ICW: Vonis Koruptor Rata-rata 2 Tahun
Ringannya vonis tak memberikan efek jera kepada para koruptor
JAKARTA, NusaBali
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan hasil penelitian terhadap vonis terpidana kasus korupsi selama 2017 dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Hasilnya, rata-rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa tipikor di tingkat pengadilan hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Lalola Easter, mengatakan data vonis ini dikumpulkan ICW sepanjang Januari-Desember 2017. Ada 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa dengan total pidana denda sebesar Rp 110.688.750 000 dan total pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1.446.836.885.499. Dalam hal ini, ICW melihat vonis pengadilan itu menguntungkan para koruptor.
"Untuk rata-rata vonis pada seluruh pengadilan itu masih rendah, sekitar 2 tahun 2 bulan. Untuk pengadilan negeri itu rata-rata 2 tahun 1 bulan, lalu untuk pengadilan tinggi ada 2 tahun 2 bulan, nah yang paling tinggi ada di Mahkamah Agung (MA) ada kecenderungan ketimpangan dengan rata-rata 5 tahun. Jadi keseluruhan untuk vonis pengadilan itu rata-rata 2 tahun 2 bulan," ujar Lola saat konferensi pers di ICW, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (3/5) seperti dilansir detik.
Lola mengatakan tren vonis tindak perkara korupsi pada Pengadilan Tipikor tingkat pertama pada 2017 didominasi oleh hukuman ringan (4-10 tahun) sebanyak 169 terdakwa dengan persentase 12,24 persen, sedangkan untuk hukuman beratnya (>10 tahun) hanya ada 4 terdakwa dengan perolehan 0,4 persen.
"Dari perbandingan tren tersebut dapat dilihat bahwa pengadilan belum memutus maksimal perkara korupsi. Namun belum ada analisis yang pasti mengapa hakim belum memberikan putusan maksimal untuk banyak perkara korupsi yang berpotensi mendapat putusan tersebut," kata dia.
Ia juga menyayangkan ringannya pidana penjara ini karena tidak membuat para pelaku korupsi memiliki efek jera. Selain itu, ia menilai hukuman mengenai denda ataupun pidana tambahan uang pengganti tidak maksimal.
"Ringannya pidana penjara ini sangat disayangkan karena ini berarti para terpidana korupsi tidak akan mengalami efek jera yang diharapkan, seperti denda ataupun pidana tambahan uang pengganti juga itu tidak maksimal menurut kami," katanya.
Menurutnya, lembaga negara, seperti pengadilan dan kejaksaan, yang mengatakan korupsi adalah tindak pidana yang serius itu belum memberi cerminan kalau dilihat dari vonis yang dijatuhkan untuk para koruptor.
"Baik pengadilan maupun kejaksaan maupun lembaga negara lainnya yang menyatakan bahwa korupsi adalah tindak pidana yang serius itu tidak direfleksikan. Nah, pertanyaannya, apa kemudian menjadi dasar untuk orang-orang mengatakan bahwa korupsi itu tindak pidana yang serius ketika dalam pengelolaan penanganan perkara nya saja dalam konteks pengadilan maupun dalam tuntutan itu tidak terefleksikan," imbuh dia.
Lebih lanjut, ia juga menambahkan mengenai masalah standar bagi hakim saat menjatuhkan vonis. Menurut Lola, saat hakim membacakan hal yang meringankan, seharusnya itu dapat diukur secara objektif.
"Di sisi lain, ada masalah yang serius juga terkait standar bagi jaksa penuntut maupun bagi hakim dalam memutus karena menurut kami dalam putusan-putusan, yang ada itu standarnya tidak jelas dan level dan dan lebih bersifat subjektif, misal soal alasan-alasan yang meringankan bahwa terdakwa bersifat kooperatif, terdakwa masih punya tanggungan, terdakwa masih berumur muda sebagai alasan yang meringankan. Tapi di sisi lain, ada hal-hal yang sifatnya lebih terukur dan lebih objektif, seperti kerugian keuangan negara," ungkapnya.
Sementara itu, ICW juga mencatat aktor korupsi nomor satu sejak 2015 hingga 2017 ditempati pegawai di tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Sedangkan untuk urutan kedua adalah tingkat swasta, yang jumlah pelakunya pun bertambah secara terus-menerus.
Pada 2015, tercatat jumlah pejabat pemkab/pemprov/pemkot yang tercatat terlibat korupsi sebanyak 210, sedangkan pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 217, dan terakhir, pada 2017, jumlahnya meningkat pesat hingga di angka 456 orang. *
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan hasil penelitian terhadap vonis terpidana kasus korupsi selama 2017 dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Hasilnya, rata-rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa tipikor di tingkat pengadilan hanya 2 tahun 2 bulan penjara.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Lalola Easter, mengatakan data vonis ini dikumpulkan ICW sepanjang Januari-Desember 2017. Ada 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa dengan total pidana denda sebesar Rp 110.688.750 000 dan total pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 1.446.836.885.499. Dalam hal ini, ICW melihat vonis pengadilan itu menguntungkan para koruptor.
"Untuk rata-rata vonis pada seluruh pengadilan itu masih rendah, sekitar 2 tahun 2 bulan. Untuk pengadilan negeri itu rata-rata 2 tahun 1 bulan, lalu untuk pengadilan tinggi ada 2 tahun 2 bulan, nah yang paling tinggi ada di Mahkamah Agung (MA) ada kecenderungan ketimpangan dengan rata-rata 5 tahun. Jadi keseluruhan untuk vonis pengadilan itu rata-rata 2 tahun 2 bulan," ujar Lola saat konferensi pers di ICW, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (3/5) seperti dilansir detik.
Lola mengatakan tren vonis tindak perkara korupsi pada Pengadilan Tipikor tingkat pertama pada 2017 didominasi oleh hukuman ringan (4-10 tahun) sebanyak 169 terdakwa dengan persentase 12,24 persen, sedangkan untuk hukuman beratnya (>10 tahun) hanya ada 4 terdakwa dengan perolehan 0,4 persen.
"Dari perbandingan tren tersebut dapat dilihat bahwa pengadilan belum memutus maksimal perkara korupsi. Namun belum ada analisis yang pasti mengapa hakim belum memberikan putusan maksimal untuk banyak perkara korupsi yang berpotensi mendapat putusan tersebut," kata dia.
Ia juga menyayangkan ringannya pidana penjara ini karena tidak membuat para pelaku korupsi memiliki efek jera. Selain itu, ia menilai hukuman mengenai denda ataupun pidana tambahan uang pengganti tidak maksimal.
"Ringannya pidana penjara ini sangat disayangkan karena ini berarti para terpidana korupsi tidak akan mengalami efek jera yang diharapkan, seperti denda ataupun pidana tambahan uang pengganti juga itu tidak maksimal menurut kami," katanya.
Menurutnya, lembaga negara, seperti pengadilan dan kejaksaan, yang mengatakan korupsi adalah tindak pidana yang serius itu belum memberi cerminan kalau dilihat dari vonis yang dijatuhkan untuk para koruptor.
"Baik pengadilan maupun kejaksaan maupun lembaga negara lainnya yang menyatakan bahwa korupsi adalah tindak pidana yang serius itu tidak direfleksikan. Nah, pertanyaannya, apa kemudian menjadi dasar untuk orang-orang mengatakan bahwa korupsi itu tindak pidana yang serius ketika dalam pengelolaan penanganan perkara nya saja dalam konteks pengadilan maupun dalam tuntutan itu tidak terefleksikan," imbuh dia.
Lebih lanjut, ia juga menambahkan mengenai masalah standar bagi hakim saat menjatuhkan vonis. Menurut Lola, saat hakim membacakan hal yang meringankan, seharusnya itu dapat diukur secara objektif.
"Di sisi lain, ada masalah yang serius juga terkait standar bagi jaksa penuntut maupun bagi hakim dalam memutus karena menurut kami dalam putusan-putusan, yang ada itu standarnya tidak jelas dan level dan dan lebih bersifat subjektif, misal soal alasan-alasan yang meringankan bahwa terdakwa bersifat kooperatif, terdakwa masih punya tanggungan, terdakwa masih berumur muda sebagai alasan yang meringankan. Tapi di sisi lain, ada hal-hal yang sifatnya lebih terukur dan lebih objektif, seperti kerugian keuangan negara," ungkapnya.
Sementara itu, ICW juga mencatat aktor korupsi nomor satu sejak 2015 hingga 2017 ditempati pegawai di tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Sedangkan untuk urutan kedua adalah tingkat swasta, yang jumlah pelakunya pun bertambah secara terus-menerus.
Pada 2015, tercatat jumlah pejabat pemkab/pemprov/pemkot yang tercatat terlibat korupsi sebanyak 210, sedangkan pada 2016 jumlahnya meningkat menjadi 217, dan terakhir, pada 2017, jumlahnya meningkat pesat hingga di angka 456 orang. *
1
Komentar