Makedengan Ngad
Wayan Kartala punya adik gadis bernama Luh Serasi. Wayan menikah dengan Rupini, dikaruniai dua anak. Rupini punya adik laki bernama Made Sutarja, pemilik bengkel mobil, yang dikenal dekat dengan ipar-iparnya. Ia juga dekat dengan kerabat dan keluarga lain dari Kartala. Begitu dekat, sehingga Sutarja naksir Serasi, adik Kartala.
Aryantha Soethama
Pengarang
Sutarja dan Serasi sungguh-sungguh pasangan serasi. Anggota keluarga lain, jika sedang arisan keluarga misalnya, sering mengolok-olok mereka seperti Jayaprana-Layonsari, pasangan yang gemulai dan sungguh-sungguh sepadan. “Sepantasnya mereka mengikuti jejak sang kakak, menikah saja,” komentar anggota keluarga besar itu.
Awalnya, Sutarja dan Serasi memandang itu benar-benar olok-olok, hiburan jika keluarga besar kumpul-kumpul. Tapi, lambat laun olok-olok itu berkembang menjadi kenyataan. Sutarja sering memperhatikan Serasi. Jika keluarga memerlukan sesuatu, perlu membeli makanan ketika kumpul ramai-ramai, Sutarja sering keluar bersama Serasi membeli kebutuhan itu.
Sering ke luar bersama itu lambat laun menjadi kegiatan berduaan. Mereka jadi acap berdua-duaan. Mereka pacaran, sungguh-sungguh menjalin hubungan dekat. Kepada Serasi berulang-ulang Sutarja mengungkapkan, percintaan mereka sesungguhnya hubungan terlarang.
“Siapa yang melarang cewek-cowok jatuh cinta, Bli?” tanya Serasi.
Sutarja menjelaskan, jika pacaran mereka keterusan, bisa berabe. “Apanya yang berabe?” sodok Serasi. Sutarja menjelaskan lagi, jika mereka terus pacaran, bisa-bisa mereka kemudian menikah, menjadi pasangan suami-istri.
“Memangnya gak boleh kita nikah?” tanya Serasi. Menurut Sutarja, masih ada kepercayaan kuat jika pasangan kakak-adik bertukar wanita dan menikah, risikonya berat. “Bisa fatal,” jelas Sutarja. Serasi tak mengerti, bingung malah.
“Karena kakakku laki kawin dengan kakakmu perempuan, lalu aku menikahi kamu, itu berarti keluarga kita bertukar gadis. Seorang gadis dari keluargaku diambil oleh keluargamu, lalu gadis dari keluargamu diambil oleh keluargaku. “Ini namanya kawin makedengan ngad. Akibat sangat berat harus kita tanggung, salah satu dari pasangan akan mati. Mungkin Bli Kartala, atau Mbok Rupini, bisa jadi aku, atau kamu yang mati. Mau kamu mati, Luh?”
Serasi menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menunduk. Ia perhatikan ujung kemeja Sutarja, kekasihnya, juga iparnya. Serasi sangat mencintai Sutarja. Jika sehari tak dibelai lelaki bergeraham kuat itu, Serasi gelisah, seakan ada sesuatu yang tidak lengkap dan mesti segera dipenuhi. Mereka semakin sering bersama, anggota keluarga lain mengerti. Mereka bimbang, apakah mungkin Sutarja disatukan dengan Serasi sebagai suami istri? Jika dipaksakan, tidakkah nganten (kawin) makedengan ngad melampiaskan kutukannya? Berani?
Ngad bahasa Bali bisa diartikan sebagai sembilu, pisau silet. Jika sembilu dan silet dibuat dengan baja, ngad terbuat dari bambu, kurang lebih sepanjang 15 cm, pipih kedua tepinya, diraut sangat tajam. Ngad biasanya untuk menggorok ayam, bebek atau babi. Makedengan ngad berarti tarik-menarik ngad, saling tarik pisau dari bambu penggorok leher ayam itu.
Tentu kedua pihak akan berdarah-darah jika sembilu atau silet saling mereka tarik. Itu sebabnya Sutarja selalu mengingatkan Serasi untuk selalu menimbang-nimbang dengan suntuk jika keinginannya untuk menikah muncul.
“Apakah kita akan selalu seperti ini, Bli? Pacaran terus seumur-umur? Kapan kita kawin?”
Sutarja tak menjawab, dia cuma membelai rambut lebat kekasihnya, juga iparnya. “Yang penting kita saling mencintai, tulus, dan selamanya, Luh,” ujar Sutarja kemudian.
“Apa arti tulus kasih bertimbun cinta itu jika kita tak berani membangun rumah tangga? Ini cinta kosong, cinta-cintaan, semu, karena kita takut pada makedengan ngad itu. Kita lawan kutukan itu, Bli. Kita kawin saja. Tak ada yang bisa menaklukkan cinta. Tidak juga ngad itu. Lawan, Bli, kita lawan!”
“Sabar, kita serahkan pada Hyang Widhi, Luh,” cuma itu jawab Sutarja.
Dan Hyang Widhi memang punya rencana sendiri. Tujuh bulan setelah melahirkan anak ketiga, Rupini terserang kanker payudara. Dua tahun kemudian dia meninggal. Serasi mendatangai Sutarja, memeluknya.
“Untung kita belum kawin, Bli. Andai kita kawin, tentu keluarga menuding kita penyebab kematian Mbok Rupini,” ujar Serasi. “Kalau begitu, kita jadi kawin dong, Bli?”
Sutarja mengangguk, ia peluk dan mengulum bibir Serasi dengan hangat dan penuh gairah. Kebahagiaan dan kesedihan, duka nestapa dan kegirangan, memang dekat, sangat dekat. 7
1
Komentar