Orang Bali, Lemak dan Gula
Menapaki usia 56 tahun, lelaki asal Tabanan itu mengidap diabetes mellitus. Ia tak percaya dan tidak rela menerima kenyataan didera penyakit itu. Kepada banyak kawan ia selalu berujar, bahwa ia sehat-sehat saja.
“Tapi, kamu kan kurus,” ujar rekan-rekannya sesama guru sekolah dasar. “Coba ngaca, wajahmu pucat. Periksalah ke dokter.”
Ia tetap bersiteguh ia sehat, sampai suatu malam tubuhnya menggigil, kakinya kaku, ia ke rumah sakit. Gula darahnya 400, kalau normal mestinya 120 atau kurang. Gula darah selama tiga bulan terakhir (HbA1c) berada di angka 13, kalau normal mestinya di bawah 5,5. Sejak itu ia harus diet ketat melaksanakan 3J: makan dengan jumlah, jam, dan jenis yang teratur dan terpola.
Dokter menyarankan agar ia berolahraga setidaknya setengah jam sehari. Juga harus minum obat teratur, injeksi insulin, untuk menurunkan dan menjaga kadar gula darah. Laki-laki itu jadi lunglai, tubuhnya lesu, tak ada gairah dalam hidup. Kepada rekannya ia berujar lirih, “Serasa hidupku sudah berakhir.”
Si rekan tersenyum. “Banyak yang penyakitnya lebih parah dari kamu,” hibur si rekan. “Penderita diabetes harus bahagia, bebas diri dari stres dan segala tetek bengek pikiran ruwet. Mesti hepi.”
“O iya iya, dokter juga menyarankan begitu. Tapi, tidak gampang menikmati bahagia kalau kita lagi sakit,” sahut lelaki itu.
“Harus bisa, karena bahagia itu obat paling mujarab.”
Lelaki itu kini menelisik kembali hari-hari yang sudah ia lalui. Dan bertanya-tanya, apakah ia bahagia. Ia mengaku sangat bahagia kalau mengajar. Meski gaji tidak besar, ia menikmati apa yang ia peroleh. “Aku selama ini bahagia,” ujarnya kepada rekan. “Aku menikmati hidupku. Pasti ada yang salah dalam kenikmatan itu.”
“Kesalahannya mungkin asupan gula, karbohidrat, yang masuk ke tubuhmu.”
Lelaki itu mengingat-ingat, orang-orang Bali itu makan banyak lemak, karena mereka doyan menyantap daging babi, suka sekali makan lawar. Orang Bali selalu bahagia kalau menyantap be genyol, lemak babi dimasak berkuah pekat dengan bumbu lengkap (basa genep, bumbu rajang). Tapi, sambil makan mereka saling mengingatkan, “Awas kolesterol!” Sudah tahu makanan tidak sehat, namun mereka menyantapnya terus, sembari berbincang-bincang dan tertawa-tawa. Banyak komunitas pemburu masakan khas Bali tumbuh belakangan ini. Mereka berbagi informasi, di mana ada tempat makan enak.
Ketika menyantap banyak lemak, orang Bali tidak menyadari mereka juga menyantap karbohidrat (gula) dalam jumlah besar. Usai menyantap nasi genyol plus babi guling, mereka minum cola atau minuman bersoda, minuman kaleng yang kandungan gulanya tinggi. Sampai di rumah, mereka menyantap roti yang dibeli di swalayan. Makanan berbahan tepung itu menggunakan gula super, biang gula, yang kandungan karbohidratnya pun super tinggi.
Selama ini yang selalu diawasi dan diingatkan adalah tentang bahaya lemak masuk ke dalam tubuh. Orang-orang gendut sering diolok-olok karena kebanyakan makan lemak. Hampir tidak pernah mereka dituding gemuk, obesitas, karena kelebihan makan karbohidrat (gula). Orang-orang pun menghindari makan lemak, namun tanpa disadari tetap makan banyak gula. Tak keliru jika banyak muncul pendapat, tubuh orang Bali dulu ramping, singset, sekarang banyak yang gendut.
Di Bali, industri kuliner tumbuh pesat, karena pariwisata berbiak cepat. Banyak orang Bali yang kini hidup makmur, punya pendapatan besar, sehingga mereka menikmati kuliner dengan penuh suka cita. Banyak makanan, penganan, minuman waralaba hadir di pulau ini. Maka orang Bali pun tetap menikmati masakan tradisional seperti babi guling, lawar, dan be genyol yang kaya lemak; juga menyantap makanan modern, masakan Eropa, penganan Amerika, yang karbohidratnya tinggi. Banyak yang kemudian menabung lemak dan gula dalam tubuh mereka.
Lalu, apakah orang Bali suka yang manis-manis, doyan gula? Kebanyakan orang suka manis, sedikit yang senang tawar (plain). Konsumsi gula juga meningkat dari tahun ke tahun. Toko-toko roti tumbuh dan berkembang. Orang-orang antre di swalayan dan pusat perbelanjaan membeli roti-roti enak dan sangat manis buat oleh-oleh.
Tapi, jika ada yang menjejali tubuh dengan lemak dan gula bersamaan, boleh jadi mereka lah orang Bali. Itu mungkin sebabnya, kita mudah menjumpai orang gendut di jalan, susah menemukan orang ramping. 7
Komentar