‘Terang Telah Tiba’ dari ISBI Tanah Papua
Setelah empat tahun hijrah ke Papua dan menyelami potensi yang ada di sana, Rektor ISBI Prof Rai melihat banyak kemiripan antara Bali dan Papua.
DENPASAR, NusaBali
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua menjadi ‘cahaya’ bagi kehidupan akademik perguruan tinggi seni di Indonesia Timur. Kehadirannya di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 pun mengundang perhatian. Membawakan garapan seni tradisi kontemporer berjudul ‘Terang Telah Tiba’ di Wantilan Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Senin (25/6) malam, memang menarik perhatian.
‘Terang Telah Tiba’ merupakan pentas seni tradisi kontemporer yang membangkitkan semangat berkreativitas. Pagelaran ini terbagi menjadi dua babak, yaitu garapan seni yang menampilkan suasana Papua, puisi, tari King, tari siklus kehisupan, folk song Papua, garapan Pangkur Sagu. Kemudian diisi juga dengan eco fashion oleh Fashion Design ISI Denpasar. Sementara pada babak kedua, dilakukan di depan halaman Gedung Kriya. Yang ditampilkan adalah garapan kontemporer berkolaborasi dengan ISI Denpasar dan Intermingle Art Project.
Rektor ISBI Tanah Papua, Prof Dr I Wayan Rai S, mengatakan, di Tanah Papua melihat banyak hal yang dapat dijadikan sebuah riset kebudayaan. Hal ini diungkapkan setelah empat tahun lamanya hijrah ke Papua dan menyelami potensi yang ada di sana. Menurutnya, ada kemiripan antara Bali dan Papua.
“Saya melihat ada kemiripan antara Bali dan Papua. Kalau di Bali, Burung Cendrawasih itu dikatakan sebagai Manuk Dewata, sebagai pengibas-ibas pada saat Upacara Pitra Yadnya. Burung itulah yang menghantarkan arwah itu ke surga. Sedangkan di Papua sendiri, Burung Cendrawasih itu disebut juga sebagai burung surga,” jelasnya.
Keberadaan Burung Cendrawasih di Tanah Papua dan di Bali, menurut Prof Rai, adalah menjadi benang merah di antara keduanya. Sebelum garapan ini lahir, Prof Rai pun mengungkapkan bahwa dirinya sempat melakukan Fokus Grup Diskusi perihal mencari benang merah antara Bali dan Papua melalui Burung Cendrawasih. “18 Juni yang lalu dengan Saba Budaya Bali di RRI kita mencari benang merah, ada apa sih Bali dengan Papua? Jadi kenapa burung itu sangat dihormati dan sakral? Mudah-mudahan suatu saat nanti ada titik temu,” harapnya.
Prof Rai mengungkapkan, keindahan negeri ini memang luar biasa untuk terus digali seni dan budayanya. Dia berpesan, jangan lupa kembali kepada kearifan lokal dan ke jati diri. “Mudah-mudahan melalui seni kita bisa tunjukkan bahwa keberagaman itu indah. Yang paling penting adalah seni merupakan perekat antar bangsa,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil DPRD Bali, I Gusti Bagus Alit Putra yang juga kawan Prof Rai, turut hadir menyaksikan garapan ISBI Tanah Papua tersebut. Dia mengungkapkan, kisah Cendrawasih memang erat kaitannya dengan Bali dimana burung ini digunakan sebagai sarana upacara Pitra Yadnya dan di Papua sendiri burung ini sangat dihargai. “Sangat menarik karena kebudayaan kita beragam segala macam seni budaya itu beragam. Saya percaya, beliau (Prof Rai, red) bisa mengemas ISBI Tanah Papua ini dengan ide cemerlangnya,” tandas Alit Putra. *ind
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Tanah Papua menjadi ‘cahaya’ bagi kehidupan akademik perguruan tinggi seni di Indonesia Timur. Kehadirannya di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 pun mengundang perhatian. Membawakan garapan seni tradisi kontemporer berjudul ‘Terang Telah Tiba’ di Wantilan Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Senin (25/6) malam, memang menarik perhatian.
‘Terang Telah Tiba’ merupakan pentas seni tradisi kontemporer yang membangkitkan semangat berkreativitas. Pagelaran ini terbagi menjadi dua babak, yaitu garapan seni yang menampilkan suasana Papua, puisi, tari King, tari siklus kehisupan, folk song Papua, garapan Pangkur Sagu. Kemudian diisi juga dengan eco fashion oleh Fashion Design ISI Denpasar. Sementara pada babak kedua, dilakukan di depan halaman Gedung Kriya. Yang ditampilkan adalah garapan kontemporer berkolaborasi dengan ISI Denpasar dan Intermingle Art Project.
Rektor ISBI Tanah Papua, Prof Dr I Wayan Rai S, mengatakan, di Tanah Papua melihat banyak hal yang dapat dijadikan sebuah riset kebudayaan. Hal ini diungkapkan setelah empat tahun lamanya hijrah ke Papua dan menyelami potensi yang ada di sana. Menurutnya, ada kemiripan antara Bali dan Papua.
“Saya melihat ada kemiripan antara Bali dan Papua. Kalau di Bali, Burung Cendrawasih itu dikatakan sebagai Manuk Dewata, sebagai pengibas-ibas pada saat Upacara Pitra Yadnya. Burung itulah yang menghantarkan arwah itu ke surga. Sedangkan di Papua sendiri, Burung Cendrawasih itu disebut juga sebagai burung surga,” jelasnya.
Keberadaan Burung Cendrawasih di Tanah Papua dan di Bali, menurut Prof Rai, adalah menjadi benang merah di antara keduanya. Sebelum garapan ini lahir, Prof Rai pun mengungkapkan bahwa dirinya sempat melakukan Fokus Grup Diskusi perihal mencari benang merah antara Bali dan Papua melalui Burung Cendrawasih. “18 Juni yang lalu dengan Saba Budaya Bali di RRI kita mencari benang merah, ada apa sih Bali dengan Papua? Jadi kenapa burung itu sangat dihormati dan sakral? Mudah-mudahan suatu saat nanti ada titik temu,” harapnya.
Prof Rai mengungkapkan, keindahan negeri ini memang luar biasa untuk terus digali seni dan budayanya. Dia berpesan, jangan lupa kembali kepada kearifan lokal dan ke jati diri. “Mudah-mudahan melalui seni kita bisa tunjukkan bahwa keberagaman itu indah. Yang paling penting adalah seni merupakan perekat antar bangsa,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil DPRD Bali, I Gusti Bagus Alit Putra yang juga kawan Prof Rai, turut hadir menyaksikan garapan ISBI Tanah Papua tersebut. Dia mengungkapkan, kisah Cendrawasih memang erat kaitannya dengan Bali dimana burung ini digunakan sebagai sarana upacara Pitra Yadnya dan di Papua sendiri burung ini sangat dihargai. “Sangat menarik karena kebudayaan kita beragam segala macam seni budaya itu beragam. Saya percaya, beliau (Prof Rai, red) bisa mengemas ISBI Tanah Papua ini dengan ide cemerlangnya,” tandas Alit Putra. *ind
Komentar