nusabali

Palinggih Padmasana Hancur Saat Pengiriman Lewat Laut dari Bali

  • www.nusabali.com-palinggih-padmasana-hancur-saat-pengiriman-lewat-laut-dari-bali

Pura Agung Jagat Benuanta dibangun di atas lahan perbukitan seluas 1,5 hektare di Kota Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Kantor Gubernur Kalimantan Utara. Pemkab Bulungan membantu lahan dan biaya fisik pembangunan pura Rp 300 juta

Perjuangan Kerama Bali Perantauan Wujudkan Pura di Provinsi Termuda Kalimatan Utara


SINGARAJA, NusaBali
Jumlah kerama Bali perantauan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kalatara) tidaklah banyak. Namun, mereka mampu mewujudkan tekadnya untuk membangun sebuah pura di provinsi termuda di Indonesia itu, yakni Pura Agung Jagat Benuanta. Hanya saja, proses pembangunan pura ini sempat terhenti gara-gara Palinggih Padmasana berbahan bias melila (pasir hitam) hancur saat pengiriman lewat laut dari Bali.

Pura Agung Jagat Benuanta yang dibangun krama Bali perantauan ini beridiri di atas lahan perbukitan seluas 1,5 hektare di Kota Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Lokasi pura ini hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Kantor Gubernur Kaltara. Pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta dirintis sejak tahun 2004. Setelah berlangsung selama 13 tahun, akhirnya pembangunan pura ini rampung ditandai dengan Upacara Ngenteg Linggih pada 2017 lalu.

NusaBali sempat bertemu dengan krama Bali perantauan di Pura Agung Jagat Benuanta, Kamis (17/5) lalu, saat mengikuti rombongan ‘Orientansi Kehumasan’ Pemkab Buleleng ke Provinsi Kaltara yang dipimpin Wakil Bupati dr Nyoman Sutjidra SpOG. Dari pertemuan singkat itu diperoleh gambaran, betapa usaha tidak kenal menyerah yang dilakukan krama setempat kahirnya berhasil mewujudkan pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta.

Ketua PHDI Kabupaten Bulungan, Drg Ida Bagus Sida Raharja, mengatakan krama Bali yang berada di Kabupaten Bulungan kini mencapai 25 keluarga (KK) dengan sekitar 100 jiwa. Mereka dulunya merantau dan tinggal menetap di Bulungan karena pekerajaan. Tidak ada satu pun dari mereka merantau karena ikut program transmigrasi.

Pekerjaan krama Bali di Bulungan, kata IB Sida Raharja, sebagian besar adalah pemerintahan sebagai PNS, sebagian lagi anggota Polri/TNI. Dari 25 KK itu, hanya 10 KK yang tinggal di Kota Tanjung Selor. Mereka inilah yang kini aktif di Pura Agung Jagat Benuanta. IB Sida Raharja yang seorang dokter gigi juga bekerja sebagai PNS di Puskesmas Tanjung Selor.

“Jumlah kami ada sekitar 25 KK, mereka tersebar di beberapa kecamatan yang letaknya berjauhan. Karenanya, yang aktif di Pura Agung Jagat Benuanta hanya sekitar 10 KK,” ungkpa Sida Raharja kepada NusaBali. Nah, Pura Agung Jagat Benuanta inilah yang dijadikan sebagai pusat persembahyangan umat Hindu dan sekaligus tempat pertemuan rutin seminggu sekali krama Bali perantauan di Kabupaten Bulungan.

Pria asal Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Buleleng ini menuturkan, proses pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta, lebih banyak dibantu oleh Pemkab Bulungan. Lahan seluas 1,5 hektare untuk membangun pura dulunya merupakan lahan perbukitan yang dihibahkan melalui surat keputusan. Kemudian, Pemkab Bulungan membantu pembangunan fisik pura sebesar Rp 300 juta.

“Awalnya di tahun 2004 kami diberikan lahan. Waktu itu kami buat bangunan sakapat (4 tiang penyangga) untuk tempat bertemu sambil gotong royong pembersihan. Kemudian, kami mengajukan lagi proposal hingga dibantu pemerintah sebesar Rp 300 juta,” kenang Sida Raharja.

Menurut Sida Raharja, yang paling awal dibangun dalam pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta adalah Palinggih Padmasana. Bangunan suci tersebut dipesan langsung dari Bali, dengan bahan bias melila (pasir hitam). Namun, dalam perjalanan laut saat pengiriman dari Bali ke Kota Tanjung Selor, Padmasana berbahan bias melila ini justru patah berantakan dan tidak bisa dipasang.

Walhasil, proses pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta pun sempat mandek selama hampir setahun, karena hancurnya palinggih berbahan bias melila dalam pengiriman dari Bali. Akhirnya, dipilihlah pasir lokal sebagai bahan Palinggih Padmasana, yang dikerjakan langsung di Kota Tanjung Kelor. Pasir lokal dimaksud adalah pasir yang diambil dari pertemuan air laut dan air sungai. Warna pasirnya cendrung berwana krem.

”Tadinya mau buat palinggih dari bias melila. Tapi, karena bianyanya terlalu tinggi, kami datangkan saja tukangnya dari Bali, sementara bahan-bahan pasir lokal kami beli di sini (Kabupaten Bulungan, Red). Ternyata pasir lokal di sini bagus juga dipakai ukiran,” jelas Sida Raharja.

Setelah prosesnya berlangsung selama 13 tahun, pembangunan Pura Agung Jagat Benuanta akhirnya rampung pada 2017 lalu. Selain Padmasana, bangunan suci yang ada di Pura Agung Jagat Benuantra, antara lain, Palinggih Taksu, Palinggih Panglurah, dan Bale Piasan.

Sudah dibangun pula Kori Agung yang memisahkan Madya Mandala dan Utama mandala Pura Agung Jagat Benuantra. Rencananya, bangunan suci Gedong Simpen akan dibangun tahun 2018 ini. Sedangkan upacara Ngenteg Linggih sudah dilaksanakan tahun 2017 lalu. *k19

Komentar