Gadis asal Inggris Bakal Tempuh Jarak 110 Km
Prihatin dan peduli dengan kondisi orang-orang terpasung di Indonesia, seorang gadis asal London, Inggris, Henny Gordon, akan berlari melintasi Bali menempuh jarak 110 kilometer.
Dalam Rangka Peduli Pasung di Indonesia
DENPASAR, NusaBali
Aksi ini untuk menghimbau kepedulian terhadap para penderita gangguan jiwa, khususnya yang mengalami pemasungan. Aksi tersebut bertajuk 'Run Accros Bali for Mental Health'. Adapun aktivitas lari yang dilakukannya akan mengambil start di Kintamani pada 1 Juni 2018 hingga ke Ubud menempuh jarak 40 km. Pada hari kedua, dia akan berlari dari Ubud hingga Pantai Double Six di Kuta menempuh jarak 40 km. Etape terakhir pada 3 Juni 2018 akan menempuh jarak 30 Km dari Kuta hingga Pantai Nyang-Nyang, Jimbaran. Pada hari H nanti, sejumlah klub lari di Bali akan ikut menemaninya berlari secara bergantian.
Henny Gordon mengatakan, pada setiap pemberhentian akan ada acara amal. Selain itu, bagi yang tertarik untuk menyumbang dapat melihat rekening di akun facebooknya. “Saya mencintai lari dan melalui olahraga ini ingin saya tunjukkan semua orang bisa melakukan sesuatu untuk membantu mengatasi masalah ini asalkan dia peduli," ujarnya dalam jumpa pers di Denpasar, Rabu (23/5).
Henny bercerita bahwa dia shock berat ketika pertama kali datang ke Indonesia dan menjadi volunter (guru Bahasa Inggris) di Bajawa, Nusa Tenggara Timur sekitar 6 tahun lalu. Dia shock, karena saat itu dia menemukan dua orang yang dipasung di sebuah kampung dalam keadaan yang menyedihkan. Tak hanya itu, warga kampung juga mengajaknya untuk masuk ke dalam hutan. Di sana terdapat sebuah rumah bambu yang digunakan untuk melakukan pemasungan terhadap lima orang lagi.
“Ketika ditanyakan kepada keluarga dan para tetangga, ternyata 2 orang yang mengalami gangguan jiwa itu dianggap mengalami kerasukan roh jahat, sehingga dipasung. Saya merasa ini tak selayaknya dilakukan. Kalau di negara saya, orang dengan gangguan jiwa dibiayai oleh negara sampai dia sembuh,” ceritanya.
Singkat cerita, saat dia pindah kerja ke Bali, Henny kemudian menghubungi Suryani Institute for Mental Health (SIMH) untuk mengajak bekerjasama guna menyuarakan kepedulian terhadap pemasungan itu yang ternyata juga masih ada di Bali. Tercetuslah kegiatan 'Run Accros Bali for Mental Health' ini. Sebagai persiapan, Henny kini setiap harinya berlatih lari minimal 10 kilometer.
Sementara Direktur SIMH, Prof LK Suryani tidak serta merta langsung memberikan dukungan terhadap kegiatan ini. Prof Suryani mengaku sempat mempertimbangkannya cukup lama. “Saya tidak langsung menerima, tapi kita lihat dulu apakah benar-benar tulus atau hanya untuk popularitas saja,” ungkap Prof Suryani.
Terkait masalah pemasungan di Bali, ungkap Prof Suryani, nyatanya belum selesai sepenuhnya. Pada tahun 2006, SIMH menemukan data bahwa jumlah orang dengan gangguan jiwa di Bali mencapai 7.000 orang dimana 300 orang diantaranya berada dalam pasungan. Setelah melakukan kegiatan penanganan di lapangan, pihaknya memprediksi pada 2009, jumlahnya sekitar 9.000 orang dan 600 orang berada dalam kondisi terpasung.
Masalah pemasungan masih sangat membutuhkan perhatian pemerintah dan masyarakat. Selama ini pihaknya mengembangkan pendekatan berbasis komunitas dengan melibatkan keluarga dan masyarakat. Namun pendekatan ini bertetangan dengan kebijakan pemerintah yang mengandalkan pengobatan di rumah sakit. *ind
DENPASAR, NusaBali
Aksi ini untuk menghimbau kepedulian terhadap para penderita gangguan jiwa, khususnya yang mengalami pemasungan. Aksi tersebut bertajuk 'Run Accros Bali for Mental Health'. Adapun aktivitas lari yang dilakukannya akan mengambil start di Kintamani pada 1 Juni 2018 hingga ke Ubud menempuh jarak 40 km. Pada hari kedua, dia akan berlari dari Ubud hingga Pantai Double Six di Kuta menempuh jarak 40 km. Etape terakhir pada 3 Juni 2018 akan menempuh jarak 30 Km dari Kuta hingga Pantai Nyang-Nyang, Jimbaran. Pada hari H nanti, sejumlah klub lari di Bali akan ikut menemaninya berlari secara bergantian.
Henny Gordon mengatakan, pada setiap pemberhentian akan ada acara amal. Selain itu, bagi yang tertarik untuk menyumbang dapat melihat rekening di akun facebooknya. “Saya mencintai lari dan melalui olahraga ini ingin saya tunjukkan semua orang bisa melakukan sesuatu untuk membantu mengatasi masalah ini asalkan dia peduli," ujarnya dalam jumpa pers di Denpasar, Rabu (23/5).
Henny bercerita bahwa dia shock berat ketika pertama kali datang ke Indonesia dan menjadi volunter (guru Bahasa Inggris) di Bajawa, Nusa Tenggara Timur sekitar 6 tahun lalu. Dia shock, karena saat itu dia menemukan dua orang yang dipasung di sebuah kampung dalam keadaan yang menyedihkan. Tak hanya itu, warga kampung juga mengajaknya untuk masuk ke dalam hutan. Di sana terdapat sebuah rumah bambu yang digunakan untuk melakukan pemasungan terhadap lima orang lagi.
“Ketika ditanyakan kepada keluarga dan para tetangga, ternyata 2 orang yang mengalami gangguan jiwa itu dianggap mengalami kerasukan roh jahat, sehingga dipasung. Saya merasa ini tak selayaknya dilakukan. Kalau di negara saya, orang dengan gangguan jiwa dibiayai oleh negara sampai dia sembuh,” ceritanya.
Singkat cerita, saat dia pindah kerja ke Bali, Henny kemudian menghubungi Suryani Institute for Mental Health (SIMH) untuk mengajak bekerjasama guna menyuarakan kepedulian terhadap pemasungan itu yang ternyata juga masih ada di Bali. Tercetuslah kegiatan 'Run Accros Bali for Mental Health' ini. Sebagai persiapan, Henny kini setiap harinya berlatih lari minimal 10 kilometer.
Sementara Direktur SIMH, Prof LK Suryani tidak serta merta langsung memberikan dukungan terhadap kegiatan ini. Prof Suryani mengaku sempat mempertimbangkannya cukup lama. “Saya tidak langsung menerima, tapi kita lihat dulu apakah benar-benar tulus atau hanya untuk popularitas saja,” ungkap Prof Suryani.
Terkait masalah pemasungan di Bali, ungkap Prof Suryani, nyatanya belum selesai sepenuhnya. Pada tahun 2006, SIMH menemukan data bahwa jumlah orang dengan gangguan jiwa di Bali mencapai 7.000 orang dimana 300 orang diantaranya berada dalam pasungan. Setelah melakukan kegiatan penanganan di lapangan, pihaknya memprediksi pada 2009, jumlahnya sekitar 9.000 orang dan 600 orang berada dalam kondisi terpasung.
Masalah pemasungan masih sangat membutuhkan perhatian pemerintah dan masyarakat. Selama ini pihaknya mengembangkan pendekatan berbasis komunitas dengan melibatkan keluarga dan masyarakat. Namun pendekatan ini bertetangan dengan kebijakan pemerintah yang mengandalkan pengobatan di rumah sakit. *ind
1
Komentar