Padukan Tari Sakral dan Maskot Desa
Tarian itu menceritakan, tata cara menyadap air bunga kelapa dijadikan tuak, kemudian disuling jadi minuman arak.
Desa Tri Eka Buana, Karangasem, Kembangkan Seni Tari
AMLAPURA, NusaBali
Seniman di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem sejak tahun 2017, intensif melestarikan seni tari sakral, dan menciptakan Tari Maskot Desa Tri Eka Buana. Tari sakral yang mulai dilestarikan berupa Tari Rejang Renteng, dan Rejang Dewa. Tarian ini dimanfaatkan untuk sarana ngayah di setiap piodalan di Pura Kahyangan Tiga dan Pura Dadia lainnya di desa tersebut.
Agar keberadaan tarian itu berkesinambungan, kaum remaja dan ibu-ibu rumah tangga diwajibkan belajar menari. Mengenai biaya pakaian seragam dibutuhkan, pengadaannya menggunakan dana desa, Rp 11 juta. 30 remaja dan ibu-ibu rumah tangga diberdayakan di bawah arahan Ida Ayu Tirta. Lokasi latihan di Bale Banjar Duuran. Banyak manfaat memberdayakan tarian sakral itu. Latihan ini juga untuk mempertemukan kaum ibu-ibu rumah tangga. Mereka dari tiga banjar dinas yakni Banjar Duuran berpenduduk 547 jiwa, Banjar Betenan berpenduduk 1.150 jiwa dan Banjar Pungutan, berpenduduk 1.203 jiwa total 2.900 jiwa.
Walau ibu-ibu telah cukup lama latihan, tetapi belum pernah dipentaskan. Rencananya di Rahina Umanis Galungan, Wraspati Umanis Dunggulan, Kamis (31/5), dipentaskan bertepatan piodalan di Pura Puseh Desa Tri Eka Buana. Apalagi seragam pakaian telah siap, berupa stelan kebaya putih, kain dan selendang kuning. Ibu-ibu rumah tangga ternyata terbilang cepat menguasai tarian itu, apalagi gerak tarinya sederhana, terdiri dari gerak nyalud dan ngelung, Nyalud yang mengandung gerak tangan ke dalam dengan menutup dan membuka secara bergantian kanan dan kiri.
Sedangkan gerak ngelung merupakan gerakan merebahkan badan ke kiri dan ke kanan disertai gerakan satu tangan lurus ke samping, dan satu tangan lagi menekuk ke arah dada.
Pada bagian akhir, adalah gerakan mamade, yakni gerakan dalam bentuk melingkar, dilanjutkan memegang selendang penari lainnya sehingga membentuk lingkaran tak pernah putus. Sesuai kajian dari ISI Denpasar, kata renteng berasal dari rente yang artinya tua. Sehingga Rejang Renteng identik dipentaskan para penari tua.
Gerakannya cenderung halus, ritmis dan dinamis. Tari Rejang Renteng sesungguhnya merupakan simbol tarian bidadari, yang dipersembahkan kepada Sang Maha Pencipta, juga sebagai pelengkap upacara pengider bhuana.
"Kami memang memiliki visi dan misi dalam membangun Desa Tri Eka Buana, salah satunya bidang seni tari, lebih mengkhusus lagi tari sakral," jelas Perbekel Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, I Ketut Derka, dihubungi di ruang di Amlapura, Jumat (18/5).
Alasan utama melestarikan seni tari Rejang Renteng agar tetap terjaga kelestariannya, juga untuk dipentaskan di pura, guna menambah khusyuknya ritual. Sebab, tarian yang disucikan itu, merupakan persembahan kepada Sang Maha Pencipta, dengan harapan agar dikaruniai kasuciannya. Sedangkan kalangan generasi remaja, mendapatkan bagian melestarikan tari Rejang Dewa. 30 remaja intensif berlatih. Diyakini tari Rejang Dewa itu sakral, sebab dipentaskan di setiap awal upacara, yang bermakna menyambut kedatangan para dewa-dewi dari kahyangan turun ke bumi, untuk menyaksikan rangkaian upacara yang tengah terlaksana.
Gerakannya sangat sederhana, ngembat dan ngelikes yakni gerakan ke kiri dan ke kanan dilakukan sambil melangkah ke depan. Sehingga remaja Desa Tri Eka Buana dengan mudah menguasai tarian itu. Tarian itu kelihatannya sederhana gerakannya, meski demikian diupayakan para penarinya agar selalu ada dan diwariskan turun temurun. Diyakini, keberadaan seni tari merupakan salah satu sisi penting untuk mengisi pembangunan di desa. Apalagi disertai pengabdiannya yang tinggi, hanya muncul dari remaja-remaja yang berjiwa iklas, mampu menjiwai gerak tari tersebut. Sebab, unsur seni yang dibawakan, tak lepas dari konsep, satyam, siwam dan sundaram, dengan menjunjung tinggi kebenaran, kesucian dan keindahan.
Dari tataran siwam, mesti mencerminkan spirit kesucian, terutama dalam gerak tari agar sepenuh hati, seirama dengan jiwa raga. Sedangkan Sundaram yakni keindahan, agar tari dibawakan selalu terlihat indah, dan mengagumkan untuk setiap yang memandang.
Kalangan remaja di Desa Tri Eka Buana juga diwajibkan memahami dan menguasai tari maskot Desa Tri Eka Buana yang disebut Tari Utamaning Malini. Tarian itu diciptakan, berkah dari KKN (Kuliah Kerja Nyata) ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar di Kecamatan Sidemen, tahun 2017 lalu.
Berkat adanya KKN ISI, memiliki tari maskot Desa Tri Eka Buana, berjudul Utamaning Malini. Tarian itu menceritakan, tata cara menyadap air bunga kelapa dijadikan tuak, kemudian disuling jadi minuman arak. Sebab, mata pencaharian masyarakat di Desa Tri Eka Buana kebanyakan menyadap bunga kelapa dan diproduksi jadi minuman arak.
Perbekel Tri Eka Buana I Ketut Derka menjelaskan, tarian maskot itu nantinya bisa dipentaskan, di saat ada acara-acara di desa. "Tarian maskot itu juga sebagai kenang-kenangan dari ISI Denpasar," kata I Ketut Derka. Penarinya empat orang, hanya belajar selama 20 hari, langsung bisa pentas. Pentas pertama saat perpisahan KKN ISI. *k16
AMLAPURA, NusaBali
Seniman di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem sejak tahun 2017, intensif melestarikan seni tari sakral, dan menciptakan Tari Maskot Desa Tri Eka Buana. Tari sakral yang mulai dilestarikan berupa Tari Rejang Renteng, dan Rejang Dewa. Tarian ini dimanfaatkan untuk sarana ngayah di setiap piodalan di Pura Kahyangan Tiga dan Pura Dadia lainnya di desa tersebut.
Agar keberadaan tarian itu berkesinambungan, kaum remaja dan ibu-ibu rumah tangga diwajibkan belajar menari. Mengenai biaya pakaian seragam dibutuhkan, pengadaannya menggunakan dana desa, Rp 11 juta. 30 remaja dan ibu-ibu rumah tangga diberdayakan di bawah arahan Ida Ayu Tirta. Lokasi latihan di Bale Banjar Duuran. Banyak manfaat memberdayakan tarian sakral itu. Latihan ini juga untuk mempertemukan kaum ibu-ibu rumah tangga. Mereka dari tiga banjar dinas yakni Banjar Duuran berpenduduk 547 jiwa, Banjar Betenan berpenduduk 1.150 jiwa dan Banjar Pungutan, berpenduduk 1.203 jiwa total 2.900 jiwa.
Walau ibu-ibu telah cukup lama latihan, tetapi belum pernah dipentaskan. Rencananya di Rahina Umanis Galungan, Wraspati Umanis Dunggulan, Kamis (31/5), dipentaskan bertepatan piodalan di Pura Puseh Desa Tri Eka Buana. Apalagi seragam pakaian telah siap, berupa stelan kebaya putih, kain dan selendang kuning. Ibu-ibu rumah tangga ternyata terbilang cepat menguasai tarian itu, apalagi gerak tarinya sederhana, terdiri dari gerak nyalud dan ngelung, Nyalud yang mengandung gerak tangan ke dalam dengan menutup dan membuka secara bergantian kanan dan kiri.
Sedangkan gerak ngelung merupakan gerakan merebahkan badan ke kiri dan ke kanan disertai gerakan satu tangan lurus ke samping, dan satu tangan lagi menekuk ke arah dada.
Pada bagian akhir, adalah gerakan mamade, yakni gerakan dalam bentuk melingkar, dilanjutkan memegang selendang penari lainnya sehingga membentuk lingkaran tak pernah putus. Sesuai kajian dari ISI Denpasar, kata renteng berasal dari rente yang artinya tua. Sehingga Rejang Renteng identik dipentaskan para penari tua.
Gerakannya cenderung halus, ritmis dan dinamis. Tari Rejang Renteng sesungguhnya merupakan simbol tarian bidadari, yang dipersembahkan kepada Sang Maha Pencipta, juga sebagai pelengkap upacara pengider bhuana.
"Kami memang memiliki visi dan misi dalam membangun Desa Tri Eka Buana, salah satunya bidang seni tari, lebih mengkhusus lagi tari sakral," jelas Perbekel Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, I Ketut Derka, dihubungi di ruang di Amlapura, Jumat (18/5).
Alasan utama melestarikan seni tari Rejang Renteng agar tetap terjaga kelestariannya, juga untuk dipentaskan di pura, guna menambah khusyuknya ritual. Sebab, tarian yang disucikan itu, merupakan persembahan kepada Sang Maha Pencipta, dengan harapan agar dikaruniai kasuciannya. Sedangkan kalangan generasi remaja, mendapatkan bagian melestarikan tari Rejang Dewa. 30 remaja intensif berlatih. Diyakini tari Rejang Dewa itu sakral, sebab dipentaskan di setiap awal upacara, yang bermakna menyambut kedatangan para dewa-dewi dari kahyangan turun ke bumi, untuk menyaksikan rangkaian upacara yang tengah terlaksana.
Gerakannya sangat sederhana, ngembat dan ngelikes yakni gerakan ke kiri dan ke kanan dilakukan sambil melangkah ke depan. Sehingga remaja Desa Tri Eka Buana dengan mudah menguasai tarian itu. Tarian itu kelihatannya sederhana gerakannya, meski demikian diupayakan para penarinya agar selalu ada dan diwariskan turun temurun. Diyakini, keberadaan seni tari merupakan salah satu sisi penting untuk mengisi pembangunan di desa. Apalagi disertai pengabdiannya yang tinggi, hanya muncul dari remaja-remaja yang berjiwa iklas, mampu menjiwai gerak tari tersebut. Sebab, unsur seni yang dibawakan, tak lepas dari konsep, satyam, siwam dan sundaram, dengan menjunjung tinggi kebenaran, kesucian dan keindahan.
Dari tataran siwam, mesti mencerminkan spirit kesucian, terutama dalam gerak tari agar sepenuh hati, seirama dengan jiwa raga. Sedangkan Sundaram yakni keindahan, agar tari dibawakan selalu terlihat indah, dan mengagumkan untuk setiap yang memandang.
Kalangan remaja di Desa Tri Eka Buana juga diwajibkan memahami dan menguasai tari maskot Desa Tri Eka Buana yang disebut Tari Utamaning Malini. Tarian itu diciptakan, berkah dari KKN (Kuliah Kerja Nyata) ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar di Kecamatan Sidemen, tahun 2017 lalu.
Berkat adanya KKN ISI, memiliki tari maskot Desa Tri Eka Buana, berjudul Utamaning Malini. Tarian itu menceritakan, tata cara menyadap air bunga kelapa dijadikan tuak, kemudian disuling jadi minuman arak. Sebab, mata pencaharian masyarakat di Desa Tri Eka Buana kebanyakan menyadap bunga kelapa dan diproduksi jadi minuman arak.
Perbekel Tri Eka Buana I Ketut Derka menjelaskan, tarian maskot itu nantinya bisa dipentaskan, di saat ada acara-acara di desa. "Tarian maskot itu juga sebagai kenang-kenangan dari ISI Denpasar," kata I Ketut Derka. Penarinya empat orang, hanya belajar selama 20 hari, langsung bisa pentas. Pentas pertama saat perpisahan KKN ISI. *k16
1
Komentar