Ida Ayu Wayan Arya Satyani, Koreografer Film Sekala Niskala
Film Sekala Niskala (Seen and Unseen) besutan sutradara muda tanah air, Kamila Andinim sukses meraih berbagai penghargaan di luar negeri.
DENPASAR, NusaBali
Di balik suksesnya film tersebut, ternyata ada peran perempuan Bali, Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang menggarap koreografi tarinya.Film Sekala Niskala adalah film yang menceritakan tentang keseimbangan, antara sekala (yang tampak) dan niskala (yang tidak tampak). Film ini mengisahkan saudara kembar buncing bernama Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) yang selalu hidup bersama hingga umur 10 tahun.
Suatu ketika Tantra dirawat di rumah sakit karena sakit parah. Secara fisik (sekala), Tantra dan Tantri tidak bisa berkomunikasi, karena tubuh Tantra kian melemah, begitu juga indranya satu per satu tidak bisa berfungsi dengan baik. Tantri, saudara kembarnya yang sangat merindukan kehadiran Tantra, akhirnya mulai menciptakan hubungan dengan Tantra dalam kepalanya. Tantri mencari berbagai cara yang imajinatif untuk mencoba menerima kehilangan yang semakin dekat. Seperti hubungan batin. Ini yang tidak terlihat (niskala).
Dayu Ani, sapaan akrab dari koreografer asal Desa Budakeling, Bebandem, Karangasem, ini menceritakan, ide film Sekala Niskala ini sejatinya sudah terpikirkan sejak tahun 2011. Kala itu, sang sutradara, Kamila Andini yang juga anak dari sutradara ternama tanah air, Garin Nugroho, datang ke Bali. Kabetulan Kamila Andini melihat langsung Dayu Ani sedang membuat karya baleganjur berjudul Dang Manik Angkeran. Saat itulah, Kamila Andini tertarik dengan karakter gerak yang dibuatnya.
“Katanya, Dini (Kamila Andini, Red) tertarik dengan karakter geraknya. Tahun 2011 itu, Dini bilang mau membuat film tapi bahasanya bahasa tari. Jadi medianya adalah bahasa gerak, dan ingin menonjolkan tarian. Waktu itu belum tahu akan menggarap kembar buncing. Hanya tahu visualnya akan memakai bahasa tari,” ceritanya saat ditemui di kawasan Taman Budaya Denpasar, Minggu (22/4).
Sebagai koreografer, putri sulung dari lima bersaudara buah hati dari pelaku seni Ida Wayan Oka Granoka dan Ida Ayu Wayan Supraba, ini mencoba mencari inspirasi tarian yang dikaitkan dengan alam, lingkungan, binatang, tumbuhan, seni, budaya, dan mitos Bali. Begitu juga Kamila Andini bolak-balik ke Bali untuk melakukan riset, mempelajari budaya Bali serta mitos-mitos yang ada di Bali.
“Film ini banyak tantangan. Pertama masalah dana, karena film ini agak berbeda dengan yang biasanya. Siapa yang mau mendanai. Lalu saya dan Dini juga larut dalam kesibukan masing-masing. Tapi kami di sela-sela kesibukan itu terus menggodok, dan kami bilang siap syuting tahun 2015,” katanya.
Sementara itu, naskah terus dimatangkan. Akhirnya Kamila Andini menemukan ide untuk mengangkat kisah kembar buncing. Mitos di Bali, kembar buncing memiliki ikatan batin yang kuat. Bahkan Kamila Andini sempat mengadakan workshop dan mewawancarai langsung orangtua yang memiliki anak kembar buncing untuk memdapatkan gambaran.
“Dalam proses menulis naskah, Dini menemukan mitos kembar buncing, namun dibangun kembar buncing dalam sudut pandangnya dia. Dibuatlah alasan agar bisa menari, yakni si Tantra sakit dan otomatis secara nyata tidak bisa komunikasi. Akhirnya dibangunlan keterikatan batin, berupa imajinasi Tantri seolah sedang berkomunikasi dengan adiknya. Ceritanya dibangun sedemikian rupa, namun tidak mengadopsi cerita yang sudah ada di Bali. Tapi inspirasinya dari Bali,” tutur dosen prodi tari di ISI Denpasar ini.
Setelah naskah matang, Kamila Andini dan Dayu Ani kembali kesusahan menjadi pemeran utama yang menjadi Tantra dan Tantri. Ini karena perubahan anak-anak menuju remaja, dari pemilihan tokoh pertama tahun 2011. Mereka harus memulai casting lagi. “Awalnya tokoh Tantri akan diperankan oleh Ayu. Itu dipilih tahun 2011. Tapi saat syuting tahun 2015 anaknya sudah remaja, sedangkan kebutuhan film untuk anak umur 10 tahun. Kami kerja casting lagi. Kami kesulitan mencari anak yang mampu menarinya bagus, plus kemampuan aktingnya yang sangat natural. Setelah beberapa anak dijajaki, ketemulah saya seorang anak di Sanggar Lokanantha. Tubuhnya matang, aktingnya bagus, vokal juga bagus. Sedangkan yang cowok dapatnya pas waktu workshop,” jelasnya.
Dengan segala kendala dan perjuangan panjang, akhirnya film Sekala Niskala berbuah manis. Sejumlah penghargaan diraih di antaranya dari Tokyo Filmex 2017, Best Youth Film di ajang Asia Pasific Screen Award, dan The Grand Prix pada kategori Generation Kplus International Jury di ajang Festival Film Berlinale, Berlin, Jerman. Dayu Ani pun bangga bisa menjadi bagian dari film yang mengangkat tentang Bali itu.
Di balik perannya di balik layar film Sekala Niskala, Dayu Ani berpesan kepada perempuan agar tetap memperjuangkan ruang kreatif karena perempuan harus belajar terus. Karena perempuan juga media tumbuh untuk generasi berikutnya. “Paling tidak buat anaknya, dan berguna untuk lingkungan. Lingkungan juga harus mensupport, harus memelihara perempuan sebagai peradaban bangsa,” tandasnya. *ind
Di balik suksesnya film tersebut, ternyata ada peran perempuan Bali, Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang menggarap koreografi tarinya.Film Sekala Niskala adalah film yang menceritakan tentang keseimbangan, antara sekala (yang tampak) dan niskala (yang tidak tampak). Film ini mengisahkan saudara kembar buncing bernama Tantri (Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) yang selalu hidup bersama hingga umur 10 tahun.
Suatu ketika Tantra dirawat di rumah sakit karena sakit parah. Secara fisik (sekala), Tantra dan Tantri tidak bisa berkomunikasi, karena tubuh Tantra kian melemah, begitu juga indranya satu per satu tidak bisa berfungsi dengan baik. Tantri, saudara kembarnya yang sangat merindukan kehadiran Tantra, akhirnya mulai menciptakan hubungan dengan Tantra dalam kepalanya. Tantri mencari berbagai cara yang imajinatif untuk mencoba menerima kehilangan yang semakin dekat. Seperti hubungan batin. Ini yang tidak terlihat (niskala).
Dayu Ani, sapaan akrab dari koreografer asal Desa Budakeling, Bebandem, Karangasem, ini menceritakan, ide film Sekala Niskala ini sejatinya sudah terpikirkan sejak tahun 2011. Kala itu, sang sutradara, Kamila Andini yang juga anak dari sutradara ternama tanah air, Garin Nugroho, datang ke Bali. Kabetulan Kamila Andini melihat langsung Dayu Ani sedang membuat karya baleganjur berjudul Dang Manik Angkeran. Saat itulah, Kamila Andini tertarik dengan karakter gerak yang dibuatnya.
“Katanya, Dini (Kamila Andini, Red) tertarik dengan karakter geraknya. Tahun 2011 itu, Dini bilang mau membuat film tapi bahasanya bahasa tari. Jadi medianya adalah bahasa gerak, dan ingin menonjolkan tarian. Waktu itu belum tahu akan menggarap kembar buncing. Hanya tahu visualnya akan memakai bahasa tari,” ceritanya saat ditemui di kawasan Taman Budaya Denpasar, Minggu (22/4).
Sebagai koreografer, putri sulung dari lima bersaudara buah hati dari pelaku seni Ida Wayan Oka Granoka dan Ida Ayu Wayan Supraba, ini mencoba mencari inspirasi tarian yang dikaitkan dengan alam, lingkungan, binatang, tumbuhan, seni, budaya, dan mitos Bali. Begitu juga Kamila Andini bolak-balik ke Bali untuk melakukan riset, mempelajari budaya Bali serta mitos-mitos yang ada di Bali.
“Film ini banyak tantangan. Pertama masalah dana, karena film ini agak berbeda dengan yang biasanya. Siapa yang mau mendanai. Lalu saya dan Dini juga larut dalam kesibukan masing-masing. Tapi kami di sela-sela kesibukan itu terus menggodok, dan kami bilang siap syuting tahun 2015,” katanya.
Sementara itu, naskah terus dimatangkan. Akhirnya Kamila Andini menemukan ide untuk mengangkat kisah kembar buncing. Mitos di Bali, kembar buncing memiliki ikatan batin yang kuat. Bahkan Kamila Andini sempat mengadakan workshop dan mewawancarai langsung orangtua yang memiliki anak kembar buncing untuk memdapatkan gambaran.
“Dalam proses menulis naskah, Dini menemukan mitos kembar buncing, namun dibangun kembar buncing dalam sudut pandangnya dia. Dibuatlah alasan agar bisa menari, yakni si Tantra sakit dan otomatis secara nyata tidak bisa komunikasi. Akhirnya dibangunlan keterikatan batin, berupa imajinasi Tantri seolah sedang berkomunikasi dengan adiknya. Ceritanya dibangun sedemikian rupa, namun tidak mengadopsi cerita yang sudah ada di Bali. Tapi inspirasinya dari Bali,” tutur dosen prodi tari di ISI Denpasar ini.
Setelah naskah matang, Kamila Andini dan Dayu Ani kembali kesusahan menjadi pemeran utama yang menjadi Tantra dan Tantri. Ini karena perubahan anak-anak menuju remaja, dari pemilihan tokoh pertama tahun 2011. Mereka harus memulai casting lagi. “Awalnya tokoh Tantri akan diperankan oleh Ayu. Itu dipilih tahun 2011. Tapi saat syuting tahun 2015 anaknya sudah remaja, sedangkan kebutuhan film untuk anak umur 10 tahun. Kami kerja casting lagi. Kami kesulitan mencari anak yang mampu menarinya bagus, plus kemampuan aktingnya yang sangat natural. Setelah beberapa anak dijajaki, ketemulah saya seorang anak di Sanggar Lokanantha. Tubuhnya matang, aktingnya bagus, vokal juga bagus. Sedangkan yang cowok dapatnya pas waktu workshop,” jelasnya.
Dengan segala kendala dan perjuangan panjang, akhirnya film Sekala Niskala berbuah manis. Sejumlah penghargaan diraih di antaranya dari Tokyo Filmex 2017, Best Youth Film di ajang Asia Pasific Screen Award, dan The Grand Prix pada kategori Generation Kplus International Jury di ajang Festival Film Berlinale, Berlin, Jerman. Dayu Ani pun bangga bisa menjadi bagian dari film yang mengangkat tentang Bali itu.
Di balik perannya di balik layar film Sekala Niskala, Dayu Ani berpesan kepada perempuan agar tetap memperjuangkan ruang kreatif karena perempuan harus belajar terus. Karena perempuan juga media tumbuh untuk generasi berikutnya. “Paling tidak buat anaknya, dan berguna untuk lingkungan. Lingkungan juga harus mensupport, harus memelihara perempuan sebagai peradaban bangsa,” tandasnya. *ind
Komentar