Bom Surabaya Indikasi Melemahnya Terorisme
Yang lebih berbahaya adalah orang lokal yang tidak pernah injak kaki di Suria
JAKARTA, NusaBali
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menyampaikan, sejumlah aksi bom bunuh diri di Surabaya malah menunjukkan semakin melemahnya kelompok terorisme di Indonesia. "Kalau kita lihat, apa yang terjadi di Surabaya menurut saya harus dilihat bukan sebagai indikasi kekuatan ekstrimis, tapi juga indikasi kelemahan. Kalau kita lihat pola aksi di beberapa daerah lain itu, pada saat suatu kelompok sedang menurun. Jadi mereka mencari taktik spektakuler untuk muncul di tempat umum," tutur Sidney di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (22/5).
Khususnya, lanjut Sidney, adalah kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). "Kalau rekruitmen mulai menurun dan tidak aktif, maka pemimpinnya mencari spektakuler. Mungkin kita bisa melihat aksi ekstrimisme di Indonesia menjadi kelemahan," jelas dia.
Menurut Sidney, sejak awal kelahiran ISIS di Suriah sampai dengan 2016, tidak ada aksi teror di Indonesia yang signifikan. Hal itu lantaran semua energi militan yang ada di Tanah Air diarahkan untuk hijrah ke Suriah.
"Jadi lebih penting bergabung jihad di Timur Tengah dibanding di Indonesia. Sekarang hampir tidak ada yang mau hijrah karena hampir tidak ada lagi ISIS di Suriah. Itu berarti orang pro-ISIS di Indonesia tidak akan arahkan energi mereka ke luar negeri, tapi aksi-aksi di sini," beber Sidney seperti dilansir liputan6.
Bentuk kelemahan dengan aksi besar yang dilakukan teroris ini juga dimaksudkan agar kelompok ekstremis kecil lain ikut melakukan hal yang sama.
"Yang menarik adalah kelompok yang ikut serangan Mapolda Riau. Karena mereka bukan dari JAD. Dan ada kemungkinan mereka ikut main karena melihat di Surabaya. Di Indonesia ada semacam persaingan. Kalau melihat satu kelompok melakukan aksi, maka dia akan melakukan aksi yang lebih besar," Sidney menandaskan.
Sidney Jones mengatakan, ada tiga asumsi baik yang dipercaya oleh pemerintah maupun masyarakat perlu dikoreksi. Seperti pendapat bahwa masyarakat pro-ISIS yang bergabung ke Suriah dan kembali ke Indonesia, menjadi yang paling berbahaya dalam upaya terorisme.
"Yang lebih berbahaya adalah orang lokal yang tidak pernah injak kaki di Suriah tapi punya harapan, ilusi bahwa Daulah Islamiah terpenting. Kalau ada yang sudah gabung ISIS (di Suriah), melihat kemunafikan, korupsi diskriminasi, kesengsaraan. Namun yang tidak pernah berangkat dari Indonesia, merekalah yang punya semangat paling kuat," tutur Sidney.
Kemudian yang kedua adalah asumsi bahwa kekuatan ISIS akan menurun lantaran kekalahan yang dialami militannya di Suriah dan Irak. "Tapi saya kira mungkin Timur Tengah saat ini dianggap tidak relevan lagi. Mereka berpikir, mereka bisa berlanjut tanpa di Timur Tengah," jelas dia.
Yang ketiga adalah pemahaman bahwa target dari kelompok terorisme adalah orang asing yang ada di Indonesia. Sebab nyatanya, mereka beralih untuk melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian dan jemaat gereja.
"Dua target itu, satu gampang dan masih bisa menjadi semacam proxy untuk orang barat juga (jadi korban). Apalagi gereja," kata Sidney.
Menurut Sidney, aksi 212 yang pernah ramai tidak ada hubungannya dengan terorisme di Indonesia. Dua fenomena tersebut dinilai sangat berbeda dalam segi ideologi dan bahkan pemimpinnya pun punya sikap yang bertentangan. *
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones menyampaikan, sejumlah aksi bom bunuh diri di Surabaya malah menunjukkan semakin melemahnya kelompok terorisme di Indonesia. "Kalau kita lihat, apa yang terjadi di Surabaya menurut saya harus dilihat bukan sebagai indikasi kekuatan ekstrimis, tapi juga indikasi kelemahan. Kalau kita lihat pola aksi di beberapa daerah lain itu, pada saat suatu kelompok sedang menurun. Jadi mereka mencari taktik spektakuler untuk muncul di tempat umum," tutur Sidney di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (22/5).
Khususnya, lanjut Sidney, adalah kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). "Kalau rekruitmen mulai menurun dan tidak aktif, maka pemimpinnya mencari spektakuler. Mungkin kita bisa melihat aksi ekstrimisme di Indonesia menjadi kelemahan," jelas dia.
Menurut Sidney, sejak awal kelahiran ISIS di Suriah sampai dengan 2016, tidak ada aksi teror di Indonesia yang signifikan. Hal itu lantaran semua energi militan yang ada di Tanah Air diarahkan untuk hijrah ke Suriah.
"Jadi lebih penting bergabung jihad di Timur Tengah dibanding di Indonesia. Sekarang hampir tidak ada yang mau hijrah karena hampir tidak ada lagi ISIS di Suriah. Itu berarti orang pro-ISIS di Indonesia tidak akan arahkan energi mereka ke luar negeri, tapi aksi-aksi di sini," beber Sidney seperti dilansir liputan6.
Bentuk kelemahan dengan aksi besar yang dilakukan teroris ini juga dimaksudkan agar kelompok ekstremis kecil lain ikut melakukan hal yang sama.
"Yang menarik adalah kelompok yang ikut serangan Mapolda Riau. Karena mereka bukan dari JAD. Dan ada kemungkinan mereka ikut main karena melihat di Surabaya. Di Indonesia ada semacam persaingan. Kalau melihat satu kelompok melakukan aksi, maka dia akan melakukan aksi yang lebih besar," Sidney menandaskan.
Sidney Jones mengatakan, ada tiga asumsi baik yang dipercaya oleh pemerintah maupun masyarakat perlu dikoreksi. Seperti pendapat bahwa masyarakat pro-ISIS yang bergabung ke Suriah dan kembali ke Indonesia, menjadi yang paling berbahaya dalam upaya terorisme.
"Yang lebih berbahaya adalah orang lokal yang tidak pernah injak kaki di Suriah tapi punya harapan, ilusi bahwa Daulah Islamiah terpenting. Kalau ada yang sudah gabung ISIS (di Suriah), melihat kemunafikan, korupsi diskriminasi, kesengsaraan. Namun yang tidak pernah berangkat dari Indonesia, merekalah yang punya semangat paling kuat," tutur Sidney.
Kemudian yang kedua adalah asumsi bahwa kekuatan ISIS akan menurun lantaran kekalahan yang dialami militannya di Suriah dan Irak. "Tapi saya kira mungkin Timur Tengah saat ini dianggap tidak relevan lagi. Mereka berpikir, mereka bisa berlanjut tanpa di Timur Tengah," jelas dia.
Yang ketiga adalah pemahaman bahwa target dari kelompok terorisme adalah orang asing yang ada di Indonesia. Sebab nyatanya, mereka beralih untuk melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian dan jemaat gereja.
"Dua target itu, satu gampang dan masih bisa menjadi semacam proxy untuk orang barat juga (jadi korban). Apalagi gereja," kata Sidney.
Menurut Sidney, aksi 212 yang pernah ramai tidak ada hubungannya dengan terorisme di Indonesia. Dua fenomena tersebut dinilai sangat berbeda dalam segi ideologi dan bahkan pemimpinnya pun punya sikap yang bertentangan. *
1
Komentar