Duta Bahasa Provinsi Bali 2018
Duta Bahasa bertugas membantu kegiatan literasi terutama Bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti terlibat dalam gerakan Cinta Bahasa Indonesia ataupun gerakan penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik
DENPASAR, NusaBali
Pasangan Gede Made Cahya Trisna Pratama, 20, dan Ni Luh Putu Yuni Krisnayanti, 20, dinobatkan menjadi Duta Bahasa Provinsi Bali tahun 2018 setelah menyisihkan 18 orang rivalnya pada laga Grand Final Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Bali di Aula Universitas Warmadewa, Sabtu (19/5) malam. Dengan demikian, Cahya dan Yuni secara otomatis didaulat menjadi wakil Bali ke tingkat nasional, Agustus 2018 mendatang.
Ketua Paguyuban Duta Bahasa Provinsi Bali, Ni Nyoman Clara Listya Dewi mengatakan, sebelum menetapkan pemenang pada malam grand final, peserta telah mengikuti berbagai seleksi dan tes. Clara menyebut, pada babak penyisihan, sekitar 80 orang peserta mengikuti seleksi administrasi. Salah satu yang diseleksi pada babak tersebut adalah essay atau karangan argumentasi yang mereka buat, dimana tahun ini bertemakan Pemuda dan Bahasa.
“Pada seleksi awal, para peserta atau finalis ini mengikuti seleksi administrasi dan seleksi essay yang sudah dilakukan dua bulan yang lalu. Dari seleksi tersebut, selanjutnya tes UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) dan wawancara. Dari situ, baru diumumkan 20 orang yang bisa masuk 10 besar, 10 orang putra dan 10 orang putri,” jelasnya ditemui di sela acara.
Lanjutnya, setelah melewati proses administrasi hingga ditetapkan 10 besar, para peserta lalu menjalani pembekalan selama tiga hari. Pembekalan tersebut diisi dengan materi yang diberikan oleh para dewan juri dan juga para pembicara yang didatangkan khusus untuk memberikan materi mengenai literasi. Mereka juga mendapatkan kesempatan untuk Uji Kesempatan Berbahasa Asing (UKBA) dan Uji Kemahiran Berbahasa Daerah (UKBD). Selain itu, mereka juga mengikuti tes bakat.
“Essay yang lolos saat seleksi administrasi, kemudian dipresentasikan pada saat pembekalan di provinsi. Pada saat itu, mereka dapat berargumentasi mengenai isu di bidang literasi. Mereka juga ada sesi debat tentang masalah-masalah literasi,” ungkapnya.
Clara menjelaskan, Duta Bahasa merupakan mitra dari Balai Bahasa Provinsi Bali yang nantinya bertugas membantu kegiatan literasi terutama Bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti terlibat dalam gerakan Cinta Bahasa Indonesia ataupun gerakan penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik.
Menurut Clara, sebelum berangkat ke tingkat nasional Agustus mendatang, dua wakil Bali ini akan digenjot dengan berbagai pembinaan selama sisa waktu dua bulan. Pembinaan yang ditekankan adalah masalah mengenai isu-isu literasi, mempersiapkan kegiatan sosial yang akan dipresentasikan di nasional, dan mempersiapkan bakat. Pihaknya masih berharap Bali bisa meraih kembali posisi terbaik, setelah tahun lalu harus puas bertengger di posisi III. “Tahun ini memang ada target, sebab tahun-tahun sebelumnya Bali selalu mendapatkan posisi di nasional. Tapi kami juga tidak ingin terlalu berambisi, namun kami tetap mendorong mereka berupaya semaksimal mungkin untuk Bali,” tandasnya.
Sementara Gede Made Cahya Trisna Pratama ditemui usai pemilihan, masih tidak menyangka bisa menjadi pemenang, setelah merasa proses seleksi dan saingan yang dilaluinya cukup berat dan ketat. Menurut teruna asal Banjar Tunjuk Selatan, Desa Tunjuk, Kecamatan/Kabupaten Tabanan ini, potensi luar biasa yang dimiliki kontestan lainnya menyebabkan persaingan sangat ketat. Cahya bahkan mengaku tidak menarget dirinya akan menang. “Sama sekali gak menargetkan dapat posisi apa, saya hanya melakukan yang terbaik saja. Bagi saya, semua proses ini sangat panjang dan berat, terutama saat masa karantina,” cerita mahasiswa semester IV Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tersebut.
Pada seleksi essay, teruna kelahiran 27 Mei 1998 ini mengangkat tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS), program Kementerian Pendidikan yang dikaitkan dengan isu toleransi yang ada di Indonesia saat ini. Menurutnya, literasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan toleransi pemuda dan masyarakat. Rupanya, essay tersebut mengantarkannya ke babak 10 besar. Dengan demikian, impiannya terwujud ikut pemilihan Duta Bahasa. “Sejak dulu memang tertarik dengan bahasa dan sastra, karena dulu waktu SMA pernah ikut main teater. Ajang ini lebih dari sekedar mementingkan beauty saja, tapi mementingkan tugasnya dalam mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing dengan baik,” imbuh bungsu dari dua bersaudara pasangan I Ketut Sutrisna dan Ni Wayan Sutami tersebut.
Penuturan yang sama juga dilontarkan Ni Luh Putu Yuni Krisnayanti. Teruni Banjar Kancil, Kerobokan, Kuta Utara, Badung ini juga mengaku sempat down melihat lawan mainnya. Terutama saat presentasi dan wawancara mendalam dengan para juri, mahasiswi semester IV Sastra Inggris di Universitas Dhyana Pura ini merasa kurang maksimal, dan tidak yakin akan lolos jadi pemenang. “Awalnya memang ada target hingga jadi runner up 1. Tapi setelah melihat sendiri, banyak potensi yang dimiliki masing-masing peserta dan memungkinkan mereka meraih posisi juara. Yuni pasrah apa yang akan terjadi, tapi Tuhan memberikan kesempatan lebih untuk Yuni menjadi Duta Bahasa,” tuturnya.
Sama seperti peserta lainnya, Yuni juga membuat essay mengenai isu kebahasaan. Finalis Jegeg Bagus Badung 2017 ini pun mengangkat bahasa sebagai jendela empati. Menurut Yuni, komunikasi yang baik adalah tercapainya rasa empati, dan komunikasi itu muncul lewat bahasa. Dengan meminjam filosofi Aristoteles, bahasa memenuhi logos, patos, dan etos. Artinya, berbahasa dengan pengetahuan yang baik (logos), berbahasa sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (patos), dan berbahasa sesuai dengan kesopanan sesuai situasi dan kondisi (etos).
Selepas dinobatkan jadi wakil Bali ke tingkat nasional, sulung dari dua bersaudara pasangan I Wayan Maranata dan Ni Wayan Nurati ini berharap bisa menjaga nama baik Pulau Dewata di tingkat nasional. Sebab dari tahun ke tahun, Bali selalu mendapat posisi dalam pemilihan Duta Bahasa di tingkat nasional. Bagi Yuni, ini menjadi tanggung jawab yang besar. “Astungkara bisa mengembalikan posisi terbaik Bali di tingkat nasional. Sekarang yang paling adalah melaksanakan prohram kerja, karena sebelum masuk ke nasional harus sudah ada program kerja terkait kebahasaan yang sudah dilakukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar, karena nantinya membawa nama Bali,” tandasnya. *ind
Pasangan Gede Made Cahya Trisna Pratama, 20, dan Ni Luh Putu Yuni Krisnayanti, 20, dinobatkan menjadi Duta Bahasa Provinsi Bali tahun 2018 setelah menyisihkan 18 orang rivalnya pada laga Grand Final Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Bali di Aula Universitas Warmadewa, Sabtu (19/5) malam. Dengan demikian, Cahya dan Yuni secara otomatis didaulat menjadi wakil Bali ke tingkat nasional, Agustus 2018 mendatang.
Ketua Paguyuban Duta Bahasa Provinsi Bali, Ni Nyoman Clara Listya Dewi mengatakan, sebelum menetapkan pemenang pada malam grand final, peserta telah mengikuti berbagai seleksi dan tes. Clara menyebut, pada babak penyisihan, sekitar 80 orang peserta mengikuti seleksi administrasi. Salah satu yang diseleksi pada babak tersebut adalah essay atau karangan argumentasi yang mereka buat, dimana tahun ini bertemakan Pemuda dan Bahasa.
“Pada seleksi awal, para peserta atau finalis ini mengikuti seleksi administrasi dan seleksi essay yang sudah dilakukan dua bulan yang lalu. Dari seleksi tersebut, selanjutnya tes UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) dan wawancara. Dari situ, baru diumumkan 20 orang yang bisa masuk 10 besar, 10 orang putra dan 10 orang putri,” jelasnya ditemui di sela acara.
Lanjutnya, setelah melewati proses administrasi hingga ditetapkan 10 besar, para peserta lalu menjalani pembekalan selama tiga hari. Pembekalan tersebut diisi dengan materi yang diberikan oleh para dewan juri dan juga para pembicara yang didatangkan khusus untuk memberikan materi mengenai literasi. Mereka juga mendapatkan kesempatan untuk Uji Kesempatan Berbahasa Asing (UKBA) dan Uji Kemahiran Berbahasa Daerah (UKBD). Selain itu, mereka juga mengikuti tes bakat.
“Essay yang lolos saat seleksi administrasi, kemudian dipresentasikan pada saat pembekalan di provinsi. Pada saat itu, mereka dapat berargumentasi mengenai isu di bidang literasi. Mereka juga ada sesi debat tentang masalah-masalah literasi,” ungkapnya.
Clara menjelaskan, Duta Bahasa merupakan mitra dari Balai Bahasa Provinsi Bali yang nantinya bertugas membantu kegiatan literasi terutama Bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti terlibat dalam gerakan Cinta Bahasa Indonesia ataupun gerakan penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik.
Menurut Clara, sebelum berangkat ke tingkat nasional Agustus mendatang, dua wakil Bali ini akan digenjot dengan berbagai pembinaan selama sisa waktu dua bulan. Pembinaan yang ditekankan adalah masalah mengenai isu-isu literasi, mempersiapkan kegiatan sosial yang akan dipresentasikan di nasional, dan mempersiapkan bakat. Pihaknya masih berharap Bali bisa meraih kembali posisi terbaik, setelah tahun lalu harus puas bertengger di posisi III. “Tahun ini memang ada target, sebab tahun-tahun sebelumnya Bali selalu mendapatkan posisi di nasional. Tapi kami juga tidak ingin terlalu berambisi, namun kami tetap mendorong mereka berupaya semaksimal mungkin untuk Bali,” tandasnya.
Sementara Gede Made Cahya Trisna Pratama ditemui usai pemilihan, masih tidak menyangka bisa menjadi pemenang, setelah merasa proses seleksi dan saingan yang dilaluinya cukup berat dan ketat. Menurut teruna asal Banjar Tunjuk Selatan, Desa Tunjuk, Kecamatan/Kabupaten Tabanan ini, potensi luar biasa yang dimiliki kontestan lainnya menyebabkan persaingan sangat ketat. Cahya bahkan mengaku tidak menarget dirinya akan menang. “Sama sekali gak menargetkan dapat posisi apa, saya hanya melakukan yang terbaik saja. Bagi saya, semua proses ini sangat panjang dan berat, terutama saat masa karantina,” cerita mahasiswa semester IV Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tersebut.
Pada seleksi essay, teruna kelahiran 27 Mei 1998 ini mengangkat tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS), program Kementerian Pendidikan yang dikaitkan dengan isu toleransi yang ada di Indonesia saat ini. Menurutnya, literasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan toleransi pemuda dan masyarakat. Rupanya, essay tersebut mengantarkannya ke babak 10 besar. Dengan demikian, impiannya terwujud ikut pemilihan Duta Bahasa. “Sejak dulu memang tertarik dengan bahasa dan sastra, karena dulu waktu SMA pernah ikut main teater. Ajang ini lebih dari sekedar mementingkan beauty saja, tapi mementingkan tugasnya dalam mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing dengan baik,” imbuh bungsu dari dua bersaudara pasangan I Ketut Sutrisna dan Ni Wayan Sutami tersebut.
Penuturan yang sama juga dilontarkan Ni Luh Putu Yuni Krisnayanti. Teruni Banjar Kancil, Kerobokan, Kuta Utara, Badung ini juga mengaku sempat down melihat lawan mainnya. Terutama saat presentasi dan wawancara mendalam dengan para juri, mahasiswi semester IV Sastra Inggris di Universitas Dhyana Pura ini merasa kurang maksimal, dan tidak yakin akan lolos jadi pemenang. “Awalnya memang ada target hingga jadi runner up 1. Tapi setelah melihat sendiri, banyak potensi yang dimiliki masing-masing peserta dan memungkinkan mereka meraih posisi juara. Yuni pasrah apa yang akan terjadi, tapi Tuhan memberikan kesempatan lebih untuk Yuni menjadi Duta Bahasa,” tuturnya.
Sama seperti peserta lainnya, Yuni juga membuat essay mengenai isu kebahasaan. Finalis Jegeg Bagus Badung 2017 ini pun mengangkat bahasa sebagai jendela empati. Menurut Yuni, komunikasi yang baik adalah tercapainya rasa empati, dan komunikasi itu muncul lewat bahasa. Dengan meminjam filosofi Aristoteles, bahasa memenuhi logos, patos, dan etos. Artinya, berbahasa dengan pengetahuan yang baik (logos), berbahasa sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (patos), dan berbahasa sesuai dengan kesopanan sesuai situasi dan kondisi (etos).
Selepas dinobatkan jadi wakil Bali ke tingkat nasional, sulung dari dua bersaudara pasangan I Wayan Maranata dan Ni Wayan Nurati ini berharap bisa menjaga nama baik Pulau Dewata di tingkat nasional. Sebab dari tahun ke tahun, Bali selalu mendapat posisi dalam pemilihan Duta Bahasa di tingkat nasional. Bagi Yuni, ini menjadi tanggung jawab yang besar. “Astungkara bisa mengembalikan posisi terbaik Bali di tingkat nasional. Sekarang yang paling adalah melaksanakan prohram kerja, karena sebelum masuk ke nasional harus sudah ada program kerja terkait kebahasaan yang sudah dilakukan. Ini adalah tanggung jawab yang besar, karena nantinya membawa nama Bali,” tandasnya. *ind
Komentar