nusabali

Sehari Pasca Pensiun, Langsung Diangkat Lagi Jadi Dosen Non PNS

  • www.nusabali.com-sehari-pasca-pensiun-langsung-diangkat-lagi-jadi-dosen-non-pns

Prof Dr I Wayan Dibia SST MA pensiun per 1 Mei 2018 lalu. Namun, sehari kemudian, akademisi-seniman asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini langsung diangkat kembali menjadi dosen non PNS di ISI Denpasar

Prof Dr I Wayan Dibia SST MA Purnabakti Setelah 44 Tahun Mengabdi di ISI Denpasar

DENPASAR, NusaBali
Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Prof Dr I Wayan Dibia SST MA, 70, memasuki masa purnabakti (pensiun) per tanggal 1 Mei 2018 lalu. Akademisi dan seniman yang produktif mencipta dan menginovasi karya ini pensiun setelah selama 44 tahun mengabdi di ISI Denpasar. Kendati sudah pensiun, namun Prof Wayan Dibia kembali diangkat pihak ISI Denpasar untuk menjadi dosen non PNS.

Prof Wayan Dibia sudah diangkat kembali menjadi dosen non PNS per 2 Mei 2018 lalu atau hanya berselang sehari pasca pensiun. Akademisi-seniman kelahiran Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, 12 April 1948 ini akan mengabdi terus sebagai dosen non PNS di ISI Denpasar selama 9 tahun ke depan.

“Tanggal 1 Mei 2018 Prof Dibia purnabakti, tapi keesokan harinya sudah kami angkat kembali menjadi dosen non PNS di ISI Denpasar. Sebab, tenaga dan pikiran Prof Dibia masih sangat dibutuhkan. Ada kewenangan Rektor untuk mengangkat kembali Prof Dibia menjadi dosen non PNS,” ungkap Rektor ISI Denpasar, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha SSKar Mhum, saat acara pelepasan purnabakti Prof Dibia di Panggung Terbuka Nertya Mandala, Kampus ISI Denpasar, Minggu (6/5) malam lalu.

Pengabdian Prof Dibia di ISI Denpasar terbilang panjang. Akademisi-semiman asal Banjar Sengguan, Desa Singapadu adalah salah satu saksi sejarah bagaimana wajah ASTI Denpasar berubah menjadi STSI Denpasar, hingga menjelman menjadi ISI Denpasar. Prof Dibia sudah memegang jabatan penting di ISI Denpasar yang kala itu masih bernama ASTI Denpasar sejak tahun 1975.

Jabatan Prof Dibia dimulai dari jabatan sebagai Kepala Bidang Akademik ASTI Denpasar (1975), lalu Pembantu Kelas I (Bidang Akademik) STSI Denpasar (1984). Setelah itu, Prof Dibia dipercaya menjadi Kepala UPT Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STSI Denpasar (1992). Selanjutnya, Prof Dibia kembali menjadi Pembantu Ketua I (Bidang Akademik) STSI Denpasar hingga (1992-1997).

Puncaknya, Prof Dibia dipercaya menjadi Ketua STSI Denpasar (1997-2001). Kemudian, Prof Dibia sempat menjadi Ketua Penjaminan Mutu ISI Denpasar selama setahun (2008-2009). Hingga akhir pengabdiannya, Prof Dibia masih mengemban tugas sebagai Ketua Program Studi Seni, Program Doktor, Pascasarjana ISI Denpasar (2017-2018).

“Awal saya mengabdi itu menjadi asisten dosen. Saya bersyukur bisa menjalani pengabdian ini dengan penuh sukacita. Apalagi, saya bisa mengakhiri tugas ini dengan cukup baik,” tutur Prof Dibia, yang menempuh pendidikan sarjana muda di ASTI Denpasar dan sarjana S1 di ASTI Jogjakarta.

Prof Dibia tidak saja memegang peranan penting dalam jabatan struktural di ISI Denpasar. Sebagai seniman sejati, Prof Dibia sapanjang hayatnya terus menjajal jagat seni khususnya seni pertunjukkan. Anak dari pasangan I Wayan Geria dan Ni Nyoman Rindi ini sudah menghasilkan ratusan karya, baik itu karya cipta maupun inovasi.

Pada periode 1971-1980, Prof Dibia menjajal seni Prembon sampai Wayang Wong kreasi baru. Dalam periode tersebut, sebagai tercatat dalam buku biografinya, ada 46 karya yang berhasil dia ciptakan. Kala itu, karya-karyanya masih kental dengan warna budaya tradisional Bali.

Sedangkan pada periode 1980-1990, karya-karya suami dari Dr Ni Made Wiratini SST MA ini mulai dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya asing, terutama seni tari, musik, dan teater. Periode ini adalah masa di mana Prof Dibia mulai menciptakan berbnagai tari kreasi, mulai Tari Manukrawa hingga Body Cak. Dalam periode ini, sesuai catatan otobiografinya, Prof Dibia menghasilkan 38 karya seni.

Sementara pada periode 1991-2000, Prof Dibia menghasilkan 41 karya seni. Karya-karyanya dalam periode ini didominasi oleh kekebyaran khususnya Sendratari. Garapan Prof Dibia mulai dari Sendratari Jayaprana-Layonsari hingga Kawit Legong.

Sebaliknya, dalam periode 2001-2010, hasil kreativitas Prof Dibia mencapai 33 karya seni, mulai dari Legong, Kekebyaran, hingga Topeng. Kala itu, Prof Dibia menggagas Sendratari Adipati Awangga dan Kekebyaran Bajra Dwijendra.

Jiwa seni Prof Dibia memang tidak pernah padam. Bahkan, pada periode 2011 hingga sekarang (periode kelima), Prof Dibia masih juga menghasilkan puluhan karya seni, baik seni tradisi, kreasi baru, maupun kontemporer. Yang diciptakan mulai dari Teater Tari Bali Dwipayana hingga Pralaya. Selain menciptakan karya seni, Prof Dibia juga sering menulis tentang seni, bahkan mengkritisi seni.

“Saya menyampaikan permintaan maaf, karena tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Semestinya bisa lebih banyak saya sumbangkan tenaga dan pemikiran saya,” ujar Prof Dibia, seniman yang genap berusia 70 tahun pada 12 April 2018 lalu.

Sebagai seorang dosen, Prof Dibia mengaku tegas dalam mendidik mahasiswa. “Kepada para mantan mahasiswa, saya sering keras dalam proses pendidikan. Itu semata-mata bukan melakukan kekerasan, tapi agar mereka bisa jauh lebih baik dari saya. Keinginan saya menularkan sesuatu yang bermanfaat bagi lembaga, generasi muda, dan masyarakat,” tandas Prof Dibia. *ind

Komentar