Buleleng Tampilkan Drama Gong Inovatif
Cerita Kekinian Tinggalkan Kisah Zaman Kerajaan
SINGARAJA, NusaBali
Drama Gong Sanggar Seni Nong Nong Kling, Kelurahan Banyuning Buleleng, kembali mewakili Buleleng dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40. Penampilan 17 pemain drama gong tersebut akan membawakan sebuah kisah berjudul ‘Luh Jalir’ yang diadopsi dari salah satu cerpen berbahasa Bali. Lakon drama gong tersebut pada Kamis (24/5) sore kemarin juga menjalani pembinaan dari tim pembina Provinsi Bali di antarnya Komang Sri Marhaeni, I Wayan Puja dan Dewa Putu Tegeg.
Cerita Luh Jalir itu menceritakan seorang petinggi di desa yang memiliki tiga orang istri. Karena keangkuhannya ia pun akhirnya menceraikan dan mengusir istri-istrinya. Hingga pada pembabakan terakhir mereka terlibat soal pertemuan seorang ayah dengan anaknya yang selama ini ia sia-siakan.
Korodinator tim pembina, Komang Sri Marhaeni seniman drama gong dan teater asal Buleleng ini mengatakan sejauh ini penampilan masing-masing pemain sudah maksimal. Apalagi dilakoni oleh sebagian besar anak muda sebagai bukti kaderisasi. Hanya saja memang ada hal tertentu yang harus dipoles kembali antara alur cerita dan judul yang dinilai masih kurang pas. Selain juga pemilihan kata yang tepat dalam dialog.
“Secara umum sudah bagus, akting, mimik sudah bagus. Pemilihan cerita yang sesuai dengan kehidupan saat ini juga saya sangat setuju, karena drama gong untuk bisa lestari harus diinovasikan sedikit sesuai dengan kehidupan saat ini, jadi tidak melulu soal kerajaan dengan tatanan bahasanya untuk ukuran anak saat ini susah dimengerti dan dicerna,” kata dia.
Pihaknya pun menegaskan drama gong sebagai seni tradisional harus dimodernkan tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk dapat menjadi tontonan dan tuntunan harus ditampilkan menarik, salah satunya dengan mengangkat cerita dan kisah kekinian. Hal tersebut pun menurutnya harus menjadi pemikiran, karena sasaran drama gong untuk pelestarian budaya dan ngajegang bahasa Bali adalah anak-anak dan remaja. Jadi soal pakem kerajaan yang ceritanya cenderung monoton serta lawakan porno sudah tidak relevan lagi saat ini.
Sementara itu Ketua Sanggar Seni Nong Nong Kling, Nyoman Suardika alias mang Epo mengatakan sejauh ini pihaknya akan menyempurnakan lakon sesuai dengan saran tim pembina. “Kami akan benahi beberapa, karena terus terang persiapannya baru 4 minggu setelah sanggar sebelumnya mengundurkan diri, jadi kami kejar tayang terus,” ungkap dia. Termasuk mempertimbangkan penggantian judul cerita yang dibawakan agar sesuai dengan jalan cerita yang dibawakan. *k23
Drama Gong Sanggar Seni Nong Nong Kling, Kelurahan Banyuning Buleleng, kembali mewakili Buleleng dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40. Penampilan 17 pemain drama gong tersebut akan membawakan sebuah kisah berjudul ‘Luh Jalir’ yang diadopsi dari salah satu cerpen berbahasa Bali. Lakon drama gong tersebut pada Kamis (24/5) sore kemarin juga menjalani pembinaan dari tim pembina Provinsi Bali di antarnya Komang Sri Marhaeni, I Wayan Puja dan Dewa Putu Tegeg.
Cerita Luh Jalir itu menceritakan seorang petinggi di desa yang memiliki tiga orang istri. Karena keangkuhannya ia pun akhirnya menceraikan dan mengusir istri-istrinya. Hingga pada pembabakan terakhir mereka terlibat soal pertemuan seorang ayah dengan anaknya yang selama ini ia sia-siakan.
Korodinator tim pembina, Komang Sri Marhaeni seniman drama gong dan teater asal Buleleng ini mengatakan sejauh ini penampilan masing-masing pemain sudah maksimal. Apalagi dilakoni oleh sebagian besar anak muda sebagai bukti kaderisasi. Hanya saja memang ada hal tertentu yang harus dipoles kembali antara alur cerita dan judul yang dinilai masih kurang pas. Selain juga pemilihan kata yang tepat dalam dialog.
“Secara umum sudah bagus, akting, mimik sudah bagus. Pemilihan cerita yang sesuai dengan kehidupan saat ini juga saya sangat setuju, karena drama gong untuk bisa lestari harus diinovasikan sedikit sesuai dengan kehidupan saat ini, jadi tidak melulu soal kerajaan dengan tatanan bahasanya untuk ukuran anak saat ini susah dimengerti dan dicerna,” kata dia.
Pihaknya pun menegaskan drama gong sebagai seni tradisional harus dimodernkan tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk dapat menjadi tontonan dan tuntunan harus ditampilkan menarik, salah satunya dengan mengangkat cerita dan kisah kekinian. Hal tersebut pun menurutnya harus menjadi pemikiran, karena sasaran drama gong untuk pelestarian budaya dan ngajegang bahasa Bali adalah anak-anak dan remaja. Jadi soal pakem kerajaan yang ceritanya cenderung monoton serta lawakan porno sudah tidak relevan lagi saat ini.
Sementara itu Ketua Sanggar Seni Nong Nong Kling, Nyoman Suardika alias mang Epo mengatakan sejauh ini pihaknya akan menyempurnakan lakon sesuai dengan saran tim pembina. “Kami akan benahi beberapa, karena terus terang persiapannya baru 4 minggu setelah sanggar sebelumnya mengundurkan diri, jadi kami kejar tayang terus,” ungkap dia. Termasuk mempertimbangkan penggantian judul cerita yang dibawakan agar sesuai dengan jalan cerita yang dibawakan. *k23
Komentar