Pembagian Rastra Diwarnai Pungutan
Menerima beras lima - enam kilogram dikenakan biaya Rp 3.000. Sedangkan yang mendapatkan jatah 10 kilogram membayar Rp 6.000 untuk dua bulan.
SINGARAJA, NusaBali
Sejumlah warga penerima beras sejahtera (Rastra) di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng mengeluh dengan dugaan pungutan berupa uang. Warga penerima rastra di lima banjar di desa tersebut selain dikenakan pungutan, juga menerima jumlah rastra tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Dari pengakuan sejumlah masyarakat, yang ditemui Senin (30/4), mereka menerima rastra dengan jumlah yang bervariasi. Ada yang menerima 10 kilogram sesuai dengan ketentuan, namun ada juga warga yang menerima rastra hanya enam dan lima kilogram. Bahkan yang menjadi pemberatan lagi, warga yang seharusnya mendapatkan rastra gratis mulai tahun ini dikenakan pungutan.
Seperti pengakuan salah seorang warga Banjar Dinas Timur Jalan, Desa Pegayaman, Maafi. Menurutnya, warga yang menerima beras lima - enam kilogram dikenakan biaya Rp 3.000. Sedangkan yang mendapatkan jatah 10 kilogram membayar dengan Rp 6.000 untuk dua bulan. “Biayanya bervariasi, menurut jumlah beras yang diterima dan juga jarak rumah dengan kantor Perbekel,” ungkap dia.
Pihaknya yang juga anggota LSM Lembaga Pemerhati Pembangunan Masyarakat Buleleng (LP2MB), mengaku keberatan dengan pungutan dan pendistribusian rastra yang di luar ketentuan. Dia pun berharap pemerintah segera turun tangan untuk mengecek ketidak beresan pemerintah desa yang melakukan pelanggaran dan mengambil hak orang miskin.
Sementara itu, Kasi Pelayanan Umum Desa Pegayaman M Hawari membantah jika pemerintah desa melakukan pungutan. Menurutnya, biaya yang dibayarkan oleh masyarakat yang mendapatkan jatah rastra itu merupakan ongkos angkut beras dari kantor desa ke tiap-tiap dusun, serta untuk pembelian tas kresek dan lain sebagainya. Bahkan sebelumnya warga penerima rastra juga sudah melakukan kesepakatan melalui musyawarah. “Tidak ada pungutan. Setahu saya, itu kesepakatan para penerima rastra. Mereka bermusyawarah dan sepakat mengeluarkan ongkos angkut. Jadi mereka tidak ambil ke kantor desa lagi, cukup ambil di dusun,” kata dia. Sedangkan terkait jumlah rastra yang diterima warga tidak sesuai dengan ketentuan ia pun mengatakan hal tersebut untuk pemerataan.
Dari lima banjar yang ada tahun 2018 ini penerima rastra sesuai data by name by dress pemerintah pusat hanya 596 KK, jauh berkurang dari penerima ditahun 2017 sebanyak 806 KK. Penipisan jumlah penerima rastra itu pun disebut Hawari, menghasilkan kesepakatan warga penerima rastra untuk rela memotong jatah mereka untuk diberikan kepada KK yang namanya tidak tercantum dalam data dari pemerintah pusat. “Itu kesepakatan musyawarah warga. Warga itu ada yang rela berbagi ke warga yang belum dapat. Bukan desa yang mengurangi,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Selasa (1/5), Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng Gede Komang, mengaku belum mengetahui kasus tersebut. Namun pihaknya menegaskan jika hal tersebut benar terjadi sudah menyalahi ketentuan yang berlaku. Distribusi rastra dari Kementerian Sosial tahun ini yang berjumlah 10 kilogram per KK dibagikan gratis disebut tidak boleh diganggu gugat. Penerimanya pun hanya warga yang namanya tercantum dalam basis data by name by dress yang keluar langsung dari Kemensos.
“Pada prinsipnya rastra itu bantuan sosial, tidak boleh ada pungutan dan pengurangan jumlah, termasuk pendistribusian kepada warga yang namanya tidak tercantum dalam SK penerima rastra dari Kemensos. Kalau alasan pemerataan dan ongkos angkut itu sudah salah besar,” kata dia.
Bahkan pihaknya pun mengklaim jika warga penerima rastra menyetujui musyarawah tersebut ada unsur penekanan dari pihak tertentu. Pihaknya pun menyayangkan pungutan dan sistem pemerataan pembagian rastra tidak ada koordinasi dengan Dinas Sosial Buleleng. Ia pun mengaku akan segera turun ke Desa Pegayaman untuk menyakinkan kasus pungutan tersebut.*k23
Sejumlah warga penerima beras sejahtera (Rastra) di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng mengeluh dengan dugaan pungutan berupa uang. Warga penerima rastra di lima banjar di desa tersebut selain dikenakan pungutan, juga menerima jumlah rastra tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Dari pengakuan sejumlah masyarakat, yang ditemui Senin (30/4), mereka menerima rastra dengan jumlah yang bervariasi. Ada yang menerima 10 kilogram sesuai dengan ketentuan, namun ada juga warga yang menerima rastra hanya enam dan lima kilogram. Bahkan yang menjadi pemberatan lagi, warga yang seharusnya mendapatkan rastra gratis mulai tahun ini dikenakan pungutan.
Seperti pengakuan salah seorang warga Banjar Dinas Timur Jalan, Desa Pegayaman, Maafi. Menurutnya, warga yang menerima beras lima - enam kilogram dikenakan biaya Rp 3.000. Sedangkan yang mendapatkan jatah 10 kilogram membayar dengan Rp 6.000 untuk dua bulan. “Biayanya bervariasi, menurut jumlah beras yang diterima dan juga jarak rumah dengan kantor Perbekel,” ungkap dia.
Pihaknya yang juga anggota LSM Lembaga Pemerhati Pembangunan Masyarakat Buleleng (LP2MB), mengaku keberatan dengan pungutan dan pendistribusian rastra yang di luar ketentuan. Dia pun berharap pemerintah segera turun tangan untuk mengecek ketidak beresan pemerintah desa yang melakukan pelanggaran dan mengambil hak orang miskin.
Sementara itu, Kasi Pelayanan Umum Desa Pegayaman M Hawari membantah jika pemerintah desa melakukan pungutan. Menurutnya, biaya yang dibayarkan oleh masyarakat yang mendapatkan jatah rastra itu merupakan ongkos angkut beras dari kantor desa ke tiap-tiap dusun, serta untuk pembelian tas kresek dan lain sebagainya. Bahkan sebelumnya warga penerima rastra juga sudah melakukan kesepakatan melalui musyawarah. “Tidak ada pungutan. Setahu saya, itu kesepakatan para penerima rastra. Mereka bermusyawarah dan sepakat mengeluarkan ongkos angkut. Jadi mereka tidak ambil ke kantor desa lagi, cukup ambil di dusun,” kata dia. Sedangkan terkait jumlah rastra yang diterima warga tidak sesuai dengan ketentuan ia pun mengatakan hal tersebut untuk pemerataan.
Dari lima banjar yang ada tahun 2018 ini penerima rastra sesuai data by name by dress pemerintah pusat hanya 596 KK, jauh berkurang dari penerima ditahun 2017 sebanyak 806 KK. Penipisan jumlah penerima rastra itu pun disebut Hawari, menghasilkan kesepakatan warga penerima rastra untuk rela memotong jatah mereka untuk diberikan kepada KK yang namanya tidak tercantum dalam data dari pemerintah pusat. “Itu kesepakatan musyawarah warga. Warga itu ada yang rela berbagi ke warga yang belum dapat. Bukan desa yang mengurangi,” tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Selasa (1/5), Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng Gede Komang, mengaku belum mengetahui kasus tersebut. Namun pihaknya menegaskan jika hal tersebut benar terjadi sudah menyalahi ketentuan yang berlaku. Distribusi rastra dari Kementerian Sosial tahun ini yang berjumlah 10 kilogram per KK dibagikan gratis disebut tidak boleh diganggu gugat. Penerimanya pun hanya warga yang namanya tercantum dalam basis data by name by dress yang keluar langsung dari Kemensos.
“Pada prinsipnya rastra itu bantuan sosial, tidak boleh ada pungutan dan pengurangan jumlah, termasuk pendistribusian kepada warga yang namanya tidak tercantum dalam SK penerima rastra dari Kemensos. Kalau alasan pemerataan dan ongkos angkut itu sudah salah besar,” kata dia.
Bahkan pihaknya pun mengklaim jika warga penerima rastra menyetujui musyarawah tersebut ada unsur penekanan dari pihak tertentu. Pihaknya pun menyayangkan pungutan dan sistem pemerataan pembagian rastra tidak ada koordinasi dengan Dinas Sosial Buleleng. Ia pun mengaku akan segera turun ke Desa Pegayaman untuk menyakinkan kasus pungutan tersebut.*k23
Komentar