STT Bandhu Hita Takmung Gagas Tari Kreasi Kaliyuga
Sekaa Truna Teruni (STT) Bandhu Hita Banjar Adat Takmung, Desa Pakraman Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung bikin terobosan dengan menciptakan tari kreasi Kaliyuga.
SEMARAPURA, NusaBali
Tarian yang intinya soroti perilaku kekinian manusia ini bakal dipentaskan saat Malam Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka 1938 di Catus Pata (Perempatan Agung) Desa Pakraman Takmung, 8 Maret 2016 depan.
Tari Kaliyuga dibawakan 18 penari (pria dan wanita), yang masing-masing berperan sebagai Dewi Durga (1 orang), sebagai Bidadari (4 orang), sebagai Bhutakala (6 orang), dan sebagai rakyat jelata (7 orang). Tarian kreasi ini diiringi tabuh baleganjur yang ditabuh 26 orang.
Menurut Ketua STT Bandhu Hita Banjar Adat Takmung, I Gusti Ngurah Mayun Wijaya, pementasan Tari Kaliyuga yang baru pertama diluncurkan ini akan dilakukan seusai upacara Tawur Agung Kasanga, Selasa (8/3) malam pukul 19.00 Wita. Sebelum Tari Kaliyuga, saat Malam Pangrupukan Nyepi nanti juga digelar tradisi Siat Sampian dan ritual mengarak ogoh-ogoh keliling banjar.
“Gagasan Tari Kaliyuga ini tercetus ketika rapat antara STT dengan prajuru adat beberapa waktu lalu,” ujar IGN Mayun Wijaya saat ditemui NusaBali di Bale Banjar Takmung, Minggu (28/2).
IGN Mayun Wijaya memaparkan, Tarian Kaliyuga ini awalnya menggambarkan tentang situasi keadaan dari Zaman Krtayuga hingga memasuki Kaliyuga. Penari pertama yang tampil adalah pemeran rakyat jelata sebanyak 7 orang, memperagakan kehidupan yang damai dan harmonis sesuai kosep Tri Hita Karana. Kemudian, turun Bidadari (dimainkan 4 penari), lanjut muncul Dewi Durga untuk memberikan berkah bagi alam semesta (Zaman Krtayuga). Setelah habis Zaman Krtayuga, datang Zaman Kaliyuga. Saat itu, penari yang berperan sebagai rakyat jelata balik ke belakang, sementara Dewi Durga berubah wujud menjadi Bhutakala. Muncul kemudian 4 raksasa, hingga akhirnya adegan mengarak ogoh-ogoh untuk disomiakan.
“Ketika memasuki Zaman Kaliyuga, perilaku manusia dirongrong oleh Bhutakala, sehingga harus dikuatkan dengan sradha bhakti,” terang mayun Wijaya, sembari menyebutkan Tari Kaliyuga ini tiada duanya, karena murni dicetuskan dan dipentaskan di Banjar Adat Takmung.
Menurut Mayun Wijaya, gagasan tari Kaliyuga ini muncul untuk menyoroti fenomena kekinian, khususnya kalangan generasi muda yang sebagian di antaranya sudah mulai melenceng dari ajaran agama, tata susila, dan sebagainya. Contohnya, pelajar yang seharusnya menuntut ilmu, malah buru-buru menikah, ada pula mengkonsumsi minuman beralkohol, hingga ada yang terjerat narkoba.
“Jadi, menyambut Tahun Baru Saka 1938 nanti, ajaran-ajaran luhur dan nilai agama bisa menjadi benteng untuk menghadapi pengaruh-pengaruh negatif (dari bhuta kala, Red),” tandas mayun Wijaya.
Sementara itu, tardisi ritual Siat Sampian yang sempat vakum selama 50 tahun, akan dihidupkan lagi saat Malam Pangrupukan Nyeti Tahun Baru Saka 1938 nanti. Menurut Mayun Wijaya, ritual Siat Sampian akan digelar seusai maturkan Tawur Agung petang sekitar pukul 18.00 Wita. Pesertanya ritual Siat Sampian langsung dari STT Bandhu Hita Banjar Adat Takmung yang anggotanya berjumlah sekitar 205 orang.
Mayun Wijaya memaparkan, sampian yang digunakan alat beperang nantinya akan dibawa masing-masing kepala keluarga (KK) adat berjumlah 350 KK. “Secara umum, ritual Siat Sampian ini bermakna untuk kebersamaan dan menjalin keakraban,” terang mayun Wijaya. 7 w
Komentar