'Ngurek' Warnai Parade Ngelawang di Jaba Pura Jagatnatha
Parade Ngelawang yang berlangsung di Jaba Pura Agung Jagatnatha, Denpasar, pada Rahina Tilem, Rabu (13/6) diwarnai dengan aksi ‘Ngurek’ (Ngunying) dan ‘kerauhan’ dari beberapa penari.
DENPASAR, NusaBali
Sebanyak 10 Sanggar/Sekaa Ngelawang tampil bergiliran dengan disaksikan ratusan penonton. Kasubag Bina Keagamaan Bagian Kesra Setda Kota Denpasar, I Nyoman Oka mengatakan, Tradisi Ngelawang yang telah berlangsung turun-temurun ini selain sebagai peningkatan vibrasi suci untuk menetralisir alam semesta, menolak segala macam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan manusia baik secara sekala maupun niskala juga sebagai upaya membangkitkan semangat seni dan tradisi di Kota Denpasar.
Lebih jauh dijelaskan, pelaksanaan Ngelawang oleh masyarakat Hindu Bali identik dilaksanakan ketika memasuki masa ‘Uncal Walung’, yakni mulai dari Galungan hingga Buda Kliwon Pegat Uwakan. Pada rentang waktu tersebut diyakini aura negatif memiliki andil besar menguasa alam semesta, sehingga dengan pelaksanaan Ngelawang yang menampilkan penokohan baik buruk yang dikemas dalam sajian penokohan Barong Ket, Barong Bangkung, Barong Brutuk dan jenis barong lainya sebagai simbol kekuatan positif.
Sedangkan Rangda merupakan simbol dari kekuatan negatif yang keduanya saling berkaitan dalam menciptakan keseimbangan alam semesta. “Ngelawang ini adalah seni tradisi di Bali yang sarat makna, sehingga kelestarian harus tetap dijaga, dan di Kota Denpasar sendiri eksistensi Sekaa Ngelawang masih dapat dijumpai saat Umanis Galungan dan Umanis Kuningan,” ungkapnya.
Dikatakan, pentas Ngelawang ini hanya sebagai bentuk dukungan awal untuk selanjutnya tradisi Ngelawang akan dilakukan oleh sekaa-sekaa di desa pakraman masing-masing saat memasuki masa Uncal Walung. Seluruh peserta Ngelawang dibebaskan untuk membuat sebuah garapan dramatikal sesuai dengan ide masing-masing yang tetap berpedoman pada ajaran Rwa Bhineda atau baik dan buruk. “Sampai saat ini tradisi Ngelawang masih lestari di Denpasar. Kali ini kami hanya ingin memberikan apresiasi terhadap sekaa-sekaa yang bertahan dan untuk memotivasi sekaa-sekaa lainnya tetap melestarikan tradisi Ngelawang ini. Kali ini peserta yang dominan merupakan kalangan pelajar tingkat SD, dan SMP serta SMA. Di samping itu, juga melibatkan sekaa teruna-teruni sebagai pendamping, sehingga, tradisi ini dapat tetap ajeg dan lestari,” ujarnya didampingi Koordinator Parade Ngelawang, Anak Agung Putra. *m
Sebanyak 10 Sanggar/Sekaa Ngelawang tampil bergiliran dengan disaksikan ratusan penonton. Kasubag Bina Keagamaan Bagian Kesra Setda Kota Denpasar, I Nyoman Oka mengatakan, Tradisi Ngelawang yang telah berlangsung turun-temurun ini selain sebagai peningkatan vibrasi suci untuk menetralisir alam semesta, menolak segala macam penyakit yang dapat mengganggu kehidupan manusia baik secara sekala maupun niskala juga sebagai upaya membangkitkan semangat seni dan tradisi di Kota Denpasar.
Lebih jauh dijelaskan, pelaksanaan Ngelawang oleh masyarakat Hindu Bali identik dilaksanakan ketika memasuki masa ‘Uncal Walung’, yakni mulai dari Galungan hingga Buda Kliwon Pegat Uwakan. Pada rentang waktu tersebut diyakini aura negatif memiliki andil besar menguasa alam semesta, sehingga dengan pelaksanaan Ngelawang yang menampilkan penokohan baik buruk yang dikemas dalam sajian penokohan Barong Ket, Barong Bangkung, Barong Brutuk dan jenis barong lainya sebagai simbol kekuatan positif.
Sedangkan Rangda merupakan simbol dari kekuatan negatif yang keduanya saling berkaitan dalam menciptakan keseimbangan alam semesta. “Ngelawang ini adalah seni tradisi di Bali yang sarat makna, sehingga kelestarian harus tetap dijaga, dan di Kota Denpasar sendiri eksistensi Sekaa Ngelawang masih dapat dijumpai saat Umanis Galungan dan Umanis Kuningan,” ungkapnya.
Dikatakan, pentas Ngelawang ini hanya sebagai bentuk dukungan awal untuk selanjutnya tradisi Ngelawang akan dilakukan oleh sekaa-sekaa di desa pakraman masing-masing saat memasuki masa Uncal Walung. Seluruh peserta Ngelawang dibebaskan untuk membuat sebuah garapan dramatikal sesuai dengan ide masing-masing yang tetap berpedoman pada ajaran Rwa Bhineda atau baik dan buruk. “Sampai saat ini tradisi Ngelawang masih lestari di Denpasar. Kali ini kami hanya ingin memberikan apresiasi terhadap sekaa-sekaa yang bertahan dan untuk memotivasi sekaa-sekaa lainnya tetap melestarikan tradisi Ngelawang ini. Kali ini peserta yang dominan merupakan kalangan pelajar tingkat SD, dan SMP serta SMA. Di samping itu, juga melibatkan sekaa teruna-teruni sebagai pendamping, sehingga, tradisi ini dapat tetap ajeg dan lestari,” ujarnya didampingi Koordinator Parade Ngelawang, Anak Agung Putra. *m
1
Komentar