Legong Muani Ceritakan Api Cemburu Dewi Danu
Kehadiran legong muani atau legong yang ditarikan oleh para lelaki memang sering memikat perhatian.
DENPASAR, NusaBali
Sebab, lazimnya tari Legong ditarikan oleh perempuan. Namun sebenarnya, sekitar tahun 1800-an, panggung Legong adalah milik kaum laki-laki. Buat kesekian kalinya legong muani kembali tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40. Kali ini, legong muani yang dipentaskan oleh Sanggar Legong Muani Ardhanareswari berkolaborasi dengan Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti, Desa Sading, Kabupaten Badung di Kalangan Angsoka Taman Budaya-Art Center Denpasar, Minggu (24/6). Mereka membawakan tarian palegongan klasik dan tabuh klasik. Koordinator sanggar, I Gusti Made Agus Wira Aditama mengatakan, kali ini kolaborasi dua komunitas seni tersebut akan membawakan empat sajian.
Salah satunya adalah Legong Raja Cina. Menurutnya, legong ini sesuai dengan tema PKB ke-40, Teja Dharmaning Kahuripan. Legong Raja Cina yang mengisahkan Kang Cin Hui atau sejarah Barong Landung. “Tema PKB kan tentang api, nah cerita yang nyambung adalah Legong Raja Cina, dimana mengisahkan saat Dewi Danu mengutuk membakar Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We. Dihanguskan kemudian dihidupkan kembali berupa Barong Landung,” ungkapnya.
Diceritakan, sejarah Barong Landung diawali dengan pertemuan seorang raja Bali yang bernama Sri Raja Pangus, dengan seorang putri Cina yang bernama Kang Cin Hui. Pertemuan mereka berlanjut ke pernikahan. Namun sayang, setelah lama menikah belum juga dikaruniai keturunan. Di sanalah Sri Jaya Pangus berinisatif pergi ke Gunung Batur untuk memohon anugerah.
Saat ke Gunung Batur, Raja Sri Jaya Pangus bertemu dengan Dewi Danu. Karena cantik, sang raja terpikat dan memperistrinya. Dari pernikahannya dengan Dewi Danu, mereka mempunyai seorang anak. Sri Jaya Pangus kemudian kembali ke kerajaan. Sesampainya di kerajaan, Kang Cin We sangat menunggu kedatangannya lantaran sangat rindu degan kedatangan Sri Jaya Pangus yang telah pergi lama tanpa kabar. Dewi Danu yang diperistri Raja Jaya Pangus menyusul ke kerajaan. Namun yang didapatinya, Sri Jaya Pangus sedang bermesraan dengan Kang Cing We. “Dewi Danu murka. Seketika itu juga Dewi Danu membinasakan Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We dengan api kecemburuan hingga terbakar menjadi abu. Mendengar kejadian itu masyarakat Bali dari segala penjuru datang mohon kepada Dewi Danu agar rajanya Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dihidupkan kembali,” tuturnya.
Lantaran Raja Sri Jaya Pangus memerintah dengan baik, maka Dewi Danu mewujudkan keinginan rakyat Bali. Sehingga dihidupkanlah kembali sosok Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We, namun hanya berupa Barong Landung agar tetap bisa dipuja oleh masyarakat Bali.
Selain Legong Raja Cina, Sanggar Ardhanareswari yang diiringi oleh Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti juga menampilkan dua tari legong lainnya, yakni tari Legong Bremara yang menceritakan turunnya bidadari dri kahyangan ke dunia berwujud kumbang. Ada Legong Sudarsana yang mengisahkan kesetiaan seorang patih atau abdi kerajaan yang bernama Patih Sudarsana.
Sementara Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti menampilkan Tabuh Klasik Pantun Gede, yang diciptakan oleh leluhur Desa Sading sebagai wujud puji syukur atas panen yang melimpah. Tabuh ini diciptakan sekitar tahun 1930.
Keempat garapan tersebut hanya disiapkan dalam waktu 10 hari. Wira Aditama mengungkapkan, tarian legong muani tersebut terdiri atas 10 orang dan diiringi oleh sekaa tabuh semar pegulingan klasik, dengan jumlah sekaanya sekitar 45 orang. “Kami dapat beritanya mendadak, kira-kira cuma 10 hari latihan. Sebenarnya suratnya ada miss komunikasi, jatuh di alamat yang berbeda,” tandasnya. *ind
Sebab, lazimnya tari Legong ditarikan oleh perempuan. Namun sebenarnya, sekitar tahun 1800-an, panggung Legong adalah milik kaum laki-laki. Buat kesekian kalinya legong muani kembali tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40. Kali ini, legong muani yang dipentaskan oleh Sanggar Legong Muani Ardhanareswari berkolaborasi dengan Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti, Desa Sading, Kabupaten Badung di Kalangan Angsoka Taman Budaya-Art Center Denpasar, Minggu (24/6). Mereka membawakan tarian palegongan klasik dan tabuh klasik. Koordinator sanggar, I Gusti Made Agus Wira Aditama mengatakan, kali ini kolaborasi dua komunitas seni tersebut akan membawakan empat sajian.
Salah satunya adalah Legong Raja Cina. Menurutnya, legong ini sesuai dengan tema PKB ke-40, Teja Dharmaning Kahuripan. Legong Raja Cina yang mengisahkan Kang Cin Hui atau sejarah Barong Landung. “Tema PKB kan tentang api, nah cerita yang nyambung adalah Legong Raja Cina, dimana mengisahkan saat Dewi Danu mengutuk membakar Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We. Dihanguskan kemudian dihidupkan kembali berupa Barong Landung,” ungkapnya.
Diceritakan, sejarah Barong Landung diawali dengan pertemuan seorang raja Bali yang bernama Sri Raja Pangus, dengan seorang putri Cina yang bernama Kang Cin Hui. Pertemuan mereka berlanjut ke pernikahan. Namun sayang, setelah lama menikah belum juga dikaruniai keturunan. Di sanalah Sri Jaya Pangus berinisatif pergi ke Gunung Batur untuk memohon anugerah.
Saat ke Gunung Batur, Raja Sri Jaya Pangus bertemu dengan Dewi Danu. Karena cantik, sang raja terpikat dan memperistrinya. Dari pernikahannya dengan Dewi Danu, mereka mempunyai seorang anak. Sri Jaya Pangus kemudian kembali ke kerajaan. Sesampainya di kerajaan, Kang Cin We sangat menunggu kedatangannya lantaran sangat rindu degan kedatangan Sri Jaya Pangus yang telah pergi lama tanpa kabar. Dewi Danu yang diperistri Raja Jaya Pangus menyusul ke kerajaan. Namun yang didapatinya, Sri Jaya Pangus sedang bermesraan dengan Kang Cing We. “Dewi Danu murka. Seketika itu juga Dewi Danu membinasakan Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We dengan api kecemburuan hingga terbakar menjadi abu. Mendengar kejadian itu masyarakat Bali dari segala penjuru datang mohon kepada Dewi Danu agar rajanya Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Hui dihidupkan kembali,” tuturnya.
Lantaran Raja Sri Jaya Pangus memerintah dengan baik, maka Dewi Danu mewujudkan keinginan rakyat Bali. Sehingga dihidupkanlah kembali sosok Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We, namun hanya berupa Barong Landung agar tetap bisa dipuja oleh masyarakat Bali.
Selain Legong Raja Cina, Sanggar Ardhanareswari yang diiringi oleh Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti juga menampilkan dua tari legong lainnya, yakni tari Legong Bremara yang menceritakan turunnya bidadari dri kahyangan ke dunia berwujud kumbang. Ada Legong Sudarsana yang mengisahkan kesetiaan seorang patih atau abdi kerajaan yang bernama Patih Sudarsana.
Sementara Sekaa Semara Pegulingan Punia Bhakti menampilkan Tabuh Klasik Pantun Gede, yang diciptakan oleh leluhur Desa Sading sebagai wujud puji syukur atas panen yang melimpah. Tabuh ini diciptakan sekitar tahun 1930.
Keempat garapan tersebut hanya disiapkan dalam waktu 10 hari. Wira Aditama mengungkapkan, tarian legong muani tersebut terdiri atas 10 orang dan diiringi oleh sekaa tabuh semar pegulingan klasik, dengan jumlah sekaanya sekitar 45 orang. “Kami dapat beritanya mendadak, kira-kira cuma 10 hari latihan. Sebenarnya suratnya ada miss komunikasi, jatuh di alamat yang berbeda,” tandasnya. *ind
1
Komentar