Ribuan Krama Perebutkan Tenggek Godel Bekas Caru
Ritual Magebeg-gebegan di Desa Pakraman Dharma Jati berawal dari serangan hama tikus yang resahkan krama setempat ratusan tahun silam. Kemudian, krama temukan solusi bahwa tikus bisa diusir dengan jangkrik yang makan sadek dari kepala godel sebelum Nyepi.
Tradisi Ritual Magebeg-Gebegan di Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Setiap desa pakraman di Bali punya tradisi ritual berbeda-beda saat pelaksanaan Tawur Agung Kasanga rangkaian Nyepi Tahun Baru Saka. Contohnya, Desa Pakraman Dharma Jati di Desa Tukagmungga, Kecamatan Buleleng yang menggelar tradisi ritual Magebeg-Gebengan sehari sebelum Nyepi Tahun Baru Saka 1938, Selasa, 8 Maret 2016 petang. Inti dari Magebeg-gebegan di sini adalah ritual memperebutkan tenggek godel (kepala anak sapi) bekas caru.
Tradisi ritual Magebeg-gebegan di Desa Desa Pakraman Dharma Jati, Desa Tukadmungga ini dilaksanakan setelah krama setempat selesai menghaturkan pecaruan di Catus Pata (Perempatan Agung) dan di rumah masing-masing, Selasa (8/3) mulai petang pukul 18.00 Wita hingga malam pukul 19.00 Wita. Hari itu merupakan pelaksanaan Tawur Agung bersamaan dengan Pangrupukan Nyepi (sehari jelang Nyepi Tahun Baru Saka 1938), yang jatuh tepat pada Tilem Kasanga (bulan mati ke-9 sistem penanggalan Bali). Pada hari yang sama pula, biasa dilakukan pengarakan ogoh-ogoh.
Sebelum ritual Magebeg-gebegan dilaksanakan, krama Desa Pakraman Dharma Jati yang ingin ngayah (mengikuti) tradisi memperebutkan tenggek godel caru, sudah mempersiapkan diri dari rumah masing-masing. Mereka adalah kelompok krama perwakilan antar banjar se-Desa Pakraman Dharma Jati. Pesertanya didominasi kalangan muda.
Mereka yang hendak ngayah tradisi ritual Magebeg-gebegan diwajibkan untuk melakukan persembhayangan bersama terlebih dulu di Catus Pata, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan saat rebutan tenggek godel caru. Sedangkan para pamangku dengan dibantu pecalang, lebih dulu memagari banten caru bersaranakan wewalungan godel, begitu usainya menghaturkan Caru Balik Sumpah di Catus Pata Desa Pakraman Dharma Jati. Tujuannya, agar tidak ada krama yang mendahului berebut tenggek godel caru.
Nah, krama yang sudah bersiap sejak awal dari rumahnya masing-masing, baru dibolehkan bergerak untuk berebut dan mengambil tenggek godel caru apabila sudah ada komando salah satu prajuru adat. Krama yang ikut dalam ritual rebutan tenggek godel caru tersebut bebas mengeluarkan trik dan siasatnya masing-masing, agar berhasil. Lalu, yang berhasil berhak membawa pulang tenggek godel caru tersebut.
Namanya juga atraksi yang melibatkan ribuan krama, pelaksanaan ritual Magebeg-gebegan di Catus Pata Desa Pakraman Dharma Jati ini pun terbilang sangat seru. Atraksi tambah semangat, karena disaksikan dan ditingkahi sorak-sorai ribuan krama lainnya.
Setelah kepala godel caru berhasil didapatkan oleh salah krama, maka sarana bekas caru ini dibawa pulang untuk dimasak di rumahnya. Jika sudah matang dengan bumbunya yang khas, masakan tenggek godel caru ini lalu disantap bersama-sama.
Menurut Kelian Desa Pakraman Dharma Jati, Ketut Wicana, tradisi ritual Magebeg-gebegan ini merupakan warisan turun temurun. Ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam. Bermula dari munculnya serangan hama tikus yang bikin resah krama desa (petani) saat itu.
Dalam situasi resah, krama setempat kemudian memikirkan cara untuk mengusir tikus-tikus tersebut. Ternyata, ditemukan solusi bahwa yang dapat mengalahkan hama tikus adalah jangkrik. Kebetulan, ketika ditemukan solusi tersebut, Desa Pakraman Dharma Jati tengah melangsungkan upacara Pangrupukan Nyepi.
“Kebetulan pula, pemerintah saat itu membagi-bagikan caru kepada masing-asing desa. Kami di sini (Desa Pakraman Dharma Jati) diberi caru dengan sarana godel. Sementara desa tetangga seperti Desa Pemaron kebagian caru dengan sarana hewan angsa. Sebaliknya, Desa Anturan diberi caru dengan sarana bebek (itik),” cerita Ketut Wicana kepada NusaBali di sela pelaksanaan ritual Magebeg-gebegan di Catus Pata Desa Pakraman Dharma Jati, Selasa lalu.
Ketut Wicana mengisahkan, kesempatan tersebut kemudian dimanfaatkan krama kala itu untuk mencari sadek (makanan khusus untuk membuat jangkrik jadi galak), yang diambil dari lidah godel bekas caru. “Itulah salah satu upaya krama untuk memperkuat jangkrik, yang dipercaya mampu mengusir tikus. Dalam perjalanan selanjutnya, ritual sadek untuk jangkrik tersebut menjelma menjadi tradisi Magebeg-gebegan yang memperebutkan kepala godel caru setiap perayaan Nyepi,” beber Ketut Wicana.
Meski sebagian besar krama di Desa Pakraman Dharma Jati, Desa Tukadmungga kini sudah tidak lagi memiliki sawah, namun tradisi ritual Magebeg-gebegan tetap dilaksanakan sampai sekarang. “Setiap perayaan Nyepi, kami selalu melaksanakan tradisi ini. Kami juga tidak pernah absen menggelar Pecaruan Balik Sumpah yang menggunakan sarana godel yang belum dikebiri, dilengkapi dengan lima ekor ayam,” katanya.
Menurut Ketut Wicana, dalam pelaksanaan tradisi ritual Magebeg-megebegan di Catus Pata Desa Pakraman Dharma Jati ini, terkandung beberapa pelajaran penting. Di antaranya, kerukunan tetap dijaga, meski sebelumnya sempat beradu otot untuk mendapatkan tenggek godel caru. Selain itu, memupuk rasa sukacita, kebersamaan, dan kekeluargaan. “Sampai saat ini tidak pernah ada keributan yang ditimbulkan akibat saling berebut kepala godel caru tersebut,’ jelas Ketut Wicana.7 k23
1
Komentar