Perdagangan Indonesia Meningkat
Perdagangan Republik Indonesia ternyata tetap mengalami peningkatan kepada Amerika Serikat maupun Republik Rakyat China meski kedua negara itu tengah mengalami fenomena perang dagang dengan menaikkan sejumlah tarif bea masuk.
Di Tengah Perang Dagang AS vs China
JAKARTA, NusaBali
"Perdagangan tetap meningkat meski perang dagang (antara Republik Rakyat China dan Amerika Serikat)," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto, Senin (25/6). Berdasarkan data BPS, nilai ekspor nonmigas pada Mei 2018 Republik Rakyat China adalah sebesar 278,9 juta dolar AS atau naik 15,37 persen bila dibandingkan dengan April 2018. Sementara nilai perdagangan ekspor nonmmigas untuk Amerika Serikat adalah sebesar 143,4 juta dolar AS atau naik 10,03 persen pada Mei 2018 ini dibandingkan dengan April 2018. Sedangkan pada periode Januari-Mei 2018, China tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai 10,24 miliar dolar AS atau naik 15,05 persen y-o-y, diikuti AS (6,87 miliar dolar; 10,91 y-o-y).
Sebagaimana diwartakan, harga saham AS jatuh pada hari Kamis (21/6) dengan indeks Dow Jones merosot untuk ke delapan hari berturut-turut menyusul goyahnya saham-saham industri karena adanya kekhawatiran perang dagang.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan perbaikan struktur ekspor nasional menjadi penting untuk mengatasi dampak dari potensi perang dagang yang dilakukan oleh negara maju. "Kita harus susun kebijakan, baik dari industri atau sumber daya alam untuk perbaiki ekspor kita," kata Darmin Nasution di Jakarta, Kamis (21/6). Menko Perekonomian memastikan Indonesia harus mencari peluang dari perang dagang tersebut dan tidak bisa hanya berpangku tangan agar kinerja perdagangan nasional tidak mengganggu proyeksi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sebelumnya, Ekonom senior Mari Elka Pangestu berpendapat integrasi ekonomi regional negara-negara Asia diperlukan untuk mengungguli gangguan proteksionisme bagi pasar eksternal serta kemungkinan perang dagang global. "Hal itu dilakukan bukan untuk mewujudkan sebuah blok Asia, karena kalau negara-negara Asia tumbuh maka nantinya akan berkontribusi juga ke pertumbuhan ekonomi dunia," kata Mari dalam diskusi yang digelar di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu (6/6).
Mantan menteri perdagangan itu mengatakan bahwa fenomena proteksionisme dan kemungkinan perang dagang tengah menjadi pembicaraan dewasa ini. Gejolak tersebut dinilai mengganggu perdagangan dunia terutama yang melibatkan pasar negara-negara tradisional.*ant
JAKARTA, NusaBali
"Perdagangan tetap meningkat meski perang dagang (antara Republik Rakyat China dan Amerika Serikat)," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto, Senin (25/6). Berdasarkan data BPS, nilai ekspor nonmigas pada Mei 2018 Republik Rakyat China adalah sebesar 278,9 juta dolar AS atau naik 15,37 persen bila dibandingkan dengan April 2018. Sementara nilai perdagangan ekspor nonmmigas untuk Amerika Serikat adalah sebesar 143,4 juta dolar AS atau naik 10,03 persen pada Mei 2018 ini dibandingkan dengan April 2018. Sedangkan pada periode Januari-Mei 2018, China tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai 10,24 miliar dolar AS atau naik 15,05 persen y-o-y, diikuti AS (6,87 miliar dolar; 10,91 y-o-y).
Sebagaimana diwartakan, harga saham AS jatuh pada hari Kamis (21/6) dengan indeks Dow Jones merosot untuk ke delapan hari berturut-turut menyusul goyahnya saham-saham industri karena adanya kekhawatiran perang dagang.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan perbaikan struktur ekspor nasional menjadi penting untuk mengatasi dampak dari potensi perang dagang yang dilakukan oleh negara maju. "Kita harus susun kebijakan, baik dari industri atau sumber daya alam untuk perbaiki ekspor kita," kata Darmin Nasution di Jakarta, Kamis (21/6). Menko Perekonomian memastikan Indonesia harus mencari peluang dari perang dagang tersebut dan tidak bisa hanya berpangku tangan agar kinerja perdagangan nasional tidak mengganggu proyeksi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sebelumnya, Ekonom senior Mari Elka Pangestu berpendapat integrasi ekonomi regional negara-negara Asia diperlukan untuk mengungguli gangguan proteksionisme bagi pasar eksternal serta kemungkinan perang dagang global. "Hal itu dilakukan bukan untuk mewujudkan sebuah blok Asia, karena kalau negara-negara Asia tumbuh maka nantinya akan berkontribusi juga ke pertumbuhan ekonomi dunia," kata Mari dalam diskusi yang digelar di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu (6/6).
Mantan menteri perdagangan itu mengatakan bahwa fenomena proteksionisme dan kemungkinan perang dagang tengah menjadi pembicaraan dewasa ini. Gejolak tersebut dinilai mengganggu perdagangan dunia terutama yang melibatkan pasar negara-negara tradisional.*ant
1
Komentar