Alm) Putu Badra dan Ni Ketut Putri tersebut.
Selain itu, guru untuk siswa berkebutuhan khusus harus telaten. Guru harus terus menerus belajar dari anak. Bagaimana dan apa yang bisa dilakukan, harus bisa ditangkap. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan kondisi yang berbeda. “Kalau mengajar kita harus paham kebutuhan khususnya apa. Misalnya yang tunanetra, akan berbeda dengan yang autis, yang gangguan emosi sosial, dan hiperaktif,” ulas istri dua anak dari pernikahannya dengan Nyoman Lanus ini.
“Tapi cara mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tidak harus lembut semua. Kadang guru juga harus tegas, dan kapan harus biasa-biasa saja. Ini agar siswa paham kalau dia sedang melakukan kesalahan. Sehingga guru bisa berbagai karakter. Disinilah seninya mengajar anak-anak,” imbuhnya.
Ratih juga menjadi bagian dari sejarah SLB Negeri 1 Denpasar memiliki gagasan mulai menerima siswa berkebutuhan khusus lainnya. Karena awalnya SLB Negeri 1 Denpasar bernama SLB A Denpasar, hanya menerima siswa tunanetra. Namun, sejak 11 tahun lalu SLB A Denpasar ini menerima siswa berkebutuhan khusus seperti autis, hiperaktif, gangguan emosi sosial, tuna grahita, dan kebutuhan khusus lainnya. “Banyak orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus bingung cari sekolah. Karena SLB sangat terbatas sedangkan populasi anak seperti itu lumayan banyak. Kita tidak sampai hati melihatnya,” tuturnya.
Namun, ujian besar melanda kala itu, karena berbenturan dengan payung hukum. Dinas Pendidikan saat itu mempertanyakan dasar SLB A Denpasar menerima siswa berkebutuhan khusus yang lain juga, padahal nomenklantur sekolahnya hanya diperuntukkan menerima siswa tunanetra. Namun akhirnya kini pemerintah gencar menggaungkan pendidikan inklusif, yakni pendidikan pendidikan dimana semua anak-anak belajar sedangkan di dalam sistem pembelajarannya itu menyesuaikan dengan kebutuhan anak.
“Waktu itu sangat sulit, karena kita berbenturan dengan payung hukum. Kami cari terus dasar hukum untuk menjadi dasar. Sampai akhirnya tahun 2017 ada Pergub SLB A Denpasar menjadi SLB N 1 Denpasar yang artinya bisa menerima siswa berkebutuhan khusus lainnya,” ceritanya.
Disinggung mengenai arti Kartini, Ratih mengungkapkan Kartini menjadi sosok inspirasi untuk saya berjuang. Bagaimana sebagai wanita harus menguatkan diri untuk bisa lebih kuat menghadapi tantangan, tahan ujian dan permasalahan. “Kartini saya anggap sebagai penerang untuk saya tidak putus asa dalam menghadapi kehidupan. Melalui pendidikan mungkin saya bisa berkontribusi untuk mendidik anak-anak yang membutuhkan saya, yang berkebutuhan khusus untuk masa depan yang yang lebih baik,” harapnya. *ind
Raden Ajeng Kartini menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia meraih kesetaraannya dengan kaum laki-laki. Namun, Kartini masa kini tidak harus dengan menjadi aktivis yang bersuara lantang untuk menunjukkan betapa kuatnya sosok yang dinamakan wanita. Menjadi berguna untuk generasi emas bangsa adalah satu cara memancarkan pelita seperti Kartini.
Seperti itulah yang digeluti oleh Dra Ni Wayan Ratih Tritamanti MPd, 58. Wanita asal Banjar Taman, Ubud, Gianyar ini sejak tahun 1985 hingga sekarang telah mengabdikan diri mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Denpasar yang berada di Jalan Serma Gede Nomor 11, Sanglah. Dia menjadi pelita bagi pelajar tunanetra dan siswa berkebutuhan khusus lainnya.
Bagi Ratih, mengajar siswa berkebutuhan khusus adalan panggilan hati. Dari mereka, ia mempelajari tentang kehidupan. “Saya punya harapan besar bagaimana anak-anak ini (berkebutuhan khusus, red) bisa berkontribusi ke masyarakat. Ada panggilan dari hati saya, agar mereka bisa diterima seperti kita yang normal,” cerita Ratih saat ditemui di SLB setempat, Jumat (20/4).
Ratih melihat anak berkebutuhan khusus juga memiliki potensi. Dia terus mempelajari anak berkebutuhan khusus hingga akhirnya dia mendapat kesempatan pelatihan tentang bagaimana menghadapi dan memotivasi anak berkebutuhan khusus untuk belajar. Dia mendapat pelatihan Special Teacher di Jakarta yang diselenggarakan oleh Universitas Oslo, Norwegia.
“Pelatihan ini merupakan pelajaran yang langka. Saat itu pemerintah berkomitmen agar di seluruh anak-anak di Indonesia menpadat pendidikan yang layak dan bermutu. Tanpa terkecuali berkebutuhan khusus,” jelasnya.
Meski diakui memang tidak mudah, namun Ratih sangat cinta mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Seberapapun sulitnya, dia tetap berusaha agar anak-anak tetap senang belajar. “Sebelum mengajar, kita memang harus membuka hati. Kalau ada perasaan kesal dan marah harus dikelola dengan baik. Kesiapan mengajar sangat diperlukan,” kata putri dari pasangan (Alm) Putu Badra dan Ni Ketut Putri tersebut.
Selain itu, guru untuk siswa berkebutuhan khusus harus telaten. Guru harus terus menerus belajar dari anak. Bagaimana dan apa yang bisa dilakukan, harus bisa ditangkap. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan kondisi yang berbeda. “Kalau mengajar kita harus paham kebutuhan khususnya apa. Misalnya yang tunanetra, akan berbeda dengan yang autis, yang gangguan emosi sosial, dan hiperaktif,” ulas istri dua anak dari pernikahannya dengan Nyoman Lanus ini.
“Tapi cara mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tidak harus lembut semua. Kadang guru juga harus tegas, dan kapan harus biasa-biasa saja. Ini agar siswa paham kalau dia sedang melakukan kesalahan. Sehingga guru bisa berbagai karakter. Disinilah seninya mengajar anak-anak,” imbuhnya.
Ratih juga menjadi bagian dari sejarah SLB Negeri 1 Denpasar memiliki gagasan mulai menerima siswa berkebutuhan khusus lainnya. Karena awalnya SLB Negeri 1 Denpasar bernama SLB A Denpasar, hanya menerima siswa tunanetra. Namun, sejak 11 tahun lalu SLB A Denpasar ini menerima siswa berkebutuhan khusus seperti autis, hiperaktif, gangguan emosi sosial, tuna grahita, dan kebutuhan khusus lainnya. “Banyak orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus bingung cari sekolah. Karena SLB sangat terbatas sedangkan populasi anak seperti itu lumayan banyak. Kita tidak sampai hati melihatnya,” tuturnya.
Namun, ujian besar melanda kala itu, karena berbenturan dengan payung hukum. Dinas Pendidikan saat itu mempertanyakan dasar SLB A Denpasar menerima siswa berkebutuhan khusus yang lain juga, padahal nomenklantur sekolahnya hanya diperuntukkan menerima siswa tunanetra. Namun akhirnya kini pemerintah gencar menggaungkan pendidikan inklusif, yakni pendidikan pendidikan dimana semua anak-anak belajar sedangkan di dalam sistem pembelajarannya itu menyesuaikan dengan kebutuhan anak.
“Waktu itu sangat sulit, karena kita berbenturan dengan payung hukum. Kami cari terus dasar hukum untuk menjadi dasar. Sampai akhirnya tahun 2017 ada Pergub SLB A Denpasar menjadi SLB N 1 Denpasar yang artinya bisa menerima siswa berkebutuhan khusus lainnya,” ceritanya.
Disinggung mengenai arti Kartini, Ratih mengungkapkan Kartini menjadi sosok inspirasi untuk saya berjuang. Bagaimana sebagai wanita harus menguatkan diri untuk bisa lebih kuat menghadapi tantangan, tahan ujian dan permasalahan. “Kartini saya anggap sebagai penerang untuk saya tidak putus asa dalam menghadapi kehidupan. Melalui pendidikan mungkin saya bisa berkontribusi untuk mendidik anak-anak yang membutuhkan saya, yang berkebutuhan khusus untuk masa depan yang yang lebih baik,” harapnya. *ind
1
Komentar