nusabali

Bermakna Lindungi Tanaman Padi dari Serangan Hama-Penyakit

  • www.nusabali.com-bermakna-lindungi-tanaman-padi-dari-serangan-hama-penyakit

Dua krama lanang yang ngayah nyunggi Sang Hyang Sampat sempat kerauhan ketika ritual keliling Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk Puluk. Mereka baru sadar setelah sampai di Pura Bedugul, Subak Puakan

Krama Desa Pakraman Puluk Puluk, Kecamatan Penebel Gelar Tradisi Ritual Sang Hyang Sampat

TABANAN, NusaBali
Krama Subak Puakan, Desa Pakraman Puluk Puluk, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Tabanan menggelar tradisi ritual Sang Hyang Sampat pada Soma Paing Langkir, Senin (11/6) sore. Ritual yang digelar setahun sekali sebagai rentetan upacara ngusaba (jelang panen padi) ini merupakan bagian dari prosesi nangkluk merana, yang bermakna untuk melindungi tanaman agar tidak diserang hama dan penyakit.

Ritual Sang Hyang Sampat berupa prosesi nyunggi Sang Hyang Sampat mengelilingi tanaman padi di Subak Puakan, yang diawali dengan mengeliling Pura Bale Agung, Desa Pakraman Puluk Puluk yang berjarak sekitar 300 meter di sebelah timur. Penyunggi Sang Hyang Sampat hanya dua orang, namun diiringi seluruh krama subak.

Sang Hyang Sampat yang disunggi dalam ritual ini terdiri dari Sang Hyang Sampat Istri (kaum perempuan) dan Sang Hyang Sampat Lanang (laki-laki). Sang Hyang Sampat Istri berpakian putih kuning, sementara Sang Hyang Sampat Lanang berpakian poleng dan kuning yang yang dihiasi bunga gumitir, cempaka, dan berisi lonceng. Sang Hyang Sampat terbuat dari lidi ron (dan pohon enau) dan lidi nyuh gading (daun kelapa), dengan jumlah lidi berbeda-beda. Untuk Sang Hyang Sampat Istri berjumlah 108 katih, sedangkan Sang Hyang Sampat Lanang berjumlah 118 katih.

Pantauan NusaBali, sebelum Sang Hyang Sampat diarak mengelilingi areal subak, seluruh krama subak lebih dulu melakukan upacara byakaonan (pembersihan) di Pura Bale Agung Desa Pakraman Puluk Puluk, Senin sore pukul 15.00 Wita. Krama yang terpilih sebagai penyunggi Sang Hyang Sampat juga ikut melakukan prosesi upacara byakaonan. Berlangsung sekitar 1 jam, upacara byakaonan tersebut dipimpin oleh lima pamangku yang ada di Desa Pakraman Puluk Puluk, yakni Pamangku Desa, Pamangku Dalem, Pama-ngku Puseh, Pamangku Rajapati, dan Pamangku Tapakan.

Setelah upacara byakaonan disertai ritual mengelilingi Pura Bale Agung selesai, pekaseh (kelian subak) dan pamangku memanggil krama yang hendak ngayah nyunggi Sang Hyang Sampat. Siapa saja boleh nyunggi Sang Hyang Sampat, tergantung niat. Akhirnya, dua krama lanang tampil untuk ngayah nyunggi Sang Hyang Sampat.

Terjadilah peristiwa berbau magis. Sebelum menuju arah timur untuk ritual mengelilingi areal subak, Sang Hyang Sampat bergerak tak terkendali. Gerakannya tak bisa ditahan oleh krama penyunggi. Walhasil, krama penyunggi bergerak mengikuti ke mana Sang Hyang Sampat berlari. Ketika masih mengelilingi Pura Bale Agung, penyungi Sang Hyang Sampat kerauhan (kesurupan).

Kemudian, penyunggi Sang Hyang Sampat berlari sangat kencang menuju jaba Pura Bale Agung dan Pura Bedugul di Subak Puakan. Saat itu pula, krama subak ikut berlari mengiringi ke mana pun penyunggi Sang Hyang Sampat bergerak. Setelah krama penyunggi Sang Hyang Sampat sadarkan diri di Pura Bedugul, barulah ritual Sang Hyang Sampat dilanjutkan dengan mengelilingi Subak Puakan.

Usai ritual mengelilingi tanaman pagi di Subak Puakan, Sang Hyang Sampat lanjut disunggi ke Pura Bale Agung untuk dilinggihkan. Prosesi ini berlangsung sampai menjelang malam. Namun, keesokan harinya, Selasa (12/6) ini, Sang Hyang Sampat kembali tedun (turun) untuk rituial mengelilingi areal subah yang belum sempat dikelilingi atau diberikan berkah kemarin sore. Setelah selesai semuanya, maka Sang Hyang Sampat kembali dilinggihkan di Pura Bale Agung.

Pekaseh Subak Puakan, I Wayan Sukayadnya, 59, menyatakan tradisi Sang Hyang Sampat digelar setahun sekali menjelang panen padi. Ritual ini merupakan rentetan sebelum melaksanakan upacara ngusaba yang akan digelar pada Buda Wage Langkir, Rabu (13/6) nanti. "Pelaksanaan ngusaba ini harinya tidak tetap. Yang jelas, setahun sekali menjelang musim panen padi," jelas Wayan Sukayadnya kepada NusaBali di sela ritual Sang Hyang Sampat, Senin kemarin.

Menurut Sukayadnya, tradisi ritual Sang Hyang Sampat ini diwarisi secara turun temurun, yang bermakna untuk melindungi tanaman agar tidak diserang hama dan penyakit. Munculnya ritual ini berawal ketika Subak Puakan mengalami kebrebehan di sawah. Ketika itu, hama tikus dan wereng menyerang padi, sehingga petani gagal panen.

Berdasarkan petunjuk niskala, maka diadakanlah prosesi ritual Sang Hyang Sampat. Menurut kepercayaan setempat, roh yang masuk ke dalam Sang Hyang Sampat itulah yang membersihkan agar areal subak diberikan berkah dan terhindar dari gangguan negatif.

Menurut Sukayadnya, Sang Hyang Sampat mengelilingi Subak Puakan yang terdiri dari 5 tempek, yakni Tempek Puakan 1, Tempek Puakan 2, Tempek Munduk, Tempek Umalaka, dan Tempek Mangesta. “Ritual mengelilingi subak dilakukan berturut-turut selama tiga hari. Hanya saja dalam upacara kali ini, cuma dilakukan selama dua hari, karena pelaksanaanya mepet dengan karya pujawali di Pura Luhur Puncak Sari,” tandas Sukayadnya.

Sukayadnya mengatakan, krama setempat tidak berani mengabaikan tradisi Sang Hyang Sampat ini, karena akibatnya bisa fatal. Suatu ketika, krama Subak Puakan, Desa Pakraman Puluk Puluk pernah tidak menggelar ritual Sang Hyang Sampat. “Akibatnya, banyak hama tikus dan wereng menyerang tanaman pagi, sehingga petani gagal panen,” kenang Sukayadnya. *d

Komentar