Prof Windia: Perda Subak Tidak Ada Apa-apanya
1.000 Hektare Lawan Sawah Hilang dalam Setahun
DENPASAR, NusaBali
Permasalahan alih fungsi lahan beberapa tahun terakhir terus menjadi sorotan. Keberadaan subak, sistem irigasi tradisional Bali pun terancam akan punah seiring menyusutnya lahan sawah yang beralih fungsi jadi bangunan. Akademisi Pertanian Universitas Udayana, Prof Ir I Wayan Windia SU, mengatakan, Perda Subak Nomor 9 tahun 2012 bahkan ‘tidak ada apa-apanya’ untuk berkontribusi mempertahankan subak yang mulai hilang satu per satu.
“Perda itu isinya cuma istilah subak itu apa, bentuk organisasi Majelis Alit Subak untuk tingkat kecamatan, dan Majelis Madya untuk tingkat kabupaten. Itu saja. Tidak tegas menyebut apa yang diberikan kepada subak dengan adanya perda itu,” ungkap Prof Windia ditemui di Denpasar, Rabu (20/6).
Menurutnya, Perda harusnya memberikan jaminan kepada subak agar tetap ada dan berlanjut untuk bisa dilihat oleh anak cucu di masa depan. Dia berharap, perda tersebut direvisi dan isinya lebih dikonkritkan. Mengingat kondisi lahan sawah saat ini sungguh mengkhawatirkan. Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu menyebut, setiap tahun Bali kehilangan sawah rata-rata 1.000 hektare.
“Dulu saya diundang DPRD saat membuat perda itu. Tapi ya tidak diterima. Saya ingin itu saja. Perda memberikan jaminan kepada subak agar tetap abadi dan bisa dinikmati anak cucu nantinya. Tidak ada kebijakan strategis pemerintah untuk mengendalikan alih fungsi lahan. Kita khawatir,” ungkapnya.
Prof Windia menambahkan, 1.000 hektare per tahun sama dengan satu persen hilang sawah setiap tahunnya. Yang paling kentara adalah wilayah Tabanan, Denpasar dan Gianyar. Menurutnya, sekarang lahan sawah hanya tinggal 75 ribu hektare, dan ini jumlah yang sangat mengkhawatirkan. “Yang tersisa masih 75 ribu hektare. Bisa dibayangkan kapan akan habis bila terus begini. Kalau tidak ada subak, kebudayaan Bali akan hancur,” katanya.
Lalu apa yang menyebabkan alih fungsi lahan semakin ramai saja? Prof Windia mengatakan, supaya tidak alih fungsi lahan, maka petani harus suka bertani, sehingga subak menjadi abadi. Petani tidak akan gampang menjual sawah. Namun yang terjadi kini, petani mulai malas bertani, karena penghasilannya pun tidak seberapa. Sedangkan pengeluarannya berupa pajak PBB yang mencekik, bibit, pupuk, bahkan lebih tinggi daripada hasil yang didapatkan. “Sangat khawatir, makanya saya kaok-kaok, supaya dibuat subak abadi di Bali dengan berbagai kompensasi, misalnya diberikan subsidi dan keringanan, suapaya senang bertani,” ujarnya.
Pihaknya mengusulkan agar pemerintah membeli gabah petani dengan harga yang lebih dengan begitu, petani akan merasa cukup puas. Regulasi pajak PBB juga diusulkan untuk dihapus, sebab itu menyakitkan buat petani. “Kita ingin harga gabah lebih tinggi dari harga pasar. Lebih tingginya berapa? Cukup lagi Rp 200,- per kg. Supaya petani ada ongkos panen 100,-/kg dan untung Rp 100,-/kg. sekarang income mereka sangat rendah. Bahkan sama dengan penghasilan seorang pengemis di jalanan. Kalau per hektare produksi, petani dapat income Rp 14 juta per 4 bulan, artinya per bulan Rp 3,5 juta. Ternyata pengemis jalanan kita survey sama segitu,” tandasnya. *ind
Permasalahan alih fungsi lahan beberapa tahun terakhir terus menjadi sorotan. Keberadaan subak, sistem irigasi tradisional Bali pun terancam akan punah seiring menyusutnya lahan sawah yang beralih fungsi jadi bangunan. Akademisi Pertanian Universitas Udayana, Prof Ir I Wayan Windia SU, mengatakan, Perda Subak Nomor 9 tahun 2012 bahkan ‘tidak ada apa-apanya’ untuk berkontribusi mempertahankan subak yang mulai hilang satu per satu.
“Perda itu isinya cuma istilah subak itu apa, bentuk organisasi Majelis Alit Subak untuk tingkat kecamatan, dan Majelis Madya untuk tingkat kabupaten. Itu saja. Tidak tegas menyebut apa yang diberikan kepada subak dengan adanya perda itu,” ungkap Prof Windia ditemui di Denpasar, Rabu (20/6).
Menurutnya, Perda harusnya memberikan jaminan kepada subak agar tetap ada dan berlanjut untuk bisa dilihat oleh anak cucu di masa depan. Dia berharap, perda tersebut direvisi dan isinya lebih dikonkritkan. Mengingat kondisi lahan sawah saat ini sungguh mengkhawatirkan. Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana itu menyebut, setiap tahun Bali kehilangan sawah rata-rata 1.000 hektare.
“Dulu saya diundang DPRD saat membuat perda itu. Tapi ya tidak diterima. Saya ingin itu saja. Perda memberikan jaminan kepada subak agar tetap abadi dan bisa dinikmati anak cucu nantinya. Tidak ada kebijakan strategis pemerintah untuk mengendalikan alih fungsi lahan. Kita khawatir,” ungkapnya.
Prof Windia menambahkan, 1.000 hektare per tahun sama dengan satu persen hilang sawah setiap tahunnya. Yang paling kentara adalah wilayah Tabanan, Denpasar dan Gianyar. Menurutnya, sekarang lahan sawah hanya tinggal 75 ribu hektare, dan ini jumlah yang sangat mengkhawatirkan. “Yang tersisa masih 75 ribu hektare. Bisa dibayangkan kapan akan habis bila terus begini. Kalau tidak ada subak, kebudayaan Bali akan hancur,” katanya.
Lalu apa yang menyebabkan alih fungsi lahan semakin ramai saja? Prof Windia mengatakan, supaya tidak alih fungsi lahan, maka petani harus suka bertani, sehingga subak menjadi abadi. Petani tidak akan gampang menjual sawah. Namun yang terjadi kini, petani mulai malas bertani, karena penghasilannya pun tidak seberapa. Sedangkan pengeluarannya berupa pajak PBB yang mencekik, bibit, pupuk, bahkan lebih tinggi daripada hasil yang didapatkan. “Sangat khawatir, makanya saya kaok-kaok, supaya dibuat subak abadi di Bali dengan berbagai kompensasi, misalnya diberikan subsidi dan keringanan, suapaya senang bertani,” ujarnya.
Pihaknya mengusulkan agar pemerintah membeli gabah petani dengan harga yang lebih dengan begitu, petani akan merasa cukup puas. Regulasi pajak PBB juga diusulkan untuk dihapus, sebab itu menyakitkan buat petani. “Kita ingin harga gabah lebih tinggi dari harga pasar. Lebih tingginya berapa? Cukup lagi Rp 200,- per kg. Supaya petani ada ongkos panen 100,-/kg dan untung Rp 100,-/kg. sekarang income mereka sangat rendah. Bahkan sama dengan penghasilan seorang pengemis di jalanan. Kalau per hektare produksi, petani dapat income Rp 14 juta per 4 bulan, artinya per bulan Rp 3,5 juta. Ternyata pengemis jalanan kita survey sama segitu,” tandasnya. *ind
1
Komentar