Digelar Tiap Hari Raya Kuningan Atas Dasar Pawisik
Digelar saat Kuningan, karena dahulu kala sebelum menyerang (Kerajaan Blambangan) bala tentara dan raja (Kerajaan Mengwi) melakukan semedi, bertepatan saat Kuningan.
Krama Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung, Kembali Gelar Tradisi Makotek
MANGUPURA, NusaBali
Krama Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, kembali melaksanakan tradisi ngerebek makotek atau makotekan, bertepatan Hari Raya Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (9/6). Tradisi untuk mengenang peristiwa kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan pada zaman dahulu kala tersebut diikuti sebanyak 1.113 kepala keluarga (KK) dari 12 banjar.
Tradisi makotek adalah tradisi ‘perang kayu’. Disebut makotek karena mengikuti bunyi kayu-kayu yang saling berbenturan ketika kayu-kayu sebagai simbol tombak, tersebut disatukan menjadi bentuk gunungan. Tidak hanya satu melainkan dua gunungan bahkan bisa lebih. Nah, setelah itu satu sama lain saling beradu. Bahkan tak jarang gunungan kayu pulet itu dinaiki teruna (pemuda) setempat.
Konon pernah suatu ketika krama Desa Adat Munggu tak menyelenggarakan tradisi ini karena dilarang pemerintah kolonial Belanda—pada masa penjajahan dulu. Akibatnya, saat itu muncul penyakit sukar disembuhkan yang menimpa warga, sampai kemudian tradisi ini dihidupkan lagi dan penyakit dimaksud hilang dengan sendirinya.
Tak jauh berbeda dengan gelaran makotekan sebelumnya, tradisi ini pada Sabtu kemarin dilangsungkan dimulai sekitar pukul 13.00 Wita. Diawali dengan melakukan persembahyangan bersama di Pura Desa setempat. Setelah persembahyangan di pura, kemudian krama mengelilingi desa dengan membawa tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan) berikut pusaka tamiang kolem atau tameng yang terbuat dari perunggu yang dipakai untuk berperang.
Sementara krama lainnya membawa serta kayu pulet sepanjang sekitar 3 meter. Kayu pulet tersebut dimaksudkan sebagai pengganti tombak yang dulu digunakan pasukan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan. “Jadi istilahnya ini menghormati para pahlawan,” kata Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana, Sabtu kemarin.
“Dulunya tombak yang dipakai untuk memperingati tradisi ini. Namun, karena pada zaman penjajahan sempat dilarang oleh Belanda, dikira warga akan melakukan perlawanan. Makanya kemudian diganti tombak dengan kayu pulet,” tuturnya.
Kendati seluruh krama dari 12 banjar, yakni, Pemaron Baleran, Pemaron Delodan, Badung, Pengayehan, Kerobokan, Pasekan, Pandean, Sedahan, Pempetan, Kebayan, dan Dukuh Celuk, terlibat dalam tradisi makotek, namun hanya kaum laki-laki saja yang melaksanakan ‘perang kayu’. Sementara kaum perempuan menyaksikan dari pinggir. Hal itu karena dulunya hanya kaum pria yang berperang di medan laga.
“Memang semua krama ikut. Tapi laki-laki bawa kayu pulet, sedangkan yang perempuan mengiringi saja, karena kan tradisi ini mengarak pusaka tamiang kolem juga,” kata Sujana.
Disinggung apakah warga luar bisa ikut tradisi ini, Sujana menyatakan tak masalah sepanjang sekeyakinan. “Para prinsipnya siapa pun boleh ikut. Karena sekali lagi saya sampaikan bahwa tradisi ini untuk menghormati para pahlawan,” tandasnya.
Penyelenggaraan tradisi makotek, lanjut Sujana, sudah berdasarkan pawisik. Dari pawisik itu pula kenapa kemudian tradisi makotek diselenggarakan hanya pada saat Hari Raya Kuningan. “Kenapa pada Hari Raya Kuningan, karena sebelum menyerang (Kerajaan Blambangan) bala tentara dan raja (Kerajaan Mengwi) saat itu melakukan semedi, kebetulan saat itu bertepatan dengan Kuningan. Sehingga pada saat Hari Raya Kuningan selalu digelar tradisi makotek ini,” ungkapnya.
Sujana menambahkan, tradisi makotek akan terus dilestarikan sampai kapan pun. Masyarakat meyakini akan terjadi musibah bila tidak melaksanakan tradisi ini. “Di sampingi itu juga, masyarakat percaya tradisi makotek juga bermakna mempererat hubungan antarsesama warga khususnya di Desa Adat Munggu. Tradisi ini juga untuk menolak bala,” tandasnya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya tradisi makotek selalu menyedot perhatian para wisatawan. Tidak saja wisatawan domestik, tapi juga wisatawan manca negara datang untuk menyaksikan tradisi yang berlangsung tiap enam bulan (210 hari) sekali berdasar kalender Bali atau pada saat Hari Raya Kuningan.
Tepat pada September 2016, tradisi makotek masuk sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bersama tradisi Gebug Ende dari Desa Seraya, Karangasem, dan tradisi Ter-Teran (Perang Api) dari Desa Jasri, Karangasem.
“Kami bersyukur ngerebeg (makotek) ditetapkan sebagai warisan budaya nasional. Harapan kami tidak saja di Munggu tapi di tempat lain, karena banyak sekali tradisi di Bali ini yang perlu dapat pengesahan. Sehingga, tidak ada orang lain yang mengklaim apa yang ada di masing-masing daerah,” ujar Sujana. 7 asa
Komentar