Ala-Ayuning Dewasa
Menurut literatur, suatu komunitas menggunakan kerangka acuan (frame of reference) berbeda (Herskovitz 1986; Levinson, 2003; Brenzinger 2008; Boroditsky 2011). Wassmann dan Dasen (1998) melakukan penelitian tentang acuan ruang.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Mereka menunjukkan penggunaan ‘sistem acuan spasial absolut’ sangat dominan dalam Bahasa Bali. Di samping itu, penggunaan ‘sistem acuan spasial relatif’ juga digunakan. Misalnya, Anake ento mejujuk dajan/delod/dangin/dauh mobile (Orang itu berdiri di sebelah utara/selatan/timur/ barat mobil itu). Arah mata angin menjadi acuan absolutnya.
Ada acuan lokasional lain, seperti, ‘Bukune di duwur/samping/beten/tengah lemarine’.(Bukunya ada di atas/samping/ bawah/dalam almari). Acuan diskursus soroh, seperti ‘Tiyang nunasang antuk linggih?’. Jawabannya, seperti ‘Tiyan Brahmana/Ksatria/Waisia/Pande/Pasek’. (Kami Brahmana/Ksatria/Waisia/Pande/Pasek.
Secara teoritik, ada dua kerangka acuan relasi antar-organisme, yaitu sistem acuan absolut dan relatif. Di Bali, awig-awig desa adat sering diacu secara absolut.
Pelanggarannya dipastikan memperoleh sanksi. Dalam pelaksanaan upacara ngaben atau perkawinan, acuannya relatif, karena ada ‘pemayuh’ (cara untuk meminimalkan efek negatif). Sesungguhnya, kerangka acuan bukan sekadar pilihan tetapi terkait dengan fungsi kognitif.
Dalam melakukan upacara suci, acuan absolut ‘Nyegara-Gunung’ atau ‘Kaja-Kelod’ sering digunakan oleh krama Hindu di Bali. Demikian halnya dengan ‘Uncal Balung’.Uncal Balung atau sering disebut Pegat Uwakan yang berakhir pada Buda Kliwon Pahang merupakan akhir dari rangkaian ‘bulan suci’ bagi krama Hindu di Bali. Misalnya, hari pantangan untuk melangsungkan pernikahan, yakni Nguncal Balung.
Nguncal Balung yaitu hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Uwakan. Kala itu umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngewangun (menyelenggarakan), seperti ngaben (kremasi) atau pawiwahan (pernikahan).
Polemik terkait Tawur Agung Kesanga pada Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1938 akan dilaksanakan atau tidak? Polemik itu akhirnya terhenti. Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat maupun PHDI Provinsi Bali memutuskan rangkaian kegiatan Nyepi, yakni Melasti dan Tawur Agung tetap berjalan seperti biasa meskipun bertepatan dengan Uncal Balung. Lontar Sundarigama menjadi acuan absolutnya (frame of reference), sehingga Tawur Kesanga tidak boleh ditiadakan. Jadi, pelaksanaan rangkaian Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1938 yang jatuh pada Buda Pon Pujut, 9 Maret 2016 bertepatan dengan Uncal Balung.
Kerangka acuan soroh seperti di atas tergolong relatif, tetapi sering digunakan secara absolut. Misalnya, para Ksatria menggunakan aras tutur kasar kepada Sudra. Sudra pun merespons-nya dengan aras tutur kasar karena aspirasi kesejajaran. Acuan absolut sering terkendala oleh demokrasi dan hak asasi manusia. Semua manusia sejajar di mata Yang Maha Kuasa. Relativitas penggunaan acuan sering ditemukan di Bali. Penggunaan acuan absolut dalam interaksi interpersonal sering memunculkan masalah pelik di Bali.
Implikasi lain penggunaan acuan absolut adalah penelusuran asal-usul atau kawitan. Alih asal-usul menjadi prioritas dengan alasan untuk ketenangan batin. Alih asal-usul sering memicu konflik. Banyak yang kaget karena dulunya A sekarang Z, sungguh amat mencolok. Dulunya jalannya lurus, tetapi sekarang berjalannya agak berbelit. Respons sosial yang lain adalah pecahnya hubungan kekerabatan dari satu sumber. Karena aspirasi berbeda, maka jalan yang ditempuh pun berbeda. Muaranya adalah perselisihan, perpecahan, pembagian warisan atau bahkan pengusiran. Melihat masalah yang muncul, maka sebaiknya kerangka acuan bersifat fleksibel, tergantung oleh faktor lokasi, partisipan, tujuan, tindak tutur, intensi, laras tutur, media, dan norma (Hymes,1998). Semoga. 7
Komentar