Bawaslu Cegah 'Serangan Fajar'
Selain serangan fajar, Bawaslu juga waspadai kecurangan seperti merusak surat suara sah yang tidak untungkan paslon tertentu
Dana Saksi Miliaran Rupiah Bukan Kategori Pelanggaran
DENPASAR, NusaBali
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bali kerahkan 6.296 pengawas TPS untuk mengantisipasi adanya modus kecurangan saat coblosan Pilgub Bali, 27 Juni 2018 nanti. Salah satunya, mengawasi adanya modus mempengaruhi pemilih dengan ‘serangan fajar’, yakni memberikan uang agar memilih salah satu pasangan calon.
Ketua Bawaslu Bali, I Ketut Rudia, mengatakan memobilisasi dana pada saat-saat jelang pencoblosan yang dikenal sebagai modus mempengaruhi pemilih dengan ‘serangan fajar’, bisa saja terjadi. Bawaslu Bali akan menangkal modus serangan fajar ini dengan memperketat pengawasan di setiap TPS. “Kami akan lakukan cegah dini terhadap kemungkinan adanya serangan fajar yang biasanya menjadi modus untuk mempengaruhi pemilih,” ujar Rudia di Denpasar, Minggu (17/6).
Rudia menegaskan, serangan fajar sangat mungkin terjadi. Maka, pengawasan yang melibatkan perangkat Bawaslu Bali di setiap TPS akan dimaksimalkan. Pengawasan ini akan dilakukan intensif sebelum coblosan dan saat proses pemilihan berjalan di TPS.
“Bukan hanya masalah serangan fajar saja yang kita perhatikan. Ada juga kecurangan-kecurangan lain. Misalnya, merusak surat suara dengan kuku, ketika suara yang sah dianggap tidak menguntungkan paslon tertentu. Kita meminta personil pengawas di TPS untuk lakukan pengawasan melekat. Mereka tidak boleh jauh-jauh dari petugas yang menghitung suara di TPS,” tegas Rudia.
Ketika ditanya adanya pemberian dana operasional untuk saksi pasangan calon yang bertugas di TPS dengan nilai miliaran rupiah, menurut Rudia, hal itu tidak melanggar. Itu bagian dari cost politik. Rudia menegaskan, dana saksi itu adalah ongkos politik dari pasangan calon.
“Itu tidak melanggar ketika digunakan untuk saksi atau internal mereka. Kecuali dana dibagi-bagi di TPS kepada orang lain atau disebarkan diam-diam dengan iming-iming memilih paslon tertentu, itu jelas melanggar. Tapi, kami tetap pantau ketika dana yang dimobilisasi itu tidak sesuai dengan peruntukan,” tandas mantan Ketua Panwaslu Buleleng dalam Pilkada Buleleng 2012 ini.
Sedangkan Ketua KPU Bali, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyatakan mobilisasi dana miliaran rupiah untuk membayar saksi, tidak pernah diatur dalam sistem kepemiluan di Indonesia. Dana saksi juga tidak dilarang.
“Dari Pemilu ke Pemilu, dana saksi ini memang tidak pernah diatur, walaupun bentuknya pemberian dana gelondongan kepada saksi pasangan calon di TPS. Kecuali kalau dana itu disalahgunakan atau diberikan kepada orang lain untuk memilih paslon tertentu, itu barulah pelanggaran. Itu sudah menjadi ranah Bawaslu,” tegas Raka Sandi saat dikonfirmasi NusaBali terpisah, Minggu kemarin.
Raka Sandi menyebutkan, dana saksi juga tidak tercatat sebagai dana kampanye. Itu urusannya pasangan calon dengan para saksi yang digunakan di TPS. “Namun, kita bersama stakeholder tetap melakukan antisipasi supaya Pilgub Bali 2018 ini bebas dari money politics. Seluruh komponen ikut mengawasi penyelenggaraannya,” jelas Raka Sandi.
Sementara itu, bocoran yang diperoleh NusaBali, dana saksi paling banyak menyedot anggaran bagi pasangan calon di Pilgub Bali 2018. Sumber NusaBali di masing-masing tim pasangan calon menyebutkan, dana saksi adalah ongkos yang diberikan kepada saksi di TPS. Nominalnya bervariasi, tergantung siapa yang mengerahkan saksi di masing-masing wilayah.
“Saksi dikerahkan partai atau anggota fraksi partai pengusung pasangan calon, sehingga (besarnya uang yang diberikan, Red) tergantung deal dan kemampuan anggota fraksi pengusung pasangan calon,” ujar sumber yang wanti-wanti namanya tidak dikorankan, Minggu kemarin.
Sumber tadi menegaskan, walaupun masing-masing partai pengusung mengatakan saksi tidak dibayar atau dengan dana gotong royong, dalam prakteknya memang bukan sukarela. “Siapa yang mau bertugas di TPS seharian penuh dengan meninggalkan pekerjaan tetap? Ya, karena dana saksinya lumayan besar, makanya banyak yang menjadikan ini sebagai pekerjaan dadakan,” katanya.
Dia menyebutkan, paling tidak untuk seorang saksi dibayar Rp 200.000 selama bertugas di TPS. Bahkan, di kabupaten yang memiliki persaingan sengit antar anggota fraksi partai pengusung pasangan calon, ongkos saksi bisa berlipat.
“Dalam Pileg 2019 di wilayah Kabupaten Badung, satu saksi bisa dibayar sampai Rp 300.000 saat bertugas di TPS. Itu profesional untuk mengawal surat C1 (hasil rekap suara di TPS). Apalagi sekarang di Pilgub Bali 2018,” tandas sumber tadi.
“Kalau digaji Rp 200.000 per orang saja, dikalikan dengan jumlah 6.296 TPS, itu angkanya sudah Rp 1,25 miliar. Kalau mengerahkan saksi dan pengawas sampai 10 orang per TPS, itu biayanya belasan miliar rupiah,” lanjut sumber yang berpengalaman memobilsiasi saksi setiap event Pemilu di partai tempatnya bernaung ini. *nat
DENPASAR, NusaBali
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bali kerahkan 6.296 pengawas TPS untuk mengantisipasi adanya modus kecurangan saat coblosan Pilgub Bali, 27 Juni 2018 nanti. Salah satunya, mengawasi adanya modus mempengaruhi pemilih dengan ‘serangan fajar’, yakni memberikan uang agar memilih salah satu pasangan calon.
Ketua Bawaslu Bali, I Ketut Rudia, mengatakan memobilisasi dana pada saat-saat jelang pencoblosan yang dikenal sebagai modus mempengaruhi pemilih dengan ‘serangan fajar’, bisa saja terjadi. Bawaslu Bali akan menangkal modus serangan fajar ini dengan memperketat pengawasan di setiap TPS. “Kami akan lakukan cegah dini terhadap kemungkinan adanya serangan fajar yang biasanya menjadi modus untuk mempengaruhi pemilih,” ujar Rudia di Denpasar, Minggu (17/6).
Rudia menegaskan, serangan fajar sangat mungkin terjadi. Maka, pengawasan yang melibatkan perangkat Bawaslu Bali di setiap TPS akan dimaksimalkan. Pengawasan ini akan dilakukan intensif sebelum coblosan dan saat proses pemilihan berjalan di TPS.
“Bukan hanya masalah serangan fajar saja yang kita perhatikan. Ada juga kecurangan-kecurangan lain. Misalnya, merusak surat suara dengan kuku, ketika suara yang sah dianggap tidak menguntungkan paslon tertentu. Kita meminta personil pengawas di TPS untuk lakukan pengawasan melekat. Mereka tidak boleh jauh-jauh dari petugas yang menghitung suara di TPS,” tegas Rudia.
Ketika ditanya adanya pemberian dana operasional untuk saksi pasangan calon yang bertugas di TPS dengan nilai miliaran rupiah, menurut Rudia, hal itu tidak melanggar. Itu bagian dari cost politik. Rudia menegaskan, dana saksi itu adalah ongkos politik dari pasangan calon.
“Itu tidak melanggar ketika digunakan untuk saksi atau internal mereka. Kecuali dana dibagi-bagi di TPS kepada orang lain atau disebarkan diam-diam dengan iming-iming memilih paslon tertentu, itu jelas melanggar. Tapi, kami tetap pantau ketika dana yang dimobilisasi itu tidak sesuai dengan peruntukan,” tandas mantan Ketua Panwaslu Buleleng dalam Pilkada Buleleng 2012 ini.
Sedangkan Ketua KPU Bali, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyatakan mobilisasi dana miliaran rupiah untuk membayar saksi, tidak pernah diatur dalam sistem kepemiluan di Indonesia. Dana saksi juga tidak dilarang.
“Dari Pemilu ke Pemilu, dana saksi ini memang tidak pernah diatur, walaupun bentuknya pemberian dana gelondongan kepada saksi pasangan calon di TPS. Kecuali kalau dana itu disalahgunakan atau diberikan kepada orang lain untuk memilih paslon tertentu, itu barulah pelanggaran. Itu sudah menjadi ranah Bawaslu,” tegas Raka Sandi saat dikonfirmasi NusaBali terpisah, Minggu kemarin.
Raka Sandi menyebutkan, dana saksi juga tidak tercatat sebagai dana kampanye. Itu urusannya pasangan calon dengan para saksi yang digunakan di TPS. “Namun, kita bersama stakeholder tetap melakukan antisipasi supaya Pilgub Bali 2018 ini bebas dari money politics. Seluruh komponen ikut mengawasi penyelenggaraannya,” jelas Raka Sandi.
Sementara itu, bocoran yang diperoleh NusaBali, dana saksi paling banyak menyedot anggaran bagi pasangan calon di Pilgub Bali 2018. Sumber NusaBali di masing-masing tim pasangan calon menyebutkan, dana saksi adalah ongkos yang diberikan kepada saksi di TPS. Nominalnya bervariasi, tergantung siapa yang mengerahkan saksi di masing-masing wilayah.
“Saksi dikerahkan partai atau anggota fraksi partai pengusung pasangan calon, sehingga (besarnya uang yang diberikan, Red) tergantung deal dan kemampuan anggota fraksi pengusung pasangan calon,” ujar sumber yang wanti-wanti namanya tidak dikorankan, Minggu kemarin.
Sumber tadi menegaskan, walaupun masing-masing partai pengusung mengatakan saksi tidak dibayar atau dengan dana gotong royong, dalam prakteknya memang bukan sukarela. “Siapa yang mau bertugas di TPS seharian penuh dengan meninggalkan pekerjaan tetap? Ya, karena dana saksinya lumayan besar, makanya banyak yang menjadikan ini sebagai pekerjaan dadakan,” katanya.
Dia menyebutkan, paling tidak untuk seorang saksi dibayar Rp 200.000 selama bertugas di TPS. Bahkan, di kabupaten yang memiliki persaingan sengit antar anggota fraksi partai pengusung pasangan calon, ongkos saksi bisa berlipat.
“Dalam Pileg 2019 di wilayah Kabupaten Badung, satu saksi bisa dibayar sampai Rp 300.000 saat bertugas di TPS. Itu profesional untuk mengawal surat C1 (hasil rekap suara di TPS). Apalagi sekarang di Pilgub Bali 2018,” tandas sumber tadi.
“Kalau digaji Rp 200.000 per orang saja, dikalikan dengan jumlah 6.296 TPS, itu angkanya sudah Rp 1,25 miliar. Kalau mengerahkan saksi dan pengawas sampai 10 orang per TPS, itu biayanya belasan miliar rupiah,” lanjut sumber yang berpengalaman memobilsiasi saksi setiap event Pemilu di partai tempatnya bernaung ini. *nat
Komentar