Anggota DPR Ditangkap, Parpol Dikiritik
Amin Santono Terima Rp 500 Juta dari Total Fee Rp 1,7 Miliar
JAKARTA, NusaBali
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat, Amin Santono, sudah resmi sebagai tersangka dan dijebloskan ke tahanan setelah ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT), Jumat (4/5). Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penangkapan Amin Santoso ini merupakan kritik pedas bagi partai politik.
"Ini (anggota DPR ditangkap KPK melalui OTT, Red) sebetulnya sangat disayangkan. Artinya gini, parpol itu kan harusnya jadi yang paling utama dalam mencetak kader-kader antikorupsi. Tapi, ternyata yang sekarang terjadi berkebalikan dengan semangat itu," sesal peneliti hukum dari ICW, Lalola Easter, kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/5).
Menurut Lola, sistem pendidikan politik belum berhasil menciptakan integritas kader parpol dan ini harus dikritik. "Ini harusnya kritik paling besar yang diarahkan ke parpol," katanya.
Lola mengatakan, dalam catatan ICW, selama tahun 2017 terdapat 1.294 perkara korupsi dan 1.381 pelaku korupsi yang didakwa. Sayangnya, vonis yang dijatuhkan hakim terhadap para koruptor rata-rata masih ringan. "Yang berhasil kita pantau itu, rata-rata vonisnya hanya 2 tahun 2 bulan, sementara tuntutan jaksa 3 tahun 2 bulan. Range vonis ringan itu kurang dari setahun sampai 4 tahun. Kalau mau dilihat, putusan hakim sejalan dengan tuntutan jaksa, bedanya nggak terlalu jauh," tandas Lola.
Lola pun mengimbau para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang lebih serius terhadap koruptor. Lola juga ragu hukuman penjara membuat efek jera bagi koruptor. Karena itu, Lola mendorong aparat penegak hukum menggunakan cara pemiskinan terhadap koruptor.
"Padahal, kita berharap kalau memang korupsi dianggap kejahatan yang serius, otomatis harus lebih serius juga tuntutannya. Hukuman juga harus lebih serius. Sangat sulit menjamin hukuman badan membuat jera. Kami mendorong upaya pemiskinan," katanya.
Sementara, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), menyatakan penangkapan anggota Fraksi Demokat DPR ini merupakan bukti nyata masih adanya mafia anggaran di Senayan. Pintu masuknya ada pada perencanaan Dana Alokasi Khusus (DAK).
"Ini menandakan bahwa mafia anggaran masih ada, mereka terus bekerja dalam proses penanggaran terutama dalam perencanaan seperti sekarang ini. Pintu ma-suknya di perencanaan DAK," papar Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi, dalam keterangan persnya yang dilansir detikcom, Minggu kemarin. "Ini adalah titik le-mah, karena usulan DAK dari daerah berupa proposal, bukan alokasi seperti DAU dan DBH yang sudah ada rumus keuangan negaranya," lanjut Apung.
Apung pun mengajak masyarakat berpartisipasi aktif untuk mengawasi APBN Perubahan 2018 dan APBN 2019. Apalagi, saat ini merupakan tahun politik, sehingga dikhawatirkan anggaran itu disalahgunakan untuk modal kampanye. "Ke depan, APBN-P 2018 dan APBN 2019 perlu diawasi, karena rawan di tahun politik. Bancakan APBN melalui meningkatnya anggaran Populis dan obral DAK, menjadi titik rawan. Masyarakat dan KPK harus mengawasi dengan ekstra keras," tandas Apung.
Amin Santono sendiri ditangkap KPK melalui OTT, Jumat lalu. Dari OTT terse-but, Amin Santono ditangkap bersama 8 orang lainnya. Setelah dilakukan pemeriksaan intensif, akhirnya 4 orang ditetapkan KPK sebagai tersangka, masing-masing Amin Santono, Yaya Purnomo, Eka Kamaluddin, dan Ahmad Ghiast.
Tersangka Yaya Purnomo adalah Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Sementara Eka Kamaludin adalah pihak swasta yang diduga sebagai perantara. Sebaliknya, Ahmad Ghiast adalah seorang kontraktor di lingkungan Pemkab Sumedang.
Tersangka Amin Santono, Eka Kamaludin, dan Yaya Purnomo diduga sbagai penerima suap dengan dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah jadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangan tersangka Ahmad Ghiast diduga sebagai pemberi suap, dengan dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah jadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Amin Santono diduga menerima hadiah atau janji dana perimbangan keuangan daerah pada APBN-P 2018, terkait dua proyek di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dalam OTT yang menangkap 9 orang itu, KPK sita logam mulia (emas) 1,9 kilogram. “Selain logam mulia 1,9 kilogram, KPK juga sita Rp 1,844 miliar termasuk Rp 400 juta yang diamankan di Halim Perdanakusuma, mata uang asing 63.000 dolar Singapura dan 12.500 dolar AS," ungkap Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (5/5) malam.
Kepala Biro (Kabiro) Humas KPK, Febri Diansyah, mengatakan Amin Santono diduga menerima suap untuk memuluskan pembahasan salah satu proposal proyek yang diterimanya dari pihak swasta. "Jadi, ada pihak swasta, rekanan dari daerah kemudian mengajukan proposal proyek ke anggota DPR RI. Nah, anggota DPR RI ini berkoordinasi dengan pihak Kementerian Keuangan (Yaya Purnomo, yang juga menjadi tersangka) terkait dengan usulan nanti pembahasan di APBN Perubahan 2018. Jadi, fungsi mereka adalah diduga bersama-sama menerima ini," papar Febri.
Febri menyebutkan, ada commitment fee sebesar 7 persen dari total nilai proyek yang telah diminta sejak awal kepada pihak swasta tersebut. Dalam hal ini, Amin Santono berkoordinasi dengan pihak Kemenkeu untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek itu, karena merupakan mitra kerjanya di Komisi XI.
"Commitment fee yang dibicarakan secara total sejak awal adalah 7 persen dari nilai proyek. Soal Dapil, itu soal yang lain. Yang pasti, rekanan itu berhubungan dengan anggota DPR RI tersebut. Dan, hubungan dengan (pihak) Kemenkeu tentu karena mitra dari Komisi XI," ujar Febri. Ditegaskan, Amin Santono diduga menerima suap senilai Rp 500 juta dari total commitment fee senilai Rp 1,7 miliar.
Amin Santono merpakan politisi Demokrat kesekian yang dijerat KPK karena kasus korupsi. Sebelumnya, KPK sudah menjerat belasan politisi Demokrat. Mereka, antara lain, Muhammad Nazaruddin (mantan Bendahara Umum DPP Demokrat yang divonis 7 tahun penjara dalam kasus Pencucian Uang dan Korupsi Wisma Atlet), Angelina Sondakh (mantan Wakil Sekjen DPP Demokrat yang divonis 10 tahun penjara kasus korupsi Wisma Atlet).
Kemudian, Andi Mallarangeng (mantan Menpora yang divonis 4 tahun penjara terkait kasus korupsi Proyek Hambalang), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP Demokrat yang divonis 14 tahun penjara dalam kasus korupsi Proyek Hambalang), Hartati Murdaya (mantan anggota Dewan Pembina Demok-rat yang divonis 2 tahun 8 bulan penjara kasus korupsi Buol).
Berikutnya, Jero Wacik (politisi asal Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli yang mantan Menbudpar dan Menteri ESDM, divonis 4 tahun penjara kasus ko-rupsi Dana Operasional Menteri atau DOM), Putu Sudiartana (politisi asal Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Badung mantann Wakil Bendahara Umum DPP Demokrat dan anggota DPR RI Dapil Bali, yang divonis 6 tahun penjara terkait kasus suas pengurusan DAK), Sutan Bhatoegana (mantan Ketua DPP Demokrat yang divonis 10 tahun penjara kasus Korupsi ESDM), Amrun Daulay (mantan anggota Fraksi Demokrat DPR yang divonis 1 tahun 5 bulan terkait korupsi Pengadaan Mesin Jahit dan Sapi di Kementerian Sosial), dan Sarjan Taher (mantan anggota Fraksi Demokrat DPR yang divonis 4,5 tahun penjara kasus korupsi Pelabuhan Tanjung Api-api). *
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat, Amin Santono, sudah resmi sebagai tersangka dan dijebloskan ke tahanan setelah ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT), Jumat (4/5). Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penangkapan Amin Santoso ini merupakan kritik pedas bagi partai politik.
"Ini (anggota DPR ditangkap KPK melalui OTT, Red) sebetulnya sangat disayangkan. Artinya gini, parpol itu kan harusnya jadi yang paling utama dalam mencetak kader-kader antikorupsi. Tapi, ternyata yang sekarang terjadi berkebalikan dengan semangat itu," sesal peneliti hukum dari ICW, Lalola Easter, kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/5).
Menurut Lola, sistem pendidikan politik belum berhasil menciptakan integritas kader parpol dan ini harus dikritik. "Ini harusnya kritik paling besar yang diarahkan ke parpol," katanya.
Lola mengatakan, dalam catatan ICW, selama tahun 2017 terdapat 1.294 perkara korupsi dan 1.381 pelaku korupsi yang didakwa. Sayangnya, vonis yang dijatuhkan hakim terhadap para koruptor rata-rata masih ringan. "Yang berhasil kita pantau itu, rata-rata vonisnya hanya 2 tahun 2 bulan, sementara tuntutan jaksa 3 tahun 2 bulan. Range vonis ringan itu kurang dari setahun sampai 4 tahun. Kalau mau dilihat, putusan hakim sejalan dengan tuntutan jaksa, bedanya nggak terlalu jauh," tandas Lola.
Lola pun mengimbau para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang lebih serius terhadap koruptor. Lola juga ragu hukuman penjara membuat efek jera bagi koruptor. Karena itu, Lola mendorong aparat penegak hukum menggunakan cara pemiskinan terhadap koruptor.
"Padahal, kita berharap kalau memang korupsi dianggap kejahatan yang serius, otomatis harus lebih serius juga tuntutannya. Hukuman juga harus lebih serius. Sangat sulit menjamin hukuman badan membuat jera. Kami mendorong upaya pemiskinan," katanya.
Sementara, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), menyatakan penangkapan anggota Fraksi Demokat DPR ini merupakan bukti nyata masih adanya mafia anggaran di Senayan. Pintu masuknya ada pada perencanaan Dana Alokasi Khusus (DAK).
"Ini menandakan bahwa mafia anggaran masih ada, mereka terus bekerja dalam proses penanggaran terutama dalam perencanaan seperti sekarang ini. Pintu ma-suknya di perencanaan DAK," papar Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi, dalam keterangan persnya yang dilansir detikcom, Minggu kemarin. "Ini adalah titik le-mah, karena usulan DAK dari daerah berupa proposal, bukan alokasi seperti DAU dan DBH yang sudah ada rumus keuangan negaranya," lanjut Apung.
Apung pun mengajak masyarakat berpartisipasi aktif untuk mengawasi APBN Perubahan 2018 dan APBN 2019. Apalagi, saat ini merupakan tahun politik, sehingga dikhawatirkan anggaran itu disalahgunakan untuk modal kampanye. "Ke depan, APBN-P 2018 dan APBN 2019 perlu diawasi, karena rawan di tahun politik. Bancakan APBN melalui meningkatnya anggaran Populis dan obral DAK, menjadi titik rawan. Masyarakat dan KPK harus mengawasi dengan ekstra keras," tandas Apung.
Amin Santono sendiri ditangkap KPK melalui OTT, Jumat lalu. Dari OTT terse-but, Amin Santono ditangkap bersama 8 orang lainnya. Setelah dilakukan pemeriksaan intensif, akhirnya 4 orang ditetapkan KPK sebagai tersangka, masing-masing Amin Santono, Yaya Purnomo, Eka Kamaluddin, dan Ahmad Ghiast.
Tersangka Yaya Purnomo adalah Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Sementara Eka Kamaludin adalah pihak swasta yang diduga sebagai perantara. Sebaliknya, Ahmad Ghiast adalah seorang kontraktor di lingkungan Pemkab Sumedang.
Tersangka Amin Santono, Eka Kamaludin, dan Yaya Purnomo diduga sbagai penerima suap dengan dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah jadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangan tersangka Ahmad Ghiast diduga sebagai pemberi suap, dengan dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah jadi UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Amin Santono diduga menerima hadiah atau janji dana perimbangan keuangan daerah pada APBN-P 2018, terkait dua proyek di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dalam OTT yang menangkap 9 orang itu, KPK sita logam mulia (emas) 1,9 kilogram. “Selain logam mulia 1,9 kilogram, KPK juga sita Rp 1,844 miliar termasuk Rp 400 juta yang diamankan di Halim Perdanakusuma, mata uang asing 63.000 dolar Singapura dan 12.500 dolar AS," ungkap Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (5/5) malam.
Kepala Biro (Kabiro) Humas KPK, Febri Diansyah, mengatakan Amin Santono diduga menerima suap untuk memuluskan pembahasan salah satu proposal proyek yang diterimanya dari pihak swasta. "Jadi, ada pihak swasta, rekanan dari daerah kemudian mengajukan proposal proyek ke anggota DPR RI. Nah, anggota DPR RI ini berkoordinasi dengan pihak Kementerian Keuangan (Yaya Purnomo, yang juga menjadi tersangka) terkait dengan usulan nanti pembahasan di APBN Perubahan 2018. Jadi, fungsi mereka adalah diduga bersama-sama menerima ini," papar Febri.
Febri menyebutkan, ada commitment fee sebesar 7 persen dari total nilai proyek yang telah diminta sejak awal kepada pihak swasta tersebut. Dalam hal ini, Amin Santono berkoordinasi dengan pihak Kemenkeu untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek itu, karena merupakan mitra kerjanya di Komisi XI.
"Commitment fee yang dibicarakan secara total sejak awal adalah 7 persen dari nilai proyek. Soal Dapil, itu soal yang lain. Yang pasti, rekanan itu berhubungan dengan anggota DPR RI tersebut. Dan, hubungan dengan (pihak) Kemenkeu tentu karena mitra dari Komisi XI," ujar Febri. Ditegaskan, Amin Santono diduga menerima suap senilai Rp 500 juta dari total commitment fee senilai Rp 1,7 miliar.
Amin Santono merpakan politisi Demokrat kesekian yang dijerat KPK karena kasus korupsi. Sebelumnya, KPK sudah menjerat belasan politisi Demokrat. Mereka, antara lain, Muhammad Nazaruddin (mantan Bendahara Umum DPP Demokrat yang divonis 7 tahun penjara dalam kasus Pencucian Uang dan Korupsi Wisma Atlet), Angelina Sondakh (mantan Wakil Sekjen DPP Demokrat yang divonis 10 tahun penjara kasus korupsi Wisma Atlet).
Kemudian, Andi Mallarangeng (mantan Menpora yang divonis 4 tahun penjara terkait kasus korupsi Proyek Hambalang), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP Demokrat yang divonis 14 tahun penjara dalam kasus korupsi Proyek Hambalang), Hartati Murdaya (mantan anggota Dewan Pembina Demok-rat yang divonis 2 tahun 8 bulan penjara kasus korupsi Buol).
Berikutnya, Jero Wacik (politisi asal Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli yang mantan Menbudpar dan Menteri ESDM, divonis 4 tahun penjara kasus ko-rupsi Dana Operasional Menteri atau DOM), Putu Sudiartana (politisi asal Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Badung mantann Wakil Bendahara Umum DPP Demokrat dan anggota DPR RI Dapil Bali, yang divonis 6 tahun penjara terkait kasus suas pengurusan DAK), Sutan Bhatoegana (mantan Ketua DPP Demokrat yang divonis 10 tahun penjara kasus Korupsi ESDM), Amrun Daulay (mantan anggota Fraksi Demokrat DPR yang divonis 1 tahun 5 bulan terkait korupsi Pengadaan Mesin Jahit dan Sapi di Kementerian Sosial), dan Sarjan Taher (mantan anggota Fraksi Demokrat DPR yang divonis 4,5 tahun penjara kasus korupsi Pelabuhan Tanjung Api-api). *
Komentar