Tegakkan Kesetaraan, Jaga Kodrat Perempuan
Nur Elina Sari SH MH, perempuan kedua yang pernah menjabat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) di Jembrana.
Kajari Jembrana Nur Elina Sari SH MH
NEGARA, NusaBali
Pejabat kelahiran Medan, Sumatera Utara, 13 Juli 1970 ini, Pahlawan Nasional, Raden Ajeng (RA) Kartini, merupakan sosok teladan yang banyak ‘melahirkan’ wanita-wanita hebat di Indonesia.
“Bisa dilihat setelah membaca buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini. Beliau menyerukan wanita tidak bisa maju jika hanya terbelenggu di lingkaran dapur, sumur, dan kasur. Saya memaknainya, kalau tidak ada sosok Kartini yang memikirkan tentang wanita, saya tidak bisa duduk seperti sekarang. Begitu juga jajaran wanita lainnya, yang sudah melek memberdayakan potensi mensejajarkan diri dengan kaum pria,” kata Kajari Jembrana per 19 Februari 2018, di ruang kerjanya, Kamis (19/4).
Menurut Nur Elina Sari, kesetaran dengan kaum pria itu, tidak melepas kodrat yang memang tidak bisa diubah. Tetapi bagaimana, wanita dapat ikut berperan serta untuk saling melengkapi. Baik itu dalam urusan keluarga dan lainnya. “Kalau dulu, laki-laki tidak mungkin diminta tolong istri ‘Pak jaga anak’, karena dianggap tabu sekali. Sedangkan istri sekarang, misalnya sudah ada bisa nyetir, malam-malam istri ditinggal di rumah, dan anak sedang sakit, istrinya bisa mengambil alih,” ujar perempuan yang mantan Kabag Tata Usaha (TU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta ini.
Nur Elina Sari merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Dia pun bertanggungjawab untuk merawat ibunya di DKI Jakarta. Kata mantan Jaksa di Kejari Bogor, Jawa Barat, dan Kejari Jakarta Selatan, DKI Jakarta ini, Kartini telah ‘melahirkan’ wanita-wanita hebat di Indonesia. Antara lain, wanita menjadi penerbang, menteri, tanpa mengabaikan kodrat
Karena itu, dia secara pribadi mengaku sangat berterimakasih dengan Kartini. Apa yang telah diperjuangkan Kartini, diharapkan semakin memotivasi kalangan wanita untuk menunjukkan wanita pantas disejejarkan dengan pria. Namun apa yang menjadi roh perjuangan Kartini, tidak sampai disalahartikan ke arah negatif, dan tetap kembali terhadap pendidikan keluarga, agama, ataupun lingkungan. “Kalau disalaharatikan, perempuan harus mandiri dengan berbagai cara, semisal melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama, Kartini pasti sedih. Apalagi sekarang era globalisasi, kita harapkan bagaimana mengikuti perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ajaran-ajaran leluhur,” pungkasnya. *ode
1
Komentar