Dawang-dawang, Ngelawang ala Buleleng untuk Iringi Pitra Yadnya
Ada satu kesenian unik di daerah Buleleng. Kesenian itu dinamai Dawang-dawang.
DENPASAR, NusaBali
Konsepnya sama seperti ngelawang yakni jalan berkeliling untuk menyomia bhuta kala. Kesenian unik ini lantas dikenalkan kepada masyarakat oleh Sanggar Seni Gita Sunari, Buleleng di areal Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Selasa (26/6) sore.
Tradisi Dawang-dawang ini cukup berbeda. Jika biasanya tradisi Ngelawang dilakukan dalam suasana Galungan dan Kuningan dengan menedunkan sasuhunan berupa barong maupun rangda, namun berbeda dengan tradisi ngelawang yang terdapat di Buleleng. Dalam tradisi Dawang-dawang menggunakan simbolis berupa sepasang manusia pria-wanita. Tidak menggunakan sesuhunan seperti di Bali Selatan.
Ketua Sanggar Seni Gita Sunari, Singaraja, Nyoman Suasana mengatakan, kesenian dawang-dawang ini merupakan kearifan lokal di Singaraja. Waktu pentasnya pun lain. Ngelawang khusus ini hanya dipentaskan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya terutama pengabenan. “Kalau di Bali Utara khususnya Singaraja tidak lazim ada ngelawang seperti di Bali Selatan. Yang ada adalah tradisi Dawang-dawang dengan simbolis manusia berbentuk laki-laki dan perempuan,” jelasnya.
Suasana menjelaskan, kesenian Dawang-dawang memiliki fungsi tersendiri. Konon, dalam proses upakara pitra yadnya (ngaben) khususnya di Singaraja, kesenian Dawang-dawang berfungsi untuk mengiringi proses upacara ngaben dan dirangkai dengan prosesi pendeengan. Kesenian itu tampil tepat pada saat memindahkan jenazah yang akan dimasukkan ke bade atau wadah. Dalam perjalanan, Dawang-dawang itu akan menari sampai di kuburan hingga pembakaran jenazah dilakukan.
“Dalam perjalan menuju kuburan, biasanya Dawang-dawang ini sambil menari dan mencari masyarakat yang ada di pinggir jalan. Sama persis seperti Ngelawang pada umumnya, yaitu untuk menghibur dengan mencari anak-anak sebagai sasarannya,” imbuhnya.
Jika dalam pelaksanaan ngaben tidak dipentaskan Ngelawang ini, maka dirasa upacara tersebut tidak lengkap. Bersama Dawang-dawang juga dipentaskan baris Dwarekala, yakni baris gede sebagai simbol Dwarekala, yaitu penjaga alam bhur, bwah, dan swah. Konon, dua kesenian tersebut sebagai pengantar sang atma melepaskan diri ikatan badan kasarnya. Bahkan ketika dilengkapi dengan ngelawang ini, sebuah upacara ngaben orang yang diupacarai dianggap telah bersih menuju reinkarnasi selanjutnya. “Karena itu kalau tidak diiringi dengan dawang-dawang dan Baris Dwarekala rasanya tidak lengkap,” katanya.
“Nanti pada akhir Ngelawang ada menghaturkan caru. Di dalamnya terdapat itik hidup yang disebut ayam caru, dan ini dimakan oleh Dawang-dawang hingga mengeluarkan darah. Maka di sana ada sebuah unsur apinya yakni sebuah semangat yang membara dan penokohan heroik,” tandasnya. *ind
Konsepnya sama seperti ngelawang yakni jalan berkeliling untuk menyomia bhuta kala. Kesenian unik ini lantas dikenalkan kepada masyarakat oleh Sanggar Seni Gita Sunari, Buleleng di areal Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Selasa (26/6) sore.
Tradisi Dawang-dawang ini cukup berbeda. Jika biasanya tradisi Ngelawang dilakukan dalam suasana Galungan dan Kuningan dengan menedunkan sasuhunan berupa barong maupun rangda, namun berbeda dengan tradisi ngelawang yang terdapat di Buleleng. Dalam tradisi Dawang-dawang menggunakan simbolis berupa sepasang manusia pria-wanita. Tidak menggunakan sesuhunan seperti di Bali Selatan.
Ketua Sanggar Seni Gita Sunari, Singaraja, Nyoman Suasana mengatakan, kesenian dawang-dawang ini merupakan kearifan lokal di Singaraja. Waktu pentasnya pun lain. Ngelawang khusus ini hanya dipentaskan untuk mengiringi upacara Pitra Yadnya terutama pengabenan. “Kalau di Bali Utara khususnya Singaraja tidak lazim ada ngelawang seperti di Bali Selatan. Yang ada adalah tradisi Dawang-dawang dengan simbolis manusia berbentuk laki-laki dan perempuan,” jelasnya.
Suasana menjelaskan, kesenian Dawang-dawang memiliki fungsi tersendiri. Konon, dalam proses upakara pitra yadnya (ngaben) khususnya di Singaraja, kesenian Dawang-dawang berfungsi untuk mengiringi proses upacara ngaben dan dirangkai dengan prosesi pendeengan. Kesenian itu tampil tepat pada saat memindahkan jenazah yang akan dimasukkan ke bade atau wadah. Dalam perjalanan, Dawang-dawang itu akan menari sampai di kuburan hingga pembakaran jenazah dilakukan.
“Dalam perjalan menuju kuburan, biasanya Dawang-dawang ini sambil menari dan mencari masyarakat yang ada di pinggir jalan. Sama persis seperti Ngelawang pada umumnya, yaitu untuk menghibur dengan mencari anak-anak sebagai sasarannya,” imbuhnya.
Jika dalam pelaksanaan ngaben tidak dipentaskan Ngelawang ini, maka dirasa upacara tersebut tidak lengkap. Bersama Dawang-dawang juga dipentaskan baris Dwarekala, yakni baris gede sebagai simbol Dwarekala, yaitu penjaga alam bhur, bwah, dan swah. Konon, dua kesenian tersebut sebagai pengantar sang atma melepaskan diri ikatan badan kasarnya. Bahkan ketika dilengkapi dengan ngelawang ini, sebuah upacara ngaben orang yang diupacarai dianggap telah bersih menuju reinkarnasi selanjutnya. “Karena itu kalau tidak diiringi dengan dawang-dawang dan Baris Dwarekala rasanya tidak lengkap,” katanya.
“Nanti pada akhir Ngelawang ada menghaturkan caru. Di dalamnya terdapat itik hidup yang disebut ayam caru, dan ini dimakan oleh Dawang-dawang hingga mengeluarkan darah. Maka di sana ada sebuah unsur apinya yakni sebuah semangat yang membara dan penokohan heroik,” tandasnya. *ind
Komentar