Eks KSAU Mangkir dari Panggilan KPK
Pengacara menyebut kliennya tak menerima surat panggilan dari KPK
JAKARTA, NusaBali
Eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengacara Agus menyebut panggilan dari KPK tidak diterima kliennya."Pihak penasihat hukum saksi menghubungi KPK dan menyampaikan bahwa surat panggilan belum diterima saksi," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (11/5) seperti dilansir detik.
Padahal, KPK menyebut telah mengirimkan surat panggilan pada awal Mei 2018. Surat dikirimkan ke rumah Agus di Halim. KPK mengagendakan pemeriksaan ulang untuk Agus. Keterangan KSAU yang menjabat 2015-2017 itu masih dibutuhkan untuk melengkapi berkas perkara kasus ini."Untuk kepentingan pemeriksaan, KPK akan memanggil kembali saksi. Waktu pemanggilan disesuaikan dengan kebutuhan penanganan perkara. Direncanakan paling cepat minggu depan," kata Febri.
Sebelumnya Agus pernah memenuhi panggilan KPK pada Rabu (3/1) lalu, tetapi menolak memberi keterangan. Alasannya, saat peristiwa dugaan korupsi terjadi, dia adalah prajurit aktif yang terikat menjaga kerahasiaan militer.
Pengadaan helikopter jenis angkut penumpang tersebut menimbulkan kontroversi lantaran rencana pembeliannya ditolak Presiden Joko Widodo pada 2015. Awalnya helikopter tersebut ditujukan sebagai helikopter pengangkut very-very important person (VVIP), namun harganya dinilai terlalu mahal untuk kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tak stabil.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Dia diduga melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp514 miliar.
Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri justru menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar. Saat perjanjian kontrak itu berjalan, Agus masih menjabat sebagai KSAU. Tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan Helikopter AW 101 ini diperkirakan merugikan keuangan negara senilai minimal Rp 220 miliar.
Selain dari KPK, Puspom TNI sudah menetapkan Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka, dalam kapasitasnya sebagai pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.
Tersangka lainnya ialah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua berinsial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Penyidik KPK dan POM TNI hingga kini belum menerima perkembangan penyelesaian audit keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kami harap audit BPK, bisa segera selesai sehingga penanganan perkara ini dapat ke tahap selanjutnya. Selain itu LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga akan dilibatkan sebagai ahli terkait dengan proses pengadaan," kata Febri seperti dilansir cnnindonesia.
KPK keberatan dengan hasil praperadilan sebelumnya yang diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh pada November tahun lalu. Irfan menggugat TNI AU dan Menteri Keuangan agar mengabulkan sejumlah permohonan dan membayar ganti rugi.
Gugatan itu tercatat dalam perkara No. 103/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Tim. Dia menggugat TNI AU agar mengabulkan permohonan dan ganti rugi antara lain pembayaran tahap III yang tidak dibayarkan sebesar Rp73,8 miliar, sebagian pembayaran tahap IV senilai Rp 40,46 miliar, dan pengembalian jaminan pelaksanaan senilai Rp36,94 miliar. *
Eks KSAU Marsekal (Purn) Agus Supriatna tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengacara Agus menyebut panggilan dari KPK tidak diterima kliennya."Pihak penasihat hukum saksi menghubungi KPK dan menyampaikan bahwa surat panggilan belum diterima saksi," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (11/5) seperti dilansir detik.
Padahal, KPK menyebut telah mengirimkan surat panggilan pada awal Mei 2018. Surat dikirimkan ke rumah Agus di Halim. KPK mengagendakan pemeriksaan ulang untuk Agus. Keterangan KSAU yang menjabat 2015-2017 itu masih dibutuhkan untuk melengkapi berkas perkara kasus ini."Untuk kepentingan pemeriksaan, KPK akan memanggil kembali saksi. Waktu pemanggilan disesuaikan dengan kebutuhan penanganan perkara. Direncanakan paling cepat minggu depan," kata Febri.
Sebelumnya Agus pernah memenuhi panggilan KPK pada Rabu (3/1) lalu, tetapi menolak memberi keterangan. Alasannya, saat peristiwa dugaan korupsi terjadi, dia adalah prajurit aktif yang terikat menjaga kerahasiaan militer.
Pengadaan helikopter jenis angkut penumpang tersebut menimbulkan kontroversi lantaran rencana pembeliannya ditolak Presiden Joko Widodo pada 2015. Awalnya helikopter tersebut ditujukan sebagai helikopter pengangkut very-very important person (VVIP), namun harganya dinilai terlalu mahal untuk kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tak stabil.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka. Dia diduga melakukan kontrak langsung dengan produsen heli AW-101 senilai Rp514 miliar.
Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri justru menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar. Saat perjanjian kontrak itu berjalan, Agus masih menjabat sebagai KSAU. Tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan Helikopter AW 101 ini diperkirakan merugikan keuangan negara senilai minimal Rp 220 miliar.
Selain dari KPK, Puspom TNI sudah menetapkan Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka, dalam kapasitasnya sebagai pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.
Tersangka lainnya ialah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua berinsial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Penyidik KPK dan POM TNI hingga kini belum menerima perkembangan penyelesaian audit keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kami harap audit BPK, bisa segera selesai sehingga penanganan perkara ini dapat ke tahap selanjutnya. Selain itu LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) juga akan dilibatkan sebagai ahli terkait dengan proses pengadaan," kata Febri seperti dilansir cnnindonesia.
KPK keberatan dengan hasil praperadilan sebelumnya yang diajukan oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh pada November tahun lalu. Irfan menggugat TNI AU dan Menteri Keuangan agar mengabulkan sejumlah permohonan dan membayar ganti rugi.
Gugatan itu tercatat dalam perkara No. 103/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Tim. Dia menggugat TNI AU agar mengabulkan permohonan dan ganti rugi antara lain pembayaran tahap III yang tidak dibayarkan sebesar Rp73,8 miliar, sebagian pembayaran tahap IV senilai Rp 40,46 miliar, dan pengembalian jaminan pelaksanaan senilai Rp36,94 miliar. *
Komentar